PERNYATAAN Yesus di atas merespon permintaan Ibu Yohanes dan Yakobus agar kelak anak-anaknya duduk di sebelah Yesus.
Agak kontras ketika Yesus menuju Yerusalem untuk menderita di salib justru murid-muridNya berebut soal duduk di kursi kekuasaan. Ada yang tidak nyambung.
Para murid belum paham bahwa kebesaran Kerajaan Allah diukur melalui pelayanan, bukan kedudukan, jabatan atau kuasa.
Melayani berasal dari kata “diakonein” melayani tuannya di meja makan. Menjadi pelayan berarti menjadi hamba atau budak pada jaman itu.
Budak hanya bekerja untuk melayani tanpa apresiasi, penghargaan atau bahkan tidak diberi ucapan terimakasih. Itu bukan haknya budak.
Dalam pandangan Kerajaan Allah justru pelayanan seperti hamba itulah yang dinilai tinggi. Bukan seperti pandangan dunia yang diminta Ibu Zebedeus tadi.
Kalau ingin jadi besar harus mau jadi pelayan. Kalau mau terkemuka harus mau jadi hamba. Intinya adalah sikap hidup melayani, mengutamakan orang lain.
Tanpa sadar kita sering menyebut pelayan Tuhan atau pelayan gereja. Tetapi sikapnya tidak mencerminkan itu.
Namun gayanya seperti “petinggi” yang minta dihormati, minta previlegi, marah kalau tidak disiapkan ini itu.
Martin Luther King Jr, pejuang anti diskriminasi di Amerika pernah berkata: “Setiap orang bisa menjadi besar karena setiap orang bisa melayani. Anda tidak perlu menjadi sarjana untuk melayani. Anda tidak perlu pandai berkotbah untuk bisa melayani. Anda tidak perlu belajar filsafat, mengenal Plato atau Aristoteles untuk bisa melayani. Anda hanya membutuhkan hati yang penuh kasih, jiwa yang digerakkan kasih untuk melayani” .
Selamat merenungkan.
Selamat mengiringi Obor Asian Games.
Gereja Katolik Indonesia, kata Mgr. Suharyo, mendukung penuh kegiatan Asian Games di Jakarta dan Palembang. Kita Indonesia.
Berkah Dalem.
(Rm. A. Joko Purwanto Pr)