“Silahkan Naik ke Lamin Saya, Pastor”
JANGAN salah sangka kalau ada seorang ibu yang berkata, “Kalau turne, jangan sungkan naik ke lamin saya ya pastor.”
Yang dimaksud lamin atau laman itu pondok atau rumah panggung.
Seorang pastor dari Jawa merah padam mukanya ketika ada ibu yang menawarinya singgah ke rumahnya.
Harap berhati-hati karena ada aturan adat yang tidak membolehkan bertamu jika di rumah itu hanya ada istri atau anak gadis saja.
Seorang pastor pernah dihukum adat karena memboncengkan seorang ibu yang pulang dari ladang. Pastor itu akan pulang ke pastoran dari kunjungan di stasi yang jauh.
Matahari tepat di atas kepala. Panas terik sangat menyengat. Di tengah perjalanan, ada seorang ibu yang memberhentikannya. Ibu itu baru pulang kerja dari ladangnya.
Karena jalan jauh dan panas terik membakar kulit, ia minta ijin membonceng pastor.
Pastor mengijinkannya karena mereka searah perjalanan.
Tentu saja pastor yang berhati baik itu hanya bermaksud menolong. Tidak tega melihat perempuan jalan di tengah panas terik matahari.
Pastor itu mengantar si ibu sampai di rumahnya. Tetapi suami si ibu ini tidak terima pastor memboncengkan istrinya. Sang Pastor dihukum adat.
Pastor itu menerima dengan bijak dan hanya berkata, “Dimana bumi dipijak, langit dijunjung.”
Sifat munafik sering ditunjukkan kaum Farisi dan para ahli Taurat. Mereka lebih menekankan adat istiadat bikinan manusia daripada hukum Allah.
Membasuh tangan, membersihkan badan, mencuci cawan, kendi dan perkakas lainnya adalah contoh adat tradisi yang dibikin manusia.
Tidak melakukan ritual itu dipandang najis, kotor, tidak suci, berdosa. Mereka mudah mengadili orang lain.
Ketika melihat murid-murid makan dengan tidak mencuci tangan, mereka langsung teriak, “Najis, najis, najis.”
Yesus mengutip perkataan Nabi Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadat kepada-Ku, sebab ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”
Bibirnya “komat-kamit” berdoa, mulutnya teriak-teriak memuji Allah, tetapi hatinya menyimpan iri dan benci, pikirannya suka mengadili orang lain, perilakunya jauh menyimpang dari ajaran Allah.
Yesus mengukur kesalehan bukan dari segi lahiriah. Kesalehan adalah ketaatan pada aturan Allah yang menyelaraskan antara kata dan tindakan.
Kaum Farisi jatuh pada kemunafikan karena mereka terlalu menekankan ketaatan hukum bikinan manusia, namun tidak mempraktekkannya.
Sabda Yesus itu juga ditujukan pada kita. Janganlah kita bersikap munafik dan suka mengadili orang lain.
Lihatlah dirimu sendiri sebelum menghakimi sesamamu.
Pergi ke sawah melihat para petani,
Senda gurau sambil memotong padi.
Lebih baik kita merendahkan diri,
Daripada kita suka menghakimi.
Cawas, menunggu matahari…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr