Puncta 17.02.20 Markus 8:11-13 / Katolik KTP

 

KARTU Tanda Penduduk menunjukkan identitas seseorang. Ada kartu identitas lain, misalnya SIM, Pasport atau Ijasah.

Dengan SIM (Surat Ijin Mengemudi) berarti seseorang diakui mampu dan diijinkan membawa kendaraan bermotor.

Pasport adalah identitas kewarganegaraan seseorang. Ijasah juga bisa menjadi tanda bahwa seseorang mempunyai status pendidikan atau ketrampilan.

Tanda menunjukan sebuah identitas. Entah itu kedudukan, status, keahlian atau kemampuan tertentu.

Dalam Injil, orang-orang Farisi meminta kepada Yesus suatu tanda dari surga. Dengan tanda itu, orang akan diakui atau diterima statusnya.

Orang-orang Farisi itu baru bisa percaya kepada Yesus kalau dapat melihat suatu tanda “istimewa” yang berasal dari “dunia lain”.

Kira-kira mereka itu ingin agar Yesus bisa membuat semacam ‘atraksi sulapan” yang membuat mereka tercengang. Bagi mereka, tanda-tanda spektakuler itu penting supaya orang diakui atau dihormati.

Yesus merasa heran kepada mereka. Yesus mengeluh dalam hatiNya, “Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu, Sungguh, kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberikan tanda.”

Tanda itu tidak penting. Yang penting itu apa yang ditandakan atau isinya. Apa artinya orang yang KTPnya Katolik tetapi hidupnya tidak menggambarkan kekatolikannya.

Orang sering bilang, dia itu katolik KTP. Itu artinya kekatolikannya hanya di selembar kecil KTP, tidak di dalam perilaku dan gaya hidupnya.

KTPnya katolik tetapi tidak pernah ke gereja, tidak pernah ikut kegiatan lingkungan, muncul di RT/RW jarang. Makanya tanda itu tidak penting. Yang penting adalah isinya.

Kalau orang memiliki hati yang peka, kehadiran Yesus itu sudah sebuah tanda. Tanda bahwa Allah hadir dan berkarya di tengah-tengah umatNya.

Yesus bergaul dengan orang miskin, berdosa, tersingkir. Yesus menyembuhkan orang sakit. Yesus menerima siapa pun juga.

Karya Yesus itu merupakan tanda Allah hadir mengasihi manusia. Pengorbanan dan kematian Yesus di salib itulah tanda kasih Allah bagi kita. Salib itulah tanda kekatolikan kita. apakah kita bangga dengan salib ?

Dari kelas satu ke kelas tiga
Naik ke level yang lebih tinggi
Ikut Yesus haruslah bangga
Kita berdosa tetapi dicintai

Cawas, menuju level yang lebih tinggi
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 16.02.20 Minggu Biasa VI Matius 5: 17-37 / Ekaprasetya Pancakarsa

 

APAKAH masih ada yang ingat apa artinya Eka Prasetya Pancakarsa? Masih ingat apa singkatan P4? Pernah mengalami penataran P4?

Kita dulu punya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Pancasila adalah dasar hidup berbangsa. Orang Israel punya Sepuluh Perintah Allah.

Pancasila adalah nilai moral Bangsa kita. Dengan adanya P4 itu dimaksudkan agar nilai-nilai luhur bangsa itu tertanam bagi seluruh lapisan masyarakat.

Maka diadakan penataran, setengah indoktrinasi. Tetapi dengan begitu semua orang tahu bagaimana menghayati nilai-nilai moral bangsa.

Ketika reformasi, penataran P4 itu dihilangkan, kini kita semakin jauh dari nilai-nilai moral bangsa. Jangan heran kalau ada pelajar tawuran, mahasiswa melakukan kekerasan, orang muda tidak hapal Pancasila, banyak orang tidak bisa menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, bahkan ada sekelompok orang tidak mau menghormati bendara Merah Putih.

Nilai luhur Pancasila itu perlu direvitalisasikan lagi, agar kita tidak kehilangan nilai moral kebangsaan.

Bangsa Israel mempunyai Sepuluh Perintah Allah sebagai pedoman hidup bangsa. Kesetiaan Israel sebagai bangsa dapat dilihat dari bagaimana mereka menghayati dan menghidupi Sepuluh Perintah Allah.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus seperti seorang penatar memberi penjelasan dan penekanan bagaimana Perintah Allah itu diwujudkan secara kongkret dalam hidup sehari-hari. Bahkan Yesus memberi tuntutan yang lebih keras lagi.

“Kamu pernah mendengar apa yang telah difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum, tetapi Aku berkata kepadamu, setiap orang yang marah kepada saudaranya harus dihukum.”

Yesus mengutip beberapa isi Perintah Allah. Misalnya, jangan berzina, Jangan bersumpah palsu. Perintah-perintah Allah itu adalah pedoman yang harus dihayati oleh umat Israel. Yesus menjelaskan bagaimana perintah Allah itu dipakai dalam hidup sehari-hari.

Sayang sekali setelah reformasi ini, kita tidak lagi menggali nilai-nilai luhur Pancasila. Seperti ditabukan, kalau kita menggali Pancasila seolah kita ingin menghidupkan kembali orde baru. Ini salah kaprah.

Bukan meniru orde baru, tetapi kita menyegarkan kembali nilai dasar berbangsa yang termaktub dalam Pancasila itu.

Perlu ada revitalisasi nilai-nilai Pancasila ini. Dibutuhkan orang seperti Yesus yang mau menggali nilai luhur Perintah-perintah Allah. Maukah kita menghidupkan nilai luhur bangsa kita?

Ada buaya di atas genting
Makan es krim tiada tersisa
Pancasila itu dasar yang sangat penting
Sebagai pedoman moral berbangsa.

Cawas, anggrek berbuah banyak
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 15.02.20 Markus 8:1-10 / Ekaristi Sumber Hidup

 

PERJALANAN manusia dari lahir sampai mati digambarkan dalam tembang macapat. Ada 11 tembang yang menggambarkan tahap-tahap hidup manusia.

Maskumambang gambaran janin yang “kumambang” terapung di rahim ibu. Mijil atau saat lahirnya bayi. Sinom yakni masa anak menuju remaja yang harus banyak belajar.

Kinanthi masa anak “dikanthi” dituntun kepada kebajikan. Asmaradana saat anak mengalami jatuh cinta. Gambuh saat sudah “jumbuh” atau cocok menemukan jodoh hidup dalam tali perkawinan.

Durma atau darma yakni mendarmabaktikan hidupnya bagi orag lain. Pangkur atau “mungkur” tahap orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri dan meninggalkan hawa nafsunya.

Megatruh atau “Megat roh” artinya meninggal. Saat kita harus kembali ke pangkuan Bapa. Pocung artinya orang mati tidak membawa apa-apa kecuali kain penutup tubuh.

Dalam Gereja ada 7 sakramen sebagai jalan menuju keselamatan. Sakramen Baptis, Ekaristi, Tobat, Penguatan, Perkawinan, Imamat, Perminyakan suci.

Sakramen Ekaristi menjadi sumber dan puncak perayaan seluruh sakramen. Injil hari ini menggambarkan bagaimana pemecahan roti menjadi sumber kehidupan bagi semua orang.

Tujuh roti itu melambangkan tujuh sakramen gereja. Tujuh sakramen itulah yang memberi hidup manusia sehingga kita tetap menyatu dengan Kristus.

Dengan ketujuh roti itu Yesus mengadakan ekaristi. Ia mengambil ketujuh roti itu, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya, dan memberikannya kepada murid-muridNya untuk dibagi-bagikan kepada orang bayak sehingga mereka kenyang.

Inilah pola ekaristi awal yang dibuat Yesus saat menggandakan roti untuk banyak orang.  Dengan ekaristi Yesus ingin menunjukkan bahwa Allah memelihara hidup manusia. Allah menghidupi manusia sejak awal sampai akhir.

Melalui ekaristi kita mengalami Allah yang mengasihi kita dalam Yesus. Dengan ekaristi kita mengenangkan Yesus yang memberikan diriNya untuk kita.

Roti itu adalah tubuhNya. Anggur itu adalah darahNya yang memberi kehidupan kita. Dengan tujuh roti Yesus memberi makan ribuan orang.

Dengan ekaristi, Yesus memberikan diriNya untuk keselamatan kita. Apakah kita rajin hadir dalam ekaristi?

Bunga anggrek merah warnanya
Tumbuh menjulang ke langit jingga
Kita menerima Tubuh dan DarahNya
Ekaristi adalah santapan jiwa

Cawas, menikmati awan di langit
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 14.02.20 PW. St. Sirilus, Pertapa dan Metodius, Uskup Markus 7:31-37 / SLB Dena Upakara

 

SEKOLAH Luar Biasa Dena Upakara di Wonosobo adalah tempat mendidik anak-anak berkebutuhan khusus yakni tunarungu. Mereka diajari supaya bisa berkomunikasi dengan orang lain secara oral.

Mereka mempunyai talenta dan kemampuan yang besar. Cuma mereka tidak mampu mengungkapkan dengan bahasa. Maka para pendamping mengajari mereka berbahasa.

Seperti seorang ibu yang sangat bahagia jika anaknya bisa mengucapkan kata “mama atau papa” , begitu juga para pendamping itu merasakan sebuah mukjijat Yesus jika anak-anak didiknya bisa berkomunikasi dengan bahasa mereka.

Sekolah yang dikelola oleh para suster PMY di Wonosobo ini mendampingi Play Group. TKLB, SDLB dan SMPLB. Ada juga kelas latihan kerja, supaya mereka bisa bekerja di tengah masyarakat umum.

Banyak mutiara terpendam yang dapat digali di tempat ini. Pengalaman itu adalah pengalaman mukjijat sebagaimana Yesus menyembuhkan orang sakit bisu tuli.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menyembuhkan seorang yang tuli dan gagap di daerah Dekapolis. Yesus mengajak orang itu sendirian.

Lalu Yesus melakukan ritus penyembuhan dengan memasukkan jari ke telinga orang itu, meludah dan meraba lidah si sakit , menengadah ke langit dan berkata, ”Efata”, maka terbukalah. Terbukalah telinga orang itu dan terlepas pula pengikat lidahnya.

Peserta didik di SLB Dena Upakara itu juga disendirikan, diasramakan, supaya mereka bisa didampingi dalam proses pendidikan, sehingga mereka mampu berbicara.

Ketika mereka melihat dan mendengar anak-anak bisu tuli bisa berbicara. Mereka takjub dan tercengang. Allah menjadikan semuanya baik.

Tuhan itu sungguh maha murah dan mahakuasa. Seperti orang-orang Dekapolis itu memuji Allah, “Ia menjadikan segala-galanya baik. Yang tuli dijadikannya mendengar, yang bisu dijadikannya berbicara.”

Sukacita yang besar itu tak mampu dibendung. Kendati Yesus melarang untuk diberitakan, tetapi mereka menceritakannya kemana-mana dan kepada siapa pun juga.

Kebahagiaan itu tak bisa ditutupi, harus dibagikan kepada banyak orang. Banyak kebaikan-kebaikan dalam hidup kita. Itu harus dibagikan sehingga makin banyak orang mengalami sukacita.

Anak kodok namanya precil
Dijala dengan memakai sarung kain
Hidup ini terdiri dari mukjijat-mukjijat kecil
Kita bisa menularkan kepada orang lain.

Cawas, menunggu hari cerah
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 13.02.20 Markus 7:24-30 / Iman yang Tegar

 

SEORANG ibu datang kepada Rm. Wignyamartaya almarhum. Ia minta tolong kepada romo untuk mengobati anaknya yang sering “tom-tomen” malam-malam.

Tom-tomen itu seperti orang mengigau tidak sadar sambil teriak-teriak kayak ketemu setan. Romo Wignya minta ibu itu menggambarkan denah rumah, kamar dan letak tempat tidur anak itu.

Ibu itu menggambar denah dan membawa ke pastoran. Lalu Romo mencoret-coret kertas bergambar denah rumah dan kamar itu.

Lalu Romo memberi nasehat, “Anakmu harus pindah tidurnya. Jangan di ruangan ini. Di bawah tempat tidur itu ada arus air yang kuat.”

Romo Wignya memang pandai mendeteksi aliran air di bawah tanah. Ibu itu pulang dan mengikuti nasehat Romo Wignya. Sejak saat itu anaknya tidak pernah tom-tomen lagi.

Hati seorang ibu pasti menginginkan anaknya sehat, bahagia dan selamat. Itulah yang dikisahkan dalam Injil.

Seorang Ibu dari Siro Fenisia berkebangsaan Yunani memohon kepada Yesus untuk menyembuhkan anaknya yang kerasukan setan.

Yesus tidak serta merta memenuhi permintaannya. Ia menguji ketekunan dan kerendahan hati ibu itu. Kata-kata Yesus keras dan menyakitkan,

“Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”

Kendati menerima kata-kata yang merendahkan, wanita itu tidak mundur. Ia tetap maju berjuang dan memohon kepada Yesus.

Karena kerendahan hati dan kegigihannya, Yesus memenuhi permintaan ibu itu. “Karena kata-katamu itu, pulanglah, sebab setan itu sudah keluar dari anakmu.” Ibu itu pulang dan anaknya sudah terbebas dari kuasa setan.

Meminta kepada Tuhan itu dibutuhkan sikap kerendahan hati dan kegigihan. Kerendahan hati berarti kita mengakui bahwa Allah itu mahakuasa.

Kita adalah manusia lemah yang hanya bisa mengandalkan Tuhan. Kita tidak bisa memaksa dan mendikte Tuhan.

Gigih berarti tidak boleh mundur atau putus asa. Tuhan kadang menguji kita. Tuhan belum mengabulkan doa kita.

Bahkan memberi situasi yang lebih berat kepada kita. Sudah jatuh tertimpa tangga. Iman kita sedang diuji kekuatannya. Apakah kita masih mampu bangkit mengangkat tangga itu?

Seperti wanita Siro Fenisia itu, ia memperoleh rahmat besar yang diharapkannya. Sebagaimana Yesus sendiri yang bertahan memanggul salib dan mau mengorbankan diri, kemuliaan kebangkitan menjadi buah perjuangan.

Mari kita tunjukkan iman kita dengan sikap rendah hati dan gigih berjuang tanpa henti.

Tu wa ga pat tu maju
satu lawan empat hasilnya tetap tujuh
teladan yang gigih adalah ayah ibu
selalu berjuang tidak pernah mengeluh

Cawas, menghitung cicak di dinding
Rm. A. Joko Purwanto Pr