Puncta 22.03.20 Minggu Prapaskah IV Yohanes 9:1,6-9,13-17,34-38 / Melihat yang Tak Terlihat

 

PADA waktu Gunung Merapi akan meletus, ada cerita beredar di sebuah desa yang akan dilewati lahar dingin.

Waktu itu ada seorang tua lewat di desa itu dan memberitahukan kepada warga untuk pergi dari kampung untuk melihat pengantin agung lewat.

Namun orang-orang itu tidak percaya dan menyepelekan kabar omong kosong itu. Dari mana ada pengantin agung di desa di lereng gunung yang terpencil seperti itu.

Orang-orang tak menggubris kabar itu. Dan apa yang terjadi kemudian. Desa itu tersapu oleh lahar dingin Merapi dan hanya satu orang yang selamat karena dia bepergian dari desanya.

Ternyata yang dimaksud pengantin agung oleh orangtua misterius itu adalah lahar dingin yang menyapu desa tanpa ampun.

Dalam bacaan pertama, Samuel diminta oleh Tuhan untuk memilih dan mengurapi Raja Israel dari keturunan Isai. Samuel melihat paras yang tampan dari Eliab.

Tetapi Tuhan tidak melihat kemolekan lahiriah. Samuel terpesona oleh keperkasaan anak Isai yang lain. Tetapi Allah tidak melihat mereka dari apa yang terlihat.

Baru ketika Samuel melihat Daud, Tuhan menyuruh mengurapi dia sebagai raja Israel. Samuel dituntun untuk mengenal Daud bukan dari apa yang kelihatan, tetapi dari kehendak Tuhan.

Samuel diberi hati yang dapat mengenal kehendak Tuhan, bukan apa yang kelihatan oleh mata manusia.

Dalam Injil hari ini, Yesus menyembuhkan orang buta sejak lahirnya. Orang Yahudi berpandangan bahwa orang sakit, orang miskin, orang menderita itu karena kutukan akibat dosanya atau dosa orangtuanya.

Maka mereka bertanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga dia dilahirkan buta?”

Kata Yesus, “bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Karena buta, orang itu bisa berjumpa dan mengenal Yesus Sang Mesias. Tetapi orang-orang Farisi yang dapat melihat itu justru tidak mampu mengenal siapakah Yesus itu.

Orang buta justru mempunyai kepekaan hati untuk melihat yang terdalam, bukan hanya yang lahiriah saja. Sebaliknya, kita yang tidak buta malah tidak mampu melihat apa yang dikehendaki oleh Allah.

Buta itu bukan hanya urusan mata secara lahiriah, tetapi buta bisa berarti hati yang tertutup akan kehendak Allah.

Bisa jadi mata kita melihat tetapi hati kita buta. Tidak tertutup kemungkinan ada orang yang buta secara fisik, tetapi hati sangat peka dengan karya dan kehendak Tuhan dalam peristiwa hidup kita.

Marilah kita mengasah hati agar tidak buta akan karya-karya Allah. Marilah kita melihat apa yang tidak terlihat dengan mata batin kita.

Senja melihat mentari bersinar redup.
Malam datang bulan purnama.
Karya Tuhan tergelar dalam peristiwa hidup.
Mata batin perlu diasah untuk memahaminya.

Banyuaeng, dalam pelukan senja.
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 21.03.20 Lukas 18:9-14 / Rumangsa Bisa. Bisa Rumangsa

 

PANGERAN Muda dari Kurawa ini sangat sombong perilakunya. Namanya Dursasana. Ia selalu menganggap diri paling kuat dari para ksatria Kurawa.

Polahnya selalu merasa paling benar. Ia selalu menyamakan dirinya dengan Bima yang gagah perkasa. Ia tak mau kalah dengan Werkudoro.

Hatinya selalu panas jika dibanding-bandingkan dengan Panenggak Pandawa itu. Ia sering mengejek para Pandawa. Ia sering menantang Bima tetapi selalu dapat dikalahkan.

Perilakunya angkuh dan jumawa, merasa diri paling kuat sendiri. Namun justru itulah letak kelemahannya. Dalam perang Baratayuda, dia dikalahkan oleh Bima dengan mudah karena kesombongannya sendiri.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menyindir orang-orang Farisi yang merasa diri benar. Maka Ia menyindir mereka dengan perumpamaan. Ada dua orang masuk bait suci untuk berdoa.

Orang Farisi menganggap diri paling benar. Ia menyombongkan segala usahanya. Ia merasa paling berjasa di hadapan Allah. Ia suka membandingkan dengan pemungut cukai. Doanya berisi litani keberhasilan. Ia merasa paling bisa.

Berbeda dengan orang Farisi, si pemungut cukai “bisa rumangsa”. Ia merendahkan diri. Ia merasa paling tidak pantas di hadapan Allah.

Maka nampak dari gesturnya yang berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengadah ke langit. Ia menundukkan dirinya.

Dia bisa “ngrumangsani” dia hanya bisa menepuk dadanya dan berkata, “Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini.”

Sikap si pemungut cukai ini dibenarkan oleh Allah. Walau pun dia seorang pemungut cukai, tetapi dia merasa diri sebagai orang yang tidak pantas di mata Tuhan.

Manusia itu hanyalah ciptaan yang terbatas oleh berbagai kelemahan dan kekurangan. Sikap seperti inilah yang benar di mata Tuhan. Manusia merendahkan diri di hadapan Tuhan.

Marilah kita sebagai manusia “bisa rumangsa” tidak sebaliknya “rumangsa bisa.” Sebagai manusia kita harus sadar diri. Tidak menyombongkan diri di hadapan manusia, apalagi di hadapan Tuhan.

Seharian tamu datang tiada hentinya.
Mengucap salam untuk terakhir kalinya.
Manusia itu bukan apa-apa.
Kita hanyalah debu di hadapanNya.

Banyuaeng, selalu demi cinta.
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 20.03.20 Markus 12:28b-34 / Cinta Tuhan = Cinta Sesama

 

Bunda Teresa dari Calcuta yang diangkat menjadi Santa, pernah berkata, “Bagaimana kita bisa mencintai Tuhan yang tak kelihatan kalau kita tidak mampu mencintai sesama kita yang kelihatan sangat dekat di sekitar kita?”

Santa Teresa melihat Allah dalam diri orang miskin, sakit, gelandangan, tuna wisma di pinggir-pinggir jalan di kalkuta India. Mereka adalah wujud nyata wajah Allah.

Maka Santa Teresa mencurahkan hidupnya secara total untuk menolong mereka. Paling tidak mereka bisa mati sebagai manusia bermartabat.

Itulah cinta kepada Allah nyata dalam tindakan kongkret mencintai sesama, bahkan mereka yang sangat menderita dan dikucilkan.

Bacaan Injil hari ini menjelaskan tentang hukum kasih. Yesus ditanya tentang hukum mana yang paling utama. Maka Yesus mengatakan,

“Perintah yang paling utama ialah, kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan perintah kedua ialah, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah itu.”

Mengasihi Allah dan mengasihi manusia itu tidak bisa dipisahkan. Itu seperti dua sisi dalam satu keping uang logam. Tidak bisa dipisah-pisahkan.

Orang tidak bisa mengasihi Allah tanpa mengasihi sesama. Orang tidak bisa mengklaim dekat dengan Allah, sering menyebut nama Allah, tetapi menjauh dan membenci sesamanya.

Juga tak sejalanlah kalau orang menyebut nama Allah untuk membenci sesamanya. Dari hukum kasih itu tak bisa dipisahkan antara kasih kepada Allah dengan kasih kepada sesama.

Yesus tidak hanya mengajarkan, tetapi Yesus sungguh melakukanNya menjadi teladan bagi kita. Yesus mengasihi orang-orang kecil, lemah dan tersingkir.

Bahkan Yesus mengorbankan diriNya dengan wafat di kayu salib, demi keselamatan kita. Tangan Yesus yang terentang di salib itu mau mengatakan kepada kita,

“CintaKu padamu takkan berubah walau ditelan waktu. Biarlah kan Kusimpan dalam hati. Cinta yang suci ini. Pasti kan kausadari.”

Marilah kita mengikutiNya, mengasihi Allah dengan mengasihi sesama di sekitar kita. Beranikah kita mengambil jalan ekstrem seperti Yesus, kasih dengan pengorbanan sampai akhir.

Virus corona berasal dari Wuhan
Bisa menyebar ke seluruh dunia
Cintakasih kepada Tuhan
Bisa terwujud dengan mengasihi sesama

Cawas, dalam iman selalu ada harapan
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 19.03.20 HR St. Yusuf, suami Maria Matius 1:16.18-21.24a / Silsilah

l

SAHABAT saya bercerita bahwa dia masih punya garis keturunan dengan Pangeran Hadiwijaya, Adipati Pajang. Dia adalah generasi ke limabelas dari garis Sang Adipati itu.

Ada sertifikat yang menunjukkan garis keturunan itu. Itu berarti ada darah biru yang mengalir di dalam dirinya.

Kalau saya berbicara atau memohon sesuatu, saya harus menunduk dan menyembah dengan takzim, karena saya hanya rakyat jelata. Mungkin dalam gelar keraton, dia boleh menyandang sebutan Raden Ayu atau sejenisnya.

Saya harus memakai basa krama inggil dalam tradisi Jawa, jika saya berkata-kata. Misalnya, “Nyuwun sewu Den Ayu, punapa kepareng kula badhe sowan lan nyuwun palilah penjenengan….”

Silsilah itu menunjukkan status pribadi dan siapa orang itu. Seorang dari darah biru harus dihormati dan disembah.

Menurut silsilahNya, Yesus dilahirkan oleh Maria, yang bersuamikan Yusuf. Dari garis keturunan, Yusuf berasal dari Daud. Kalau dirunut lebih jauh, Yusuf berasal dari keturunan Yakub, Abraham.

Silsilah itu mau menunjukkan asal-usul seseorang. Dengan demikian Yesus adalah keturunan Daud, keturunan Abraham.

Hari ini kita merayakan Santo Yusuf, suami Maria. Dalam Kitab Suci, tidak bayak diceritakan tentang Yusuf. Data yang tertulis sangat sedikit.

Namun walaupun sedikit, tetapi justru menunjukkan bahwa Yusuf adalah orang yang rendah hati dan tulus. Dia adalah pribadi di balik layar.

Tidak banyak diekspos atau dikisahkan. Namun dalam situasi kritis, dia tampil dan mengambil peran. Dia berani mengambil keputusan untuk memperistri Maria, ketika Maria sudah mengandung.

Saat bayi dan ibuNya terancam oleh Herodes, Yusuf tampil menyelamatkan mereka dengan mengungsi ke Mesir.

Sifat lain dari Yusuf adalah siap siaga dan segera bertindak. Ia segera bertindak dalam situasi darurat dan mendesak. Kitab suci menulis,

“Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya.”

Ia tidak menunda-nunda, tetapi sesudah bangun langsung bertindak seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan. Tidak mengulur waktu. Tidak ditambah, tidak dikurangi.

Dalam senyap ia menyelesaikan tanggungjawabnya. Tidak mencari pujian dan penghormatan. Ia dengan tulus dan bangga sebagai pribadi di balik layar. Yang utama adalah Yesus dan Maria, ibuNya.

Sesudah ia dan Maria membawa Yesus ke bait suci, Yusuf dengan tenang dan senyap mundur dari panggung kehidupan. Tidak ada ceritanya lagi.

Mari kita belajar dari Yusuf, semangat tulus, rendah hati, segera bertindak, tanggungjawab, tidak menunda-nunda, tenang, dan sabar. Dan pasti hidup doanya mendalam.

Potong rambut di salon pribadi.
Sudah gratis masih dijamu.
Santo Yusuf yang tulus dan rendah hati.
Ajarilah kami meneladan hidupmu.

Cawas, selamat jalan Dik Giarto, bahagialah di surga.
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 18.03.20 Matius 5:17-19 / Kristus Duta Surgawi

 

PRABU Kresna ditetapkan oleh para Pandawa menjadi duta atau utusan untuk minta kembalinya Negara Astina ke tangan putra-putra Pandu.

Sudah dua kali utusan dikirim, tetapi selalu “gagar wigar tanpa karya” artinya gagal tidak membawa hasil. Duta pertama adalah Kunti, ibu para Pandawa sendiri.

Duta kedua adalah Prabu Drupada, raja di Pancalaradya. Mereka tidak digubris oleh Kurawa. Kini Kresna dipercaya menjadi “duta mungkasi” artinya duta yang diberi wewenang menyelesaikan masalah sampai tuntas.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus berkata, “Jangan menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”

Yesus adalah utusan Allah. Dia adalah Anak Allah yang diutus menjadi “duta mungkasi”. Sebelumnya Allah telah mengutus Musa yang menurunkan Taurat kepada Bangsa Israel.

Lalu para nabi diutus Allah untuk selalu mengingatkan bangsa Israel. Namun mereka tidak mendengarkan para utusan dan tetap menyeleweng. Israel tidak setia kepada Yahwe Allah.

Yesus diutus menjadi duta atau utusan untuk menjadi hakim yang mengadili semua manusia. Bagi bangsa Israel dasar pengadilannya adalah hukum Taurat.

Barangsiapa meniadakan atau tidak melaksanakan hukum Taurat akan menduduki tempat paling rendah dalam kerajaan surga.

Tetapi yang melakukan dan mengajarkan segala perintah Taurat akan menduduki tempat yang tinggi dalam kerajaan surga.

Bagi kita yang mengikuti Kristus, dasar pengadilannya adalah hukum cintakasih. Barangsiapa tidak melakukan hukum kasih, dia akan berada di tempat paling rendah di dalam kerajaan surga.

Namun bagi mereka yang melakukan dan mengajarkan hukum kasih, dia akan menduduki tempat yang tinggi dalam kerajaan surga. Yesuslah yang menjadi duta bagi kita semua.

Yesuslah yang menentukan keselamatan kita. Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum. Dia datang untuk menyempurnakan dan menggenapi hukum itu.

Marilah kita mengikutiNya mengamalkan hukum kasihNya kepada sesama manusia.

Bunga merah kuning sedang mekar.
Serasa indah di taman bunga.
Jangan hanya menjadi pendengar.
Tetapi jadilah pelaksana sabda.

Muntilan, Neng apa seneng aku…
Rm. A. Joko Purwanto Pr