Pergilah Ke Seluruh Dunia.
KISAH perjalanan misi di luar Jawa sungguh menarik. Ada beberapa imam diosesan ditugaskan bermisi ke luar Keuskupan Agung Semarang.
Ada yang di Ketapang, Banjarmasin, Tanjung Karang, Medan, Sorong Manokwari dan di tempat lain.
Perjalanan berpuluh-puluh kilometer menembus medan yang sulit adalah makanan setiap hari.
Jalan berlumpur dan berdebu adalah bagian salah satu menu yang disajikan.
Naik turun bukit, menembus hutan, menyusuri sungai dengan riam-riam berbahaya adalah musik merdu pengiring perjalanan.
Teman-teman saya seperti Romo Budi “Wihong” di Mandam, Banjarmasin, Romo Budi “Buset” di Ketapang atau Romo Agus “Gondel” di Medan selalu punya cerita-cerita segar dan penuh warna dalam pelayanan misi di luar Jawa.
Pengalamannya sendiri pasti lebih seru daripada apa yang dikisahkan.
Ada kisah “Ayam bertelur di meja altar.” Lalu kemarin Paskah, ada pengalaman “Ayam persembahan di dalam jaket.” “Debok pisang jadi kandelar.”
Dan ada banyak kisah-kisah menarik yang bisa dibuat menjadi buku perjalanan misi, baik oleh mereka yang masih berkarya atau pun mereka yang telah “balik kandang.”
Ada banyak kisah perjumpaan dengan umat yang sederhana tetapi hatinya begitu murah. Kebaikan umat dapat dijumpai dan dirasakan ada dimana-mana.
Kisah-kisah Paskah adalah kisah sukacita perutusan. Kisah-kisah sederhana tetapi menjadi luar biasa. Kisah hidup sehari-hari tetapi dilihat dari perspektif ilahi. Itulah yang membawa sukacita.
Seperti dalam Injil, Markus berkisah tentang perutusan. Yesus yang bangkit mengutus mereka untuk menyebarkan kabar sukacita.
“Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”
Injil adalah kabar sukacita. Mengabarkan Injil berarti membawa sukacita kepada siapapun. Kedatangan pewarta Injil mesti membawa kegembiraan dan semangat hidup bagi si penerima.
Wajah sukacita yang mampu menghadirkan harapan bagi umat itulah yang harus ditampilkan. Bukan pewarta yang justru menambah beban dan masalah bagi umat. Pewarta yang hanya muram dan cemberut.
Pewarta yang penuh sukacita akan memberi warna bagi kehidupan umat. Sedangkan mereka yang hanya mewartakan diri sendiri justru akan menghancurkan.
Tanda-tanda sukacita itu bisa dilihat bagaimana umat menanggapi kehadiran sang pewarta.
Ada umat yang membuat lelucon. Kalau umat sering menyanyikan lagu “Gembala pergilah cepat-cepat…” Itu tandanya kehadiran sang pewarta sudah tak diinginkan.
Tetapi kalau umat sering menyanyikan lagu “Tinggal Padaku….atau Betapa Kita Tidak Bersyukur…” tandanya umat merasa happy dilayani.
Pertanyaan reflektif: Apakah kehadiran kita sebagai pewarta memberi sukacita dan kegembiraan bagi umat? ataukah kita justru menambahi mereka dengan beban dan persoalan hidup?
Berlibur menikmati Pantai Pangandaran,
Pasir putih angin berhembus menyejukkan.
Datanglah mewartakan dengan senyuman,
Jangan datang membawa muka menakutkan.
Cawas, wartakan dengan senyuman…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr