Cuci Tangan dan Cuci Kaki
CUCI TANGAN dalam arti harafiah dianggap sebagia kenormalan baru dalam masa pandemi ini. Padahal cuci tangan sebetulnya sudah dianjurkan sejak lama.
Sejak 2008 Badan Kesehatan Dunia bahkan menetapkan tanggal 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan sedunia.
Sejak masa kanak-kanak, orangtua juga sudah mengajarkan untuk cuci tangan dan kaki sebelum tidur.
Penyanyi Tasya Rosmala menyanyikan lagu yang mengajak anak-anak untuk cuci kaki dan tangan.
Syairnya berbunyi demikian:
“Jangan lupa esok kita punya janji. Semakin cepat kita tidur, semakin cepat kita bertemu kembali. Berdoalah sebelum kita tidur. Jangan lupa cuci kaki tanganmu. Jangan lupa doakan mama papa kita.”
Namun setelah remaja dan dewasa, kita tidak dibiasakan cuci tangan. Justru banyak disuguhi contoh cuci tangan dalam arti kiasan.
Orang yang suka melemparkan tanggungjawab. Banyak kasus korupsi mangkrak karena orang yang seharusnya bertanggungjawab namun cuci tangan.
Kiasan dari perbuatan tangan banyak berkonotasi negatif; cuci tangan, ringan tangan, panjang tangan, kaki tangan.
Seno Gumiro Ajidarma bahkan membuat cerpen berjudul “Orang yang Selalu Cuci Tangan.”
Kebiasaan cuci tangan juga kita lakukan kalau mau berdoa. Itu sudah menjadi habitus.
Tetapi kenapa habitus yang baik itu bisa berjalan bersama dengan kebiasaan cuci tangan dalam arti kiasan?
Contoh kongkrit dalam Injil tentang cuci tangan adalah yang dilakukan Pilatus. Ia cuci tangan terhadap masalah Yesus. Ia tidak mau bertanggungjawab atas kematian Yesus di salib. Ia melemparkan tanggungjawab.
Gak mau tahu. Gak mau peduli. “Emang Gue pikirin… Elu elu gue gue…!!!
Yesus tidak lari dari tanggungjawab. Ia konsekwen dengan tugas perutusan Bapa. Ia berani ambil resiko ketika salib harus diterima.
Bahkan Ia memberi contoh gerakan active non violence dengan mencuci kaki para murid.
Pada awal penderitaan-Nya, Yesus membasuk kaki para murid-Nya.
Menghadapi penolakan, permusuhan, kebencian dan dendam, Yesus tidak lari atau lepas tanggungjawab (cuci tangan) tetapi justru Ia mencuci kaki murid-murid-Nya.
Mencuci kaki adalah perbuatan budak, hamba kepada tuannya. Ia merendahkan Diri-Nya menjadi hamba.
Kaki adalah anggota tubuh yang paling rendah. Kaki juga berkonotasi kotor, hina, miskin, di bawah.
Selain sebagai tindakan perendahan diri, membasuh kaki juga berarti menerima sebagai bagian tak terpisahkan.
“Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak akan mendapat bagian bersama Aku,” kata Yesus.
Dengan membasuh kaki, seseorang diterima sebagai saudara, anggota keluarga, bagian dari komunitas, warga bangsa, yang harus dikasihi dan diterima.
Peristiwa Kamis Putih ini punya relevansi penting bagi kita. Banyak kejadian cuci tangan disekitar kita. Tidak mau peduli, tidak bertanggungjawab.
Orang berbeda dianggap kompetitor, pesaing musuh, lawan yang harus disingkirkan. Kasus Ade Armando kemarin buktinya.
Kita harus banyak melakukan cuci kaki seperti diajarkan Yesus. Berani merendahkan diri dan menerima orang lain yang berbeda sebagai bagian diri kita.
Budaya kekerasan dan kebencian harus dijauhkan. Budaya melayani, menghormati dan mengasihi harus diwartakan dimanapun dan kapan pun jua.
Bunga mawar bunga melati.
Hati sabar selalu rendah hati.
Cawas, Kamis putih, hati juga putih…..
Rm. A. Joko Purwanto, Pr