by editor | Dec 17, 2020 | Renungan
KEPUTUSAN Yusuf menerima Maria yang sudah mengandung mungkin suatu hal yang sulit dipahami. Waktu mereka menjalani masa pertunangan, Yusuf mengetahui bahwa Maria sudah mengandung sebelum mereka hidup sebagai suami istri. Sebagai laki-laki normal, pasti Yusuf kecewa, marah, jengkel dan bingung. Namun ia masih berpikir jernih dan tenang, tidak mau merugikan Maria. Ia tidak mengumbar atau melaporkan peristiwa itu kepada orang banyak. Ia tidak ingin mencemarkan Maria di muka umum. Maka ia berencana meninggalkan Maria dengan diam-diam.
Menceraikan Maria dengan diam-diam mungkin adalah keputusan terbaik baginya. Kalau dia mencemarkan Maria di depan umum, bisa jadi Maria dihukum rajam sampai mati. Yusuf adalah pribadi yang tulus hati. Ia berpikir demi kebaikan Maria, bukan demi kepuasan diri sendiri. Segala keputusannya dipertimbangkan baik-baik.
Ketika sedang mempertimbangkan itu, Yusuf mendapat peneguhan dari malaikat dalam mimpinya. “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab Anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.”
Peristiwa itu dihayati sebagai kebenaran ilahi oleh Yusuf. Itu adalah kehendak Allah. Maka sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan kepadanya. Itulah ketaatan seorang Yusuf. Segera sesudah bangun, ia langsung berbuat tanpa menunda-nunda waktu.
Kesediaan Yusuf menerima Maria adalah tindakan seorang yang tulus hati untuk menolong Maria, sekaligus ketaatan kepada kehendak Allah yang sepenuhnya belum bisa dipahami. Iman memang sebuah misteri, yang tidak mungkin kita pahami sepenuhnya. Hanya butuh sebuah ketaatan mutlak kepada kehendak Allah.
Dalam hal ini Yusuf memberi contoh kepada kita ketaatan iman kepada kehendak Tuhan. Tanpa menoleh ke belakang lagi, ia maju mengambil Maria sebagai istrinya. Tanpa ragu-ragu, ia segera melakukan apa yang diperintahkan Tuhan.
Pernahkah kita memiliki iman seperti Yusuf itu? Dengan berani mengambil resiko untuk bertanggungjawab demi kebaikan bersama? Mau memikirkan kebaikan orang lain di atas kepentingan sendiri?
Sungguh indah main di pojok kampus.
Mengibarkan layang-layang dari kain.
Kalau kita mempunyai hati tulus.
Tak mungkin merugikan orang lain.
Cawas, indah malam purnama….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 16, 2020 | Renungan
“Anak Manusia”
MASA Advent dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama masa awal Advent sampai tanggal 16 Desember. Fokus permenungan kita adalah penantian eskatalogis, yakni menantikan kedatangan Tuhan pada akhir zaman. Bagian kedua dari hari ini tanggal 17 sampai dengan 24 Desember yang berfokus pada kelahiran Yesus. Kedatangan Yesus sudah di depan mata. Perayaan natal sudah makin dekat.
Kelahiran Yesus mulai diperkenalkan oleh Matius dengan urut-urutan silsilah. Dari Yesus ditarik mundur ke Daud sampai ke Abraham. Ada tiga kali empatbelas generasi. Bukan soal jumlah dan urut-urutannya yang penting, tetapi penginjil mau meyakinkan bahwa Yesus sungguh manusia. Janji Allah kepada Abraham dan Daud akan dipenuhi dalam diri Yesus Kristus.
Dari silsilah yang kebanyakan adalah nama laki-laki, dimunculkan beberapa nama perempuan yakni Tamar, Rut, Istri Uria (Bersyeba) dan Maria. Latar belakang mereka ini dapat dinilai “cacat” atau tidak sempurna. Tamar adalah perempuan sundal. Rut adalah perempuan asing, orang luar, bukan asli Israel. Istri Uria direbut Daud dengan cara keji penuh dosa. Maria mengandung sebelum ia bersuami dengan Yusuf.
Yesus sungguh hadir di tengah kondisi manusia yang hina, cacat, tidak sempurna. Dari situ sudah nampak bagaimana Allah sungguh mengasihi manusia. Allah melihat ketidak-sempurnaan manusia dan mempergunakannya untuk pewahyuan Putera-Nya. Ia lahir menjadi manusia lemah dan hina.
Allah dengan kemahakuasaan-Nya bisa saja menggunakan kesempurnaan-Nya untuk menyelamatkan manusia yang berdosa. Tetapi kemahakuasaan Allah itu justru memilih kelemahan dan ketidak-sempurnaan manusia. Perempuan-perempuan yang dianggap tidak layak oleh dunia, namun dipakai Allah untuk terlibat dalam karya keselamatan. Inilah universalitas keselamatan.
Dari perempuan, manusia jatuh dalam dosa. Dari perempuan juga Allah menyelamatkan manusia. Yesus anak Maria hadir ke dunia untuk menyelamatkan dosa-dosa kita. Mari kita songsong kelahiran-Nya dengan hati suci dan gembira.
Kemarin minum pil tiga kali sehari.
Ditambah suntik kecil di ujung jari.
Allah menjelma jadi manusia di bumi.
Supaya kita selamat sampai akhir hayat nanti.
Cawas, tanduk setengah….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 15, 2020 | Renungan
PADA waktu pilkada serentak kemarin, ada banyak janji-janji yang disampaikan oleh para calon bupati dan wakil bupati. Ada yang ingin membuat desa mandiri ekonomi. Maka ada calon yang berjanji akan menggelontorkan dana desa masing-masing sebesar dua milyard. Ada yang ingin meningkatkan ekonomi daerah, meningkatkan pendapatan asli daerah, meningkatkan investasi daerah dan masih banyak lagi kata meningkatnya-meningkatnya.
Banyak janji-janji manis disampaikan kepada rakyat. Pada saat kampanye itu semua calon obral janji. Semua demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Semua janji-janji itu baik sekali. Tetapi yang paling penting adalah pemenuhan janji itu setelah dipilih menjadi bupati dan wakil bupati. Tidak jarang ada pemimpin yang setelah terpilih justru lupa pada janjinya.
Harapan rakyat yang dulu melambung tinggi jatuh terjerembab tatkala pemimpinnya justru korupsi dan hanya memikirkan kepentingan sendiri. Kita bisa melihat berapa kepala daerah yang ditangkap KPK gara-gara korupsi dan memperkaya diri.
Yohanes Pembaptis dan orang-orang waktu itu mengharapkan seorang Mesias. Yohanes punya harapan yang tinggi bahwa Mesias itu sudah nampak dalam diri Yesus. Namun Yohanes ingin memastikan apakah benar harapan itu. Maka ia mengutus murid-muridnya untuk bertanya kepada Yesus.
“Tuankah yang ditunggu kedatangannya, atau haruskah kami menantikan seorang yang lain?” tanya mereka.
Yesus tidak memberi jawaban dengan janji-janji seperti dalam pemilu. Ia langsung menjawab dengan bukti-bukti nyata apa yang dilakukan-Nya. “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kalian lihat dan kalian dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin disampaikan kabar baik.”
Yesus tidak mengumbar janji, tetapi langsung bukti. Ia langsung berbuat nyata, menolong banyak orang sakit dan mewartakan kabar gembira. Marilah kita banyak berbuat nyata, bukan hanya menebar janji buta. Semoga antara kata dan perbuatan kita sungguh sesuai dalam realita.
Makan oat rasa strawberry.
Ditaruh di atas mangkok yang rata.
Daripada kita sering menebar janji.
Lebih baik kalau kita berbuat nyata.
Cawas, harganya tinggi….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 15, 2020 | Renungan
“Nggih Nggih Ora Kepanggih”
KALIMAT sindirian itu dipakai untuk mengkritik secara halus bagi orang yang mudah mengatakan iya, tetapi tidak melakukan apa-apa. Secara harafiahnya berkata ya ya tetapi tidak berbuat apa-apa. Bisa juga orang mudah janji-janji, tetapi tidak pernah ditepati. Janjinya kosong belaka, tak pernah dipenuhi.
Hal yang sederhana bisa terjadi, misalnya, orangtua menyuruh anaknya mandi. Anak itu sedang asyik sekali main game di hapenya. Ia menjawab ya, tetapi tetap sibuk dengan gamenya. Berkali-kali hanya mengatakan ya tetapi tidak beranjak sedikit pun.
Dalam hal yang besar dan serius sering juga terjadi, misalnya, sebelum menduduki jabatan tertentu, seorang dilantik, ia bersumpah atau berjanji antara lain; “Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dan dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang berkekuatan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya;
Bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, saya senantiasa akan lebih mementingkan kepentingan negara dari pada kepentingan saya sendiri atau golongan.”
Tetapi mengapa terjadi banyak korupsi dari tingkat bawah sampai ke bapak menteri? Apa mereka lupa pernah mengucapkan janji? Kenapa kok janjinya tidak ditepati? Orang Jawa menyindir, “Nggih, nggih ora kepanggih.” Bisa bilang ya tetapi tidak bisa menepatinya.
Yesus juga menyindir para imam kepala dan pemuka bangsa Yahudi. Mereka itu menganggap diri paling suci dan paling benar, pemegang kunci surga. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Bahkan tidak mau percaya kepada Yesus. Mereka menolak ajaran-Nya. Mereka digambarkan seperti anak yang disuruh bapanya dan menjawab ya, tetapi tidak melakukan apa pun.
Sedangkan pemungut cukai, pelacur dan orang berdosa adalah gambaran anak yang mengatakan “tidak” namun kemudian menyesal dan melakukan perintah bapanya. Karena menyesal, mereka bertobat dan memilih jalan benar yang ditunjukkan Tuhan.
Apakah kita juga akan menjadi orang yang hanya bisa “nggih, nggih ora kepanggih?” bisa berjanji seribu janji tetapi tak pernah menepati?
Jangan kecewa jika nanti tempatmu di surga diberikan kepada mereka yang lebih dahulu melakukan kehendak Bapa. Kita semua akan dinilai dari perbuatannya, bukan dari janji-janjinya.
Bunga anggrek mekar di pagi hari.
Tangkainya tegak kuat berdiri.
Tak ada gunanya seribu janji.
Kalau kita tidak mampu memenuhi.
Cawas, hati menanti…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 13, 2020 | Renungan
“Kattabelletje”
ISTILAH dalam Bahasa Belanda itu kita gunakan menjadi katebelece yang artinya adalah surat sakti atau surat kuasa. Surat itu diberikan dari seorang atasan atau pimpinan kepada bawahan untuk mengurus segala sesuatu supaya dipermudah.
Pada awalnya istilah ini berkembang di birokrasi. Zaman orde baru istilah ini cukup familier. Asal ada surat sakti segala urusan kita akan lancar. Katebelece itu semacam memo atau nota perintah yang wajib dilaksanakan. Katebelece itu bisa dipakai untuk kenaikan jabatan, mutasi atau perpindahan pegawai. Katebelece dibuat bukan berdasarkan profesionalitas tetapi hubungan kekerabatan.
Lama-kelamaan katebelece tidak hanya untuk urusan birokrasi. Hampir semua sektor kehidupan, untuk mempermudah segala urusan, bisnis misalnya, pengusaha minta katebelece dari penguasa agar bisa memenangkan suatu proyek. Untuk memasukkan anak sekolah atau kuliah, agar diterima, minta katebelece dari orang yang berpengaruh atau kuasa.
Ketika Yesus mengajar di bait Allah, para imam-imam kepala dan pemuka-pemuka bangsa Yahudi bertanya kepada-Nya, “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu?”
Yesus dipandang oleh mereka sebagai orang biasa. Ia bukan keturunan dari imam-imam. Keluarga-Nya tidak punya kuasa atau kedudukan apa-apa di tengah masyarakat. Tetapi Ia mengajar dengan penuh kuasa. Banyak orang percaya dan mengikuti-Nya.
Bisa jadi para imam-imam kepala dan pemuka bangsa Yahudi itu tersaingi oleh pengajaran Yesus, sehingga mereka mempertanyakan kuasa-Nya.
Yesus balik bertanya kepada mereka, “Dari manakah pembaptisan yang diberikan Yohanes? Dari surga atau dari manusia?” Dengan kata lain, Yohanes membaptis itu dari kuasa siapa? Mereka bingung sendiri. Akhirnya mereka menjawab, ”Kami tidak tahu.” Hati mereka tumpul, buntu.
Semestinya mereka bisa menyimpulkan sendiri. Yesus membuat orang bisu berkata, orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang mati dibangkitkan, orang miskin mendengar kabar gembira. Kuasa dari manakah itu kalau bukan dari Allah sendiri?
Sekali lagi karena ambisi kekuasaan, jabatan, kedudukan serta iri hati melihat orang lain punya kemampuan serta takut tersaingi membuat mata mereka menjadi buta, sehingga mereka tidak bisa melihat karya-karya Allah di sekitarnya.
Anak Yakub namanya Benyamin.
Yang sulung namanya Yehuda.
Janganlah iri kepada orang lain.
Biar hati tetap ringan gembira.
Cawas, seorang sahabat pergi….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr