DALAM suatu perjumpaan dengan Mgr. Pujasumarta almarhum, saya diberi benih kelor (Moringa oleifera).
Beliau meminta saya untuk mencoba mengembangkannya di Paroki Tayap. Beliau bercerita bahwa pohon kelor ini banyak manfaatnya.
Daunnya bisa untuk obat berbagai penyakit. Akarnya bisa menahan dan menyiman air di tanah. Bencana dan tanah longsor bisa dihindari dengan menanam pohon kelor.
Saya bawa benih itu ke Tayap. Saya coba tanam, namun ternyata tidak dapat tumbuh dengan baik. Kadar keasaman tanah sangat tinggi sehingga tida bisa berkembang. Yang tumbuh subur justru pohon jengkol dan hasilnya lebat.
Dalam bacaan hari ini, Yesus menceritakan perumpamaan seorang penabur yang menaburkan benih di beberapa tempat; di pinggir jalan, di tanah berbatu, di tanah yang penuh semak duri, dan di tanah yang baik.
Benih yang jatuh di tanah yang tidak baik menghadapi berbagai tantangan; di makan burung, layu karena terik matahari, dililit oleh semak duri.
Tetapi benih yang jatuh di tanah yang baik bisa menghasilkan berlipat-lipat. Ada yang seratus kali, enampuluh atau tigapuluh kali lipatnya.
Iman yang kita terima itu sumpama benih yang ditaburkan Tuhan. Iman itu bisa berkembang baik tergantung dari jenis tanah dimana dia ditaburkan.
Lingkungan dimana kita hidup bisa mempengaruhi pertumbuhan benih itu. Jika lingkungan ada toleransi, penghargaan, saling hormat, penerimaan dan tepa selira, iman akan tumbuh dengan baik juga.
Kita bisa bertanya, apakah diri kita ini tempat yang baik bagi benih iman yang ditaburkan Tuhan ? apakah iman kita dapat tumbuh berkembang di lingkungan dimana kita hidup?
Lingkungan macam apa benih kita ini tumbuh? Apakah di pinggir jalan? Apakah di tanah gersang? Apakah di tengah semak berduri? Ataukah di tanah yang subur?
Marilah kita mengidentifikasi diri agar kita bisa mengembangkan benih itu berlipat ganda.
Mancing di sungai dapat ikan sepat
Biar hidup dilepaskan ke dalam sumur
Iman dapat berkembang pesat
Kalau hati kita adalah tanah yang subur
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr