“Harmonisasi Doa dan Karya”
HIDUP doa dan karya itu adalah dua sisi kehidupan yang selalu diperjuangkan oleh setiap orang. Dalam kisah pewayangan, hidup karya itu dijalani saat menjadi ksatria. Hidup doa dilakukan waktu “madeg” resi atau begawan. Para ksatria yang baik selalu menjaga keseimbangan antara karya dan doanya.
Raden Arjuna menjalani hidup sebagai ksatria, juga “mesu budi” mengolah batinnya dalam doa sebagai Begawan Ciptaning. Raden Werkudara menjadi Begawan Bima Suci di Padepokan Argakilasa. Kakrasana menjalani penyucian diri sebagai Resi Jaladara. Kresna yang titisan Wisnu itu juga mengasah hidup rohaninya dalam diri Resi Padmanaba. Bahkan Hanoman, pahlawan perang Sri Ramawijaya itu “mesanggrah” sebagai Resi Mayangkara di Kendalisada.
Kehidupan ksatria adalah “memayu hayuning bawana” mengabdi kepada kebaikan makhluk. Ksatria selalu menolong mereka yang kecil, miskin, lemah dan tertindas. Resi atau Begawan melambangkan kehidupan doa dalam tapa hening, semadi.
Doa dan karya menyatu mempribadi dalam diri Yesus. Ia berkarya untuk menolong mereka yang sakit, kerasukan setan. Ibu mertua Simon disembuhkan, dan banyak orang datang mohon pertolongan-Nya.
“Menjelang malam, sesudah matahari terbenam, dibawalah kepada Yesus semua orang yang menderita sakit dan yang kerasukan setan. Yesus menyembuhkan banyak orang yang menderita bermacam-macam penyakit, dan mengusir banyak setan. Keesokan harinya, waktu hari masih gelap, Yesus bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.”
Doa dan karya, ora et labora menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Kita diingatkan agar tidak melalaikan doa. Selalu meluangkan waktu, entah pagi atau malam sunyi untuk berdoa.
Dengan begitu kita tidak akan kekeringan atau kehilangan daya untuk berkarya.
Satu jam dalam dua putaran lari.
Nafas terengah karena sudah tua.
Luangkan waktu di malam sunyi.
Menyatukan doa dengan karya.
Cawas, satu jam saja…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr