“Mengajarkan Tetapi Tidak Melakukan”
MASIH ingat nama model judi zaman dulu? Zaman orde lama ada Nalo (Nasional Lotre) atau sering disebut Lotre Buntut. Orang hanya menebak dua angka dari deretan 4 angka. Hadiahnya lumayan mulai 10.000 – 500.000 waktu itu.
Judi pernah dilegalkan zaman Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta. Zaman Orde Baru bahkan beredar secara nasional.
Namanya SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah), lalu ada lagi Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan), judi di ranah olahraga.
Dulu banyak orang “pinter” yang bisa menebak angka. Orang menyebut “dukun.” Orang pinter atau dukun itu sering didatangi orang untuk bertanya, nomor berapa yang akan muncul di undian SDSB.
Dukun juga bisa menafsir mimpi atau peristiwa yang dihubungkan dengan undian.
Pernah ada kecelakaan bus, orang bertanya kepada dukun untuk “utak-atik” angka nomor kendaraannya. Angka itu dipasang di undian. Berharap semoga tembus…
Kadang saya heran, kalau dukun itu tahu nomor yang akan keluar, kenapa dia tidak membeli sendiri supaya dia bisa tembus dan kaya?
Muncul pertanyaan ngelantur bagi para pencetak teroris; kenapa mereka harus mencari “pengantin” untuk melakukan bunuh diri kalau tahu dengan cara itu pasti masuk surga dan ketemu bidadari?
Mereka adalah orang-orang pinter, yang bisa mengajarkan tetapi tidak berani ambil tindakan untuk masuk surga.
Dalam Injil, Yesus memperingatkan kepada para murid tentang ragi orang Farisi. “Mereka itu mengajarkan tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang. mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang.”
Kemunafikan itulah yang terpampang pada pemimpin orang-orang Farisi. Semua serba permukaan.
Kesucian artifisial yang dipamerkan kepada khalayak. Senang disebut “Rabi” atau Yang Mulia. Senang disanjung dan dipuja-puja. Baju kebesaran serba putih bersih walau kedodoran tidak risih. Yang penting dihormati sih.
Dari sikap-sikap seperti itu Yesus mengajarkan kepada kita, “Siapapun yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Barang siapa meninggikan diri, akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri, akan ditinggikan.”
Yesus memberi teladan sikap merendahkan diri. Kendati Ia adalah Putera Allah, sudi menjadi manusia. Ia yang adalah guru, mau membasuh kaki murid-Nya. Ia yang tidak berdosa, mau hidup menyatu dengan para pendosa.
Marilah merendahkan diri dan melayani karena demikianlah Tuhan memberi teladan kepada kita semua.
Mendung tiada sinar matahari.
Menunggu hujan tak berhenti.
Jangan meniru perilaku kaum Farisi .
Hanya cari pujian dan harga diri.
Cawas, tetap semangat ….
Rm. Alex. J. Purwanto, P