PERNAH terjadi ketika sedang misa, terdengar suara panggilan di HP. Orang itu dengan santainya menjawab suara di seberang telpon. Karena situasi sedang hening, maka suaranya terdengar jelas.
Saya menghentikan homili saya. Makin senyap dan tegang. Orang itu masih ngobrol dengan HP sambil menyembunyikan wajahnya di dinding. Umat di sekitarnya sudah mulai resah dan tidak enak.
Ada yang berdecak gelisah. Ada yang “mingsat-mingset” membetulkan posisi duduknya. Ada yang “dehem-dehem” memberi kode untuk segera menghentikan pembicaraan di telepon. Ada yang tertunduk malu. Saya diam dengan muka masam. Entah Tuhan bagaimana.
Berbeda dengan kisah di atas. Perwira Romawi itu tahu diri. Ia bisa menempatkan siapa dirinya di hadapan Tuhan. Ia berkata kepada Tuhan, “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku. Katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh. Sebab aku sendiri seorang bawahan.”
Ia merasa diri tidak pantas menerima Yesus di rumahnya. Bisa jadi dia mengerti bahwa dia adalah “orang asing,” bukan teman sebangsa. Ia paham betul dengan posisinya. Ia mungkin tidak terlalu berharap.
Ia hanya memberitahu keadaan hambanya, “Tuan, hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh, dan ia sangat menderita.” Mungkin dia sedikit takut penuh harapan. Namun toh dia tahu diri.
Yesus pun “tahu diri”. Dia tahu apa yang diharapkan oleh perwira itu. Yesus langsung menjawab, “Aku akan datang menyembuhkannya.” Tanpa diminta. Yesus menghargai keyakinan si perwira itu. Ia sangat mengharapkan hambanya dapat sembuh.
Kepedulian si perwira itu sungguh baik. Mungkin jarang seorang atasan peduli sedemikian terhadap bawahannya. Kasih yang sedemikian itu yang berkenan pada Tuhan.
Karena itu, Yesus pun dengan segera menanggapi permintaan perwira. Tanpa harus datang ke rumahnya, Yesus langsung menyembuhkan hambanya, “Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya.” Iman seperti perwira itu menyadarkan kita. Kalau kita sungguh percaya, dimana pun Yesus dapat menyembuhkan.
Marilah kita belajar “empan papan” tahu menempatkan diri di hadapan Tuhan. Tuhan pun sangat mengerti apa yang sedang kita harapkan.
Kalau kita bikin masakan.
Dengan telunjuk jari kita mencicipi.
Kalau kita bisa “empan papan”
Tuhan akan selalu memberi.
Cawas, selamat jalan Mgr. Sunarka SJ.
Rm. A. Joko Purwanto, Pr