SEANDAINYA jubah ini kulepas, siapakah aku sesungguhnya? Sekuasa inikah aku sampai-sampai orang yang berdosa ini diberi kuasa menghadirkan Tuhan? Sehebat inikah aku? Sampai-sampai bisa mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Tuhanku? Seandainya jubah ini kulepas, sehebat itukah aku?

Aku mudah menggunakan kuasa itu dengan alasan suci. Dengan jubah itu seorang imam disanjung dan dipuji. Tetapi sering memanipulasi pelayanan dengan mencari popularitas diri. Hanya senang melayani mereka yang berdasi dan bersepatu hak tinggi dan mengabaikan umat miskin tanpa amplop intensi. Melayani misa seperti mengejar setoran gaji.

Kuasa itu bisa disalahgunakan bahkan dengan alasan rohani yang saleh. Mimbar tidak dipakai untuk kotbah tetapi untuk marah-marah karena “caosan dhahar” tidak sesuai selera lidah. Orang kaya dilayani dengan urutan nomor mewah, sementara orang miskin didiamkan ke tempat sampah.

Kuasa Tuhan itu identik dengan jubah. Seandainya jubah ini kulepas, apakah aku punya kuasa yang bebas, luas tanpa batas? Benarlah apa yang dikatakan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad 19.

Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Seorang imam Tuhan diberi kuasa absolut melalui tahbisan. Jubah itu tanda luarnya. Umat melihat jubah imam langsung menyembah. Kalau tidak hati-hati, jubah itu menjelma jadi korupsi.

Pada hari sabtu imam, sabtu sesudah Jumat pertama ini, kita para imam diajak merefleksi diri. Sebagaimana Yesus memberi kuasa kepada para murid-Nya, para imam dengan tahbisan diberi kuasa untuk melayani, bukan untuk menguasai, apalagi memarah-marahi.

Yesus berkata, “Sesungguhnya Aku telah memberi kalian kuasa untuk menginjak-injak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tiada yang dapat membahayakan kalian.”

Jika jubah itu diibaratkan dengan kuasa, mari kita para imam bertanya diri, seandainya jubah itu dilepas, kuasa apakah yang masih tersisa selain manusia lemah “ora direken liyan”, dilirik orang pun tidak. Tidak ada apa-apanya.

Kita ini hanya diberi kuasa oleh Tuhan. Itu adalah amanah. Tanggungjawab kita dengan Tuhan yang memberi kuasa. Mari kita gunakan kuasa itu dengan baik untuk melayani dengan rendah hati.

Makan pecel dengan sambel belut.
Kurang puas campur dengan sambel terasi.
Jubah itu ibarat kuasa yang absolut.
Bisa untuk menguasai tapi juga bisa untuk melayani.

Cawas, AJP ajaahhhh….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr