Puncta 02.07.21 / Jum’at Biasa XIII / Matius 9: 9-13

 

“Appeal To Popularity”

SALAH satu kecenderungan kita adalah mudah menilai atau menghakimi orang. Apalagi jika yang menilai atau berbicara itu seorang tokoh. Orang banyak tanpa pikir panjang akan percaya. Kalau orang banyak sudah berbicara, hal itu akan dianggap benar. Soal isinya benar atau salah tidak penting. Asal orang banyak sudah satu suara dianggap benar.

Salah satu kesesatan dalam berpikir disebut argumentum ad populum atau appeal to popularity. Kesesatan berpikir ini dibuat dengan menggunakan suara atau pendapat orang banyak. Opini orang banyak digiring untuk memojokkan orang atau suatu kelompok.

Dengan demikian orang akan mudah diarahkan karena massa menilai hal itu suatu kebenaran. Contoh yang paling jelas adalah penyebaran berita hoax.

Orang-orang Parisi tidak suka melihat Yesus makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa. Ketika Ia makan di rumah Matius, kaum Parisi menuduh Yesus bergaul dengan para pendosa.

Kaum Parisi membuat stigma jelek kepada para pemungut cukai. Mereka dianggap sebagai kaum pendosa. Mereka bersekongkol dengan para penjajah Romawi, sebab mereka menarik pajak rakyat.

Kaum Parisi menggiring opini bahwa para pemungut cukai adalah pengkianat bangsa dan pendosa. Pertanyaan mereka kepada murid-murid Yesus sudah menggiring dan menghakimi, “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”

Yesus tidak mau mengikuti cara berpikir kaum Parisi yang sesat itu. Yesus tidak meninggalkan Matius, tetapi justru Yesus makan bersama. Yesus menerima kaum pendosa.

Yesus ingin menegaskan misi kedatangan-Nya. “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

“Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.” Kita ini menganggap diri sehat, padahal bisa jadi sakit. Bukan sakit fisik tetapi sakit pikiran, sakit hati, sakit mental. Sesat pikir itu juga sebuah penyakit. Bisa jadi kita tidak lebih dari orang-orang Parisi itu.

Oleh karenanya, marilah kita bertobat dahulu, sebelum kita menilai atau menghakimi orang lain.

Virus corona terus menerjang.
Mari kita tetap menjaga stamina.
Jangan mudah menghakimi orang.
Karena kita belum tentu sempurna.

Cawas, tetap di rumah saja….
Rm. Alexandre Joko Purwanto,Pr

Puncta 01.07.21 / Kamis Biasa XIII / Matius 9: 1-8 / Logical Fallacy

 

SAYA senang mengikuti acara Logika Ade Armando di CokroTV. Di awal acara sudah diperingatkan bahwa “video ini hanya untuk mereka yang punya logika. Bagi yang tidak punya logika, skip aja.”

Logika-logika Ade Armando sangat runtut dan masuk akal. Kadang menggelitik dan pedas bagi yang logikanya sempit dan cekak.

Sekarang ini terasa aneh kalau ada orang yang tersesat jalan. Di HP android sudah ada aplikasi maps. Orang tinggal buka google maps, kita akan diberitahu kemana arah yang akan dituju, dimana posisi sekarang. Bahkan diberitahu jalan terpendek serta bagaimana menghindari kemacetan. Tidak mungkin orang tersesat.

Namun sekarang ada banyak orang yang sesat pikirnya atau mengalami logical fallacy. Sesat pikir adalah suatu argumen/kesimpulan yang nampak benar namun sesungguhnya mengandung kesalahan dalam penalarannya.

Menurut Irving M Copi ada 6 bentuk sesat pikir. Pertama, argumen ad hominem atau menyerang pribadi. Contohnya, apa yang diucapkan Ahok itu salah. Kedua, argumentum ed populum, suara orang banyak dianggap benar. Dah bisa cari contoh sendiri kan?

Ketiga, hasty generalization. Membuat kesimpulan dengan menggeneralisir premis-premis. Misalnya diputus ceweknya lalu membuat kesimpulan semua cewek di dunia brengsek. Keempat, argumen post hoc ergo propter hoc. Salah mengambil kesimpulan karena hubungan sebab akibat yang keliru.

Kelima slippery slope, sesat pikir karena terlalu banyak argumen yang makin menjauh. Misalnya, orang yang doanya panjang-panjang itu orang saleh. Orang saleh rajin ke gereja. Orang yang rajin ke gereja akan ketemu Tuhan. Orang yang ketemu Tuhan akan masuk surga. Jadi orang yang doanya panjang nanti akan masuk surga. Slippery Slope itu menghasilkan kesimpulan kalau doanya panjang pasti nanti masuk surga.

Keenam, false dicotomy (black or white). Seseorang menganggap bahwa satu kesimpulan hanya ada dua pilihan. Tidak terbuka pada kondisi yang lain. Misalnya, bintang film itu cantik-cantik. Apa kalau bukan bintang film lalu tidak cantik?

Ketika Yesus berkata kepada orang lumpuh, “Percayalah hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni”, ahli Taurat langsung menghakimi dengan berkata, “Ia menghujat Allah.”

Ini contoh dari orang sesat pikir yang langsung ad hominem dan false dicotomy. Orang yang langsung menyalahkan tanpa dilandasi argumen yang kuat. Ahli Taurat juga hanya berpikir hitam putih.

Yesus menegaskan ini dengan berkata, “Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?”

Mungkin kita juga sering sesat pikir. Manakah yang sering kita lakukan berhadapan dengan orang lain? Terhadap Allah, mungkin kita sering buat false dicotomy. Allah itu mahabaik. Kalau Allah tidak mengabulkan doa kita, berarti Allah tidak baik. Itu kesimpulan yang sering terjadi pada kita, bukan?

Hari-hari ini banyak berita duka.
Membikin hati prihatin dan pedih.
Mari mengasihi Allah dan sesama.
Dengan hati tulus, benar dan jernih.

Cawas, doaku untukmu….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr