“Merayakan Kemartiran”
KELAHIRAN dan kematian itu hanya beda tipis banget, seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Kemarin kita baru saja bersuka ria merayakan kelahiran Sang Juru selamat. Dengan penuh kegembiraan kita merayakan kedatangan bayi Yesus.
Semua orang pasti sangat bersukacita dengan kelahiran seorang anak di tengah keluarga. Semua saudara datang untuk berbagi kegembiraan. Lahirnya seorang anak membawa harapan dan sukacita.
Belum habis kegembiraan kita, hari ini kita merayakan kemartiran Santo Stefanus. Kematian memang sebuah kenyataan yang menyedihkan. Tetapi orang beriman percaya bahwa kematian adalah awal kehidupan dalam Tuhan. Kematian adalah awal kehidupan baru.
Dalam Doa Syukur Agung dikatakan bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan; bahwa suatu kediaman abadi telah tersedia bagi kami di surga bila pengembaraan kami di dunia ini berakhir.
Kalau kita bersukacita atas kelahiran, mengapa kita harus bersedih menghadapi kematian? Kemartiran Santo Stefanus membuat kita bisa merayakan kematian. Mengapa bisa demikian? Karena dia mengikuti atau meneladani Yesus yang mati di salib.
Stefanus mati karena iman. Ia dibawa ke pengadilan dan disana dia bersaksi tentang kebangkitan Yesus. Orang-orang tidak menerima kesaksiannya dan menyeretnya ke luar kota. Dia dirajam. Namun Stefanus justru mendoakan mereka dan menyerahkan nyawanya kepada Tuhan. Ia mengikuti bagaimana Yesus mati di kayu salib.
Jika hidup kita mampu meneladan cara hidup Yesus, bahkan sampai kematian-Nya, maka kematian itu bukan sesuatu yang harus diratapi, tetapi justru dirayakan. Karena dengan demikian, kita telah lahir kembali sebagai anak-anak Allah.
Mari kita meneladan martir Stefanus, berani mengikuti jalan Tuhan.
Pergi ke ladang untuk memetik anggur.
Dikumpulkan di keranjang seikat demi seikat.
Santo Stefanus membuat iman gereja menjadi subur.
Dia membela iman sampai akhir hayat.
Cawas, tetap semangat…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr