“Don’t Open Your Milk Factory in Kuta Beach”

KALAU kita berwisata di Pulau Dewata, dan berjalan-jalan di pinggir pantai, kita sering melihat turis-turis berjemur dengan berbikini ria.

Saking bebasnya orang buka-buka baju di Pantai Kuta, Joger, si Pabrik Kata-Kata memberi peringatan lucu, kreatif dan menggelikan dengan tulisan di temboknya, “Don’t Open Your Milk Factory in Kuta Beach.”

Kendati orang bebas buka-bukaan, kita jarang mendengar berita pemerkosaan atau pelecehan sexual di Bali.

Namun akhir tahun kemarin kita dikejutkan dengan berita seorang pengasuh Yayasan yang memiliki bording school di Bandung yang memperkosa siswinya sampai 12 anak.

Bahkan dari mereka telah lahir 7 bayi dan masih ada dua anak lagi yang mengandung hasil kebejatan moral sang guru.

Kita yang awam ini heran dan bertanya-tanya. Para siswi ini kan berbaju agamis tertutup dan sopan. Tidak mungkin menggoda syahwat dan birahi lelaki. Beda dengan turis di pantai Kuta.

Tapi kok bisa ya seorang guru, yang mestinya “digugu lan ditiru” (dicontoh dan diteladani) bertindak asusila dan bejat?

Yesus membantu menjawab pertanyaan itu dengan berkata, “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya. Tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.”

Banyak orang melihat pabrik susu di Pantai Kuta, toh tidak ada niat jahat untuk memperkosa mereka. Namun kalau hati dan pikiran udah kotor, melihat siswi yang berbaju tertutup dari ujung kepala sampai ke ujung kaki pun bisa timbul niat jahat dan menggagahinya.

Yesus menegaskan lagi, “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan. Sebab dari dalam hati orang timbul pikiran jahat, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat itu timbul dari dalam dan menajiskan orang.”

Tidak ada gunanya membuat banyak aturan yang membatasi perempuan, kalau hati dan pikiran kaum lelaki tetap “ngeres dan jenes.”

Apa yang dari luar itu tidak menajiskan. Apa yang ada di dalam hati dan pikiran itulah yang bisa merusak dan membuat dosa.

Banyak larangan dan aturan tidak membantu jika hati manusia tidak diperbaiki.

Dalam budaya Jawa ada istilah bagus untuk membetengi hati yakni “Tepa Selira.”

Tepa selira artinya dapat merasakan (menjaga) perasaan (beban pikiran) orang lain sehingga tidak menyinggung perasaan atau menyakiti sesama atau dapat meringankan beban orang lain.

Ada tenggang rasa; toleransi: kita harus mempunyai rasa “tepaselira” terhadap sesuatu yang dirasakan dan diderita orang lain. Kita bisa menempatkan diri di pihak mereka.

Mengapa wanita di Jepang bisa bebas dan aman beraktivitas di malam hari? Karena orang akan berpikir seandainya perempuan itu istriku, saudariku, atau anakku, pasti akan menderita jika mengalami musibah. Itulah bentuk nyata sikap “tepaselira.”

Marilah kita dasari hati kita dengan benar. Karena apa yang keluar dari hati itulah yang akan menentukan. Hati baik menghasilkan perilaku baik. Hati jahat akan membuahkan tindakan jahat.

Matahari sedang menjauhi bumi,
Hawanya dingin menusuk tulang pipi.
Tebarkan kebaikan di dalam sanubari,
buahnya menyebar ke sudut-sudut hati.

Cawas, menjaga hati….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr