by editor | Jul 26, 2019 | Renungan
“Maaasss Andiiiii…,, kamu ini kok gak habis akal ya, selalu menggangu temanmu.” Bu guru TK itu terdengar memperingatkan anak laki-laki kecil yang selalu mengganggu temannya di kelas.
Selang beberapa saat, terdengar lagi teriakan bu guru memanggil nama anak itu. Terlena sebentar saja, anak itu akan mengganggu dan membuat keributan di kelas.
Dia seenaknya merebut mainan temannya. Atau mencoret buku milik teman lainnya. Bahkan tidak segan mencoret muka temannya dengan spidol sampai anak itu menangis keras-keras. Ibu guru itu tetap sabar menghadapi kenakalan anak satu ini.
Sepanjang pelajaran Ibu guru itu mengawasi dengan seksama agar Andi yang nakal itu tidak membuat keributan di kelas. Hati seorang ibu yang penuh kasih mendampingi belasan anak-anak TK yang punya aneka sifat dan karakter.
Ada yang penurut, ada yang bandel dan usil seperti Andi. Ada pula yang tenang, ada yang lincah dan ramah. Semua anak itu didampingi dengan penuh kesabaran.
Dalam bacaan hari ini Yesus membentangkan perumpamaan tentang penabur yang menaburkan benih baik di ladang. Namun pada saat yang sama ada musuh yang menaburkan benih ilalang di antara gandum.
Hamba-hamba tuan itu mengusulkan supaya ilalang yang tumbuh bersama degan gandum itu dicabut. Tetapi tuan itu menjawab, “Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai tiba.”
Tuha dengan kemurahanNya membiarkan benih baik dan benih jahat tumbuh bersama, nanti akan kelihatan pada akhirnya mana yang baik, mana yang jahat.
Dalam istilah Jawa ada istilah, “Becik ketitik ala ketara.” Yang baik akan terdeteksi, yang jahat akan terlihat.
Saben wong bakal ngundhuh wohing pakarti. Setiap orang akan menuai apa yang ditaburkannya. Setiap orang akan dinilai dari perilaku dan tutur katanya.
Pada akhirnya yang jahat akan terlihat. Seperti ilalang, dia akan diikat dan dibakar ke dalam api.
Maka hasilkanlah buah yang baik supaya bisa menjadi berkat bagi banyak orang. Gajah mati meinggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belulang, manusia mati meninggalkan nama.
Bagaimana anda akan diingat jika nanti sudah wafat?
Pagi-pagi sarapan bubur
Lauknya telur dibumbu terik
Benih kebaikan akan tumbuh subur
Kalau jatuh di tanah yang baik
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Jul 25, 2019 | Renungan
SEORANG Bapak mengalami pencerahan hidup setelah mengikuti retret di Camp Kaum Pria.
Dia disadarkan bahwa selama ini hanya mencari kesenangan pribadi tanpa mengerti tanggungjawabnya sebagai laki-laki.
Keluarga, anak dan istri sering ditinggal pergi hanya memburu kesenangan sendiri. Ia sadar sudah begitu lama membuang waktu percuma hanya untuk diri sendiri.
Keluarga menjadi korban. Anak dan istrinya kehilangan cinta dan kasih sayang. Ia menangis sejadi-jadinya ketika istri dan anak-anak datang bersimpuh di kakinya.
Mereka menyatakan kasih sayang dengan memeluknya sebagai seorang ayah yang dirindukannya. Muncullah niatnya yang dia tulis di secarik kertas dengan meterai.
“Aku akan berhenti berjudi. Aku akan menjauhi segala minuman keras dan mabuk-mabukan. Aku akan memberikan waktu lebih banyak di rumah untuk istri dan anak-anakku”
Demikianlah janji yang tertulis sebagai pembaharuan hidup selama retret di Camp itu.
Beberapa waktu setelah retret, Sang istri mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman Camp. Suaminya berubah perilakunya.
Dia sangat perhatian dan peduli pada keluarga. Punya waktu yang banyak untuk bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya.
Dia suka menunggui anak-anaknya yang sedang belajar. Juga mau membantu istrinya memasak di dapur .
Benih yang baik akan hidup subur bila jatuh di tanah yang baik. Kalau tanahnya tidak subur, maka benih itu akan mati.
Perumpamaan Yesus tentang seorang penabur menggambarkan bagaimana benih atau firman Tuhan itu hidup dan berkembang.
Tanah yang tandus, berbatu, penuh dengan onak duri akan menyulitkan tumbuhnya benih. Tetapi jika tanah itu subur maka benihnya akan tumbuh dengan lebatnya.
Keluarga yang dibangun dalam suasana kasih, penerimaan, penghargaan, sukacita, akan menjadi tempat subur bagi benih-benih firman Allah.
Bapak itu disadarkan oleh Firman Tuhan dalam retret betapa ia telah menyia-nyiakan kesempatan emas untuk tumbuh bersama dalam kasih keluarga. Ia menyadari betapa istri dan anak-anaknya sungguh amat mengasihinya.
Firman Tuhan akan berkembang tergantng sikap hati manusia. Jika kita mau terbuka hati, maka firman itu akan berbuah banyak. Sudahkah kita membuka hati kepada Tuhan?
Ke optik membeli kacamata
Untuk bergaya di Pantai Kuta
Siapa menabur benih cinta
Akan menuai damai dan sukacita
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Jul 24, 2019 | Renungan
ADALAH Tzu Hsi sang ibu suri yang sangat berpengaruh menaikkan Pu Yi menjadi kaisar China saat usianya baru 3 tahun.
Tzu Hsi yang awalnya hanyalah salah satu selir dari Kaisar Hsien Feng namun kekuasaanya bisa mempengaruhi kebijakan kaisar.
Tzu Hsi adalah janda permaisuri berpengaruh. Sepak terjangnya terlihat ketika ia berkehendak menggulingkan Kaisar Kuang Hsu yang masih terhitung keponakannya.
Bersama dengan Jenderal Yuan Shih Kai mengambil langkah-langkah menangkap Kaisar bersama sekondannya yang dikenal telah mereformasi tahta Cina, Liang Chi Chao tahun 22 September 1898.
Tzu Hsi adalah penentang langkah-langkah pembaruan Cina yang ditawarkan Kuang Hsu. Baginya keterbukaan dan pembaharuan yang ditawarkan Kuang Hsu dapat merusak sendi-sendi nilai tradisional Cina.
Kuang Hsu ditahan dan dibuang sampai wafatnya. Ibu Suri Tzu Hsi mengangkat Pangeran Pu Yi menjadi kaisar China pada 2 Desember 1908. Pu Yi hanyalah Kaisar bayangan. Yang memerintah sesungguhnya adalah Ibu Suri Tzu Hsi.
Sejak zaman Yesus, kekuasaan itu sungguh menggoda, bukan hanya untuk kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan.
Ibu Zebedeus datang kepada Yesus supaya anak-anaknya didudukkan masing-masing di sebelah kanan dan di sebelah kiri Yesus saat nanti berkuasa sebagai raja.
Namun Yesus justru berpikir lain dan inilah yang menjadi inti ajaranNya. “Barangsiapa ingin menjadi besar di natara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia; Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
Kekuasaan itu bukan tujuan, hanya sarana untuk melayani. Yang utama adalah mereka yang dilayani. Seperti istilah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Para anggota dewan itu hanyalah wakil rakyat. Yang utama adalah rakyatnya. Jika anggota dewan melupakan rakyat yang diwakilinya, ia seperti kacang lupa kulitnya. Tidak pantas menjadi wakil rakyat lagi. Maka tidak perlu dipilih.
Kita diingatkan oleh Yesus, untuk siap melayani dan menjadi hamba. Pelayanan kitalah yang menentukan kualitas hidup kita.
Gua Pindul ada di Wonosari
Menikmati ombak menggunung di Pantai Drini
Kalau mau menjadi pemimpin yang dicintai
Jadilah pelayan rakyat dengan tulus hati
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Jul 23, 2019 | Renungan
DALAM suatu perjumpaan dengan Mgr. Pujasumarta almarhum, saya diberi benih kelor (Moringa oleifera).
Beliau meminta saya untuk mencoba mengembangkannya di Paroki Tayap. Beliau bercerita bahwa pohon kelor ini banyak manfaatnya.
Daunnya bisa untuk obat berbagai penyakit. Akarnya bisa menahan dan menyiman air di tanah. Bencana dan tanah longsor bisa dihindari dengan menanam pohon kelor.
Saya bawa benih itu ke Tayap. Saya coba tanam, namun ternyata tidak dapat tumbuh dengan baik. Kadar keasaman tanah sangat tinggi sehingga tida bisa berkembang. Yang tumbuh subur justru pohon jengkol dan hasilnya lebat.
Dalam bacaan hari ini, Yesus menceritakan perumpamaan seorang penabur yang menaburkan benih di beberapa tempat; di pinggir jalan, di tanah berbatu, di tanah yang penuh semak duri, dan di tanah yang baik.
Benih yang jatuh di tanah yang tidak baik menghadapi berbagai tantangan; di makan burung, layu karena terik matahari, dililit oleh semak duri.
Tetapi benih yang jatuh di tanah yang baik bisa menghasilkan berlipat-lipat. Ada yang seratus kali, enampuluh atau tigapuluh kali lipatnya.
Iman yang kita terima itu sumpama benih yang ditaburkan Tuhan. Iman itu bisa berkembang baik tergantung dari jenis tanah dimana dia ditaburkan.
Lingkungan dimana kita hidup bisa mempengaruhi pertumbuhan benih itu. Jika lingkungan ada toleransi, penghargaan, saling hormat, penerimaan dan tepa selira, iman akan tumbuh dengan baik juga.
Kita bisa bertanya, apakah diri kita ini tempat yang baik bagi benih iman yang ditaburkan Tuhan ? apakah iman kita dapat tumbuh berkembang di lingkungan dimana kita hidup?
Lingkungan macam apa benih kita ini tumbuh? Apakah di pinggir jalan? Apakah di tanah gersang? Apakah di tengah semak berduri? Ataukah di tanah yang subur?
Marilah kita mengidentifikasi diri agar kita bisa mengembangkan benih itu berlipat ganda.
Mancing di sungai dapat ikan sepat
Biar hidup dilepaskan ke dalam sumur
Iman dapat berkembang pesat
Kalau hati kita adalah tanah yang subur
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Jul 22, 2019 | Renungan
HARI Senin, 22 Januari 2018 saya mimpin misa di Tayap untuk perpisahan dengan umat karena saya dipanggil pulang ke Jawa.
Misa diadakan di rumah ketua umat, Pak Herman. Esok paginya saya pamitan dengan keluarga ini. Kami berpelukan dan tak terasa air mata menetes di sudut mata.
“Romo, jangan lupakan kami ya. Romo sudah jadi bagian keluarga kami.” Katanya berkaca-kaca. Saya menyebutnya keluarga Pelangi karena punya warung juice dan bengkel Pelangi.
Saya meninggalkan Tayap dengan perasaan kehilangan. Hampir delapan tahun saya tinggal di Tayap. Saya menemukan keluarga baru di perantauan. Mereka sangat baik, ikut terlibat melayani gereja.
Saya tak bisa melupakan ini. Saat menulis ini pun saya merindukan mereka. Mempunyai keluarga yang bisa menerima kita sungguh menggembirakan.
Dalam bacaan hari ini Yesus menegaskan siapa yang menjadi keluargaNya. “Siapakah IbuKu? Dan siapakah saudara-saudaraku?”
Dan sambil menunjuk ke arah murid-muridNya, ia bersabda: “Inilah ibuKu, inilah saudara-saudaraKu! Sebab siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di surga, dialah saudaraKu, dialah saudariKu, dialah ibuKu.”
Yesus mengartikan hubungan persaudaraan secara baru. Bukan berdasarkan garis keturunan atau aliran darah, tetapi berdasarkan ketaatan melaksanakan kehendak BapaNya.
Setiap orang yang melaksanakan kehendak Bapa adalah saudara Yesus. Relasi kekerabatan diperluas dengan menjadi pelaksana kehendak Allah. Ia menunjuk para muridNya, berarti Ia menegaskan kalau mau menjadi murid Yesus harus bersedia melaksanakan kehendak Bapa, seperti Yesus sendiri.
Kalau kita melaksanakan kehendak Allah, maka kita akan memperoleh saudara. Ada rumah, ada keluarga, ada ibu bapak yang akan menerima kita. Saya mengalami itu.
Dimana pun ditugaskan, saya menemukan saudara-saudara dan orangtua yang baik. Marilah kita setia melaksanakan kehendak Bapa, maka Dia akan memberikan berkat berlipat-lipat.
Berkat saudara-saudari, berkat rejeki, berkat pekerjaan, berkat rumah dan keluarga akan mengalir mengikutinya.
Ke swalayan membeli jamu
Untuk mengobati sakit kepala
Siapakah saudaraku, siapakah ibuku?
Mereka yang melakukan kehendak Bapa
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr