DOA dan kerja itu seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Keduanya tak bisa dipisahkan. Ketika hidup doa dan karya tidak seimbang, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Dalam sebuah komunitas hidup biara hal itu sangat mudah dideteksi. Ada orang yang sangat sibuk dengan karya pastoralnya. Mulai pagi sampai malam sibuk dengan pekerjaan dan lupa meluangkan waktu berdoa.
Bahkan waktu bersosialisasi dengan teman komunitas saja sangat terbatas saking sibuknya macam-macam urusan kerja. Akhirnya orang itu mundur juga.
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus berkunjung ke rumah Marta dan Maria. Marta sibuk melayani, menyiapkan segala sesuatu demi tamunya.
Hal itu baik-baik saja. Tidak jelek melayani tamu yang datang. Yang salah adalah dia tidak tulus melakukan pekerjaan itu.
Ia mengeluh dan merasa “diperbudak” dengan pelayanan itu. “Tuhan, tidakkah Tuhan peduli bahwa saudariku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.”
Seandainya Marta tidak iri dan cemburu dengan posisi Maria yang duduk mendengarkan Yesus, pasti Yesus akan mengapresiasi pelayanannya.
Ketika pekerjaan dilakukan dengan keluh kesah dan kecemburuan, nilai kerja itu malah berkurang.
Yesus menghargai Maria yang duduk mendengarkanNya. Yesus ingin mengatakan bahwa doa itu perlu agar kerja makin bermakna.
Doa adalah sumber semangat untuk kerja. Kerja adalah perwujudan dari spiritualitas kita. Ora et labora.
Seperti kopi yang sudah mengendap setelah diaduk-aduk sungguh nikmat rasanya. Begitulah doa menjadi saat tenang, hening, setelah seharian sibuk bekerja.
Doa adalah saat mengendap. Dalam bahasa Jawa, “menep.’ Hidup akan terasa nikmat seperti kopi kalau kita bisa “menep”, mengendapkan semua pengalaman.
Itulah saatnya berdoa. Ada waktu sibuk bekerja. Ada waktu hening berdoa. Keduanya harus seimbang.
Hari ini kami singgah di Salamanca
Terus lanjut menuju ke Fatima
Setelah seharian sibuk bekerja
Biarkan dirimu hening untuk berdoa
Iglesia del Carmen de Abajo, Salamanca.
Rm. A. Joko Purwanto Pr