by editor | Dec 13, 2020 | Renungan
“Tidak Ada Dusta Di Hati”
Puntadewa adalah sulung Pandawa yang jujur. Ia tidak pernah melakukan kebohongan sedikit pun. Darahnya berwarna putih tanda kesucian hati. Tiada dusta dan kepalsuan di hatinya. Apa yang dikatakan, itulah yang dilakukan.
Demi mencapai kemenangan di medan baratayuda, Kresna melakukan taktik yang disebut “dora cara”, berbohong atau tidak jujur. Tidak mungkin Pandawa mengalahkan Durna yang adalah gurunya sendiri. Harus dicari cara melemahkan kekuatan Durna, yakni dengan ditipu atau dibohongi. Ini masalah, karena belum pernah sekali pun, Puntadewa itu bohong atau tidak jujur.
Kresna harus membujuk Puntadewa supaya berbohong. “Kula mboten kepingin menang kanthi cara mboten jujur” kata Puntadewa. “Saya tidak ingin menang dengan cara tidak jujur.” Kresna tidak berhasil. Penasehat Pandawa itu hanya berpesan, “Kalau Durna bertanya siapa yang mati, jawab saja, gajah (diucapkan lirih) Swatama (diucapkan dengan keras) mati.”
Kresna minta Bima membunuh gajah Swatama milik Malawadenta, anak buah Durna. Kresna minta semua prajurit bersorak-sorak dan berteriak-teriak di medan perang bahwa Swatama mati. Anak Durna kebetulan bernama Swatama juga. Mendengar teriakan bergemuruh yang mengatakan Swatama mati, lumpuh daya kekuatan Durna. Ia mengira anaknya mati di peperangan.
Ia bertanya kepada Pandawa, apakah benar Swatama mati. Puntadewa menjawab seperti yang diajarkan Kresna. “Gajah” disebut pelan-lirih, “Swatama mati” disebut dengan keras. Dia tidak berbohong. Karena pikiran kacau dan bingung serta sudah tua renta, Durna menyimpulkan anaknya yang mati. Karena sedih tak punya daya kekuatan lagi, ia dengan mudah dikalahkan oleh Trustajumena. Durna mati oleh berita bohong.
Injil hari ini menampilkan Yohanes Pembaptis yang jujur. Ketika orang banyak bertanya tentang dirinya, Yohanes mengaku dan tidak berdusta, katanya, “Aku bukan Mesias.” Kalau saja dia menyebut dirinya Mesias, orang banyak tidak akan protes. Mereka bisa menerima karena cara hidupnya yang suci.
Namun Yohanes mengakui diri dan tidak berdusta. Ia bukan Mesias. Kejujuran dan kerendahan hatinya luar biasa. Ia tidak ambisi mengejar posisi. Kadang orang kalau sudah di atas lupa diri.
Belum lama jadi menteri aja langsung korupsi. Yang dikorupsi jatahnya kaum miskin korban pandemi lagi. Sungguh-sungguh tidak punya hati nurani.
Mari kita belajar dari pribadi Yohanes Pembaptis. Utamakan kejujuran dan kerendahan hati.
Anggrek tumbuh di samping melati.
Berbunga cantik menawan hati.
Marilah kita hidup jujur dan rendah hati.
Teladan luhur dari Yohanes Pemandi.
Cawas, gerimis mengundang…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 12, 2020 | Renungan
DEWI Sinta diculik oleh Rahwana ketika suaminya, Rama sedang mengejar kijang kencana. Sinta dibawa dan ditawan di Alengka untuk dijadikan permaisuri Rahwana. Jelas Sinta menolak karena ia sudah bersuami Ramawijaya.
Selang beberapa waktu kemudian Rama mengutus Hanoman, kera putih untuk mendahuluinya ke Alengka. Hanoman diminta memberitahu Sinta bahwa Rama akan datang menjemputnya. Sebagai tanda bahwa Hanoman benar-benar utusan Rama, ia diberi cincin milik Rama sendiri agar diberikan kepada istrinya.
Kedatangan Hanoman di Taman Argasoka menggembirakan Sinta. Harapannya melambung tinggi bahwa Rama akan segera datang. Cincin tanda cinta Prabu Rama diterimanya. Ia percaya Rama akan membebaskannya dari cengkeraman Rahwana yang jahat. Ia menanti dengan tidak sabar saat dimana Rama menumpas angkara murka dan membebaskan dia dari belenggu kejahatan.
Yesus berbicara kepada orang banyak tentang Yohanes Pembaptis, seorang nabi yang diutus untuk mempersiapkan kedatangan Tuhan. Kedatangan Yohanes Pembaptis itu dihubungkan dengan nubuat Nabi Maleakhi, yang diucapkan malaikat kepada Zakaria, “ia akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan, Allah mereka, dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.”
Yohanes Pembaptis itu adalah duta atau utusan yang berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia. Yohanes Pembaptis dan Elia punya semangat dan cita-cita yang sama. Mereka memakai bulu binatang dan ikat pinggang kulit. Mereka berjuang demi kebenaran; Elia melawan Raja Ahab yang menyembah baal. Yohanes melawan Herodes yang merebut Herodias, istri saudaranya. Mereka sama-sama ingin memperbaharui mental spiritual umat yang rusak. Elia menghancurkan berhala yang merusak iman umat kepada Tuhan, yakni dewa Baal. Yohanes ingin membongkar formalisme agama yang hanya menekankan hal-hal lahiriah yang semu dan dangkal.
Hanoman menjadi duta yang mendahului kedatangan Rama untuk membebaskan Sinta dari kuasa jahat. Yohanes Pembaptis mendahului Yesus yang akan membebaskan umat manusia dari kuasa dosa.
Sore-sore menikmati rintik-rintik hujan.
Sambil mengintip munculnya bulan purnama.
Mari kita menyiapkan jalan bagi Tuhan.
Ia datang membebaskan kita dari kuasa dosa.
Cawas, advent penuh harapan…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 10, 2020 | Renungan
MASIH ingat penyanyi Didi Kempot, pelantun lagu-lagu sedih patah hati? Sebagian besar lagunya menggambarkan perasaan orang yang ditinggalkan kekasihnya.
Semisal lagu Cidra, Stasiun Balapan, Sewu Kutha, Tatu, Pantai Klayar dan masih banyak lagi. Hampir semua isi lagunya berkisah tentang kesedihan, patah hati, ditinggal pacar atau kekasih. Hati yang hancur dan pilu karena orang yang dikasihi ternyata ingkar janji.
Tetapi kendati lagunya bernuansa sedih, Didi Kempot mengajak penggemarnya untuk tetap berdendang dan menari. “Tinimbang lara ati luwih becik dijogedi” katanya kepada sobat ambyar penggemarnya. Kalimat itu berarti “daripada sakit hati lebih baik dibuat bisa berjoget menari.”
Ada penonton yang bisa menangis hanyut terbawa syair lagu Didi, tetapi dia masih bisa bergoyang menikmati alunan musiknya. Itulah daya kekuatan Didi Kempot yang disukai banyak orang.
Dari banyak konser dan pentas, tidak pernah terdengar ada tawuran atau perkelahian antar penonton seperti konser-konser musik lainnya.
Didi Kempot menghipnotis penontonnya walaupun hatinya sedih teriris-iris ditinggal kekasih, namun tetap bisa bergoyang menari dan pulang dengan perasaan puas penuh kegembiraan dan sukacita.
Hari ini Yesus menyindir para pendengarnya, orang-orang banyak yang datang mendengar ajaran-Nya. “Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya, ‘Kami meniup seruling bagimu, tetapi kalian tidak menari. Kami menyanyikan kidung duka, tetapi kalian tidak berkabung.”
Itulah yang dilakukan Didi Kempot. Lagunya senandung duka, tetapi penggemarnya tidak meratap malah menari bersukacita.
Yesus dan Yohanes Pembaptis datang menjadi utusan Allah. Mereka menuntun bangsa Israel untuk kembali kepada Allah. Yesus mewartakan Kerajaan Allah sudah dekat.
Yohanes Pembaptis demikian juga. Hanya cara pewartaannya yang berbeda. Tetapi orang-orang menolaknya. Yohanes dinilai sebagai orang yang kerasukan setan. Yesus dipandang dekat dengan pemungut cukai, orang berdosa, pemakan dan peminum.
Tidak mungkinlah memuaskan keinginan semua orang. Kita pasti tidak mampu memenuhi kemauan semua orang. Selalu akan ada yang pro dan kontra.
Yang paling penting adalah konsisten. Yesus dan Yohanes Pembaptis konsisten mewartakan Kerajaan Allah. Kendati tidak diterima, bahkan ditolak, namun tetap konsisten. Akhirnya hikmat Allah akan dinyatakan oleh kekonsistenannya.
Beranikah kita berjuang mengikuti Yesus dengan konsisten, kendati tantangan bertubi-tubi silih berganti?
Melihat foto di pantai bergandengan.
Laksana ombak bergulung kejar-kejaran.
Mari konsisten mewartakan kebaikan.
Kendati sering dibenci dan dikucilkan.
Cawas, coblosan sukses…
Rm. Alexandre JokoPurwanto, Pr
by editor | Dec 10, 2020 | Renungan
MIMBAR-mimbar kotbah di lingkungan kita sekarang ini dipenuhi dengan ujaran-ujaran kebencian. Pengkotbah yang satu menyerang pengkotbah yang lain.
Bukan kata-kata menyejukkan yang keluar untuk mencerahkan umat, tetapi justru memprovokasi untuk saling membenci, menjelek-jelekan dan menyerang. Bahkan kata-kata kotor dan saru muncrat dari mulut yang berbuih-buih.
Lebih brutal lagi situasi di dunia maya. Orang saling menghujat dan menebar permusuhan. Orang merasa tidak dibatasi lagi, saling serang dengan ujaran kebencian. Padahal ada UU ITE yang bisa menjerat orang karena menimbulkan ketidak-nyamanan.
Dalam Injil hari ini, Yesus memuji dan menghormati Yohanes Pembaptis. Ia berkata, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis.”
Yohanes Pembaptis dan Yesus sama-sama sebagai “guru rohani”. Mereka sama-sama punya murid atau pengikut. Di antara para murid mereka juga ada persaingan. Bagaimana murid-murid Yesus merasa tersaingi ketika ada murid-murid Yohanes melakukan praktek pembaptisan di sungai Yordan.
Namun antara Yohanes Pembaptis dan Yesus tidak saling menyerang atau menjatuhkan. Yohanes malah berkata, “Dia harus menjadi lebih besar, dan aku harus menjadi lebih kecil.” Ini adalah bukti kerendahan hati seorang guru sejati.
Sebaliknya Yesus juga menghormati Yohanes dengan menyejajarkan dengan nabi besar zaman dahulu yakni Elia. Yesus berkata, “Jika kalian mau menerimanya, Yohanes itulah Elia yang akan datang.”
Guru rohani atau pengkotbah yang baik tidak akan menyerang orang lain dengan kasar dan sombong. Kalau dalam pewayangan, sikap seperti itu biasanya ditunjukkan oleh pandita-pandita Tanah Sabrang. Mereka itu adalah penjelmaan Bathara Kala dan Bathari Durga yang jahat.
Mereka menjelma menjadi pandita yang ingin menghancurkan para ksatria yang baik. Kedok mereka akan terbongkar ketika Semar (rakyat kecil) bertindak.
Guru rohani sejati menebarkan kedamaian, ketentraman dan kasih sayang, tidak menyerang atau mengobarkan kebencian. Guru sejati memupuk semangat persaudaraan bukan perpecahan. Guru sejati tidak menjual minyak telon-telon, tetapi minyak narwastu. Guru sejati tidak hanya berjubah putih, tetapi hatinya sungguh putih.
Mari kita menjadi murid yang cerdas agar kita tidak terperosok ke lubang perpecahan dan permusuhan.
Kemarin bisa nyoblos di acara pemilihan.
Walau hanya sebentar tapi terpuaskan.
Jangan terkecoh oleh baju-baju kesucian.
Cermati inti ajaran yang bawa perdamaian.
Cawas, pra coblosan…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 8, 2020 | Renungan
AGUSTINUS mengalami kelembutan hati Uskup Ambrosius. Dia pernah menyatakan, “Bukan karena pertama-tama keunggulan kotbahnya, tetapi karena kelembutan sikapnya sebagai seorang bapa, yang menerimaku apa adanya sebagai seorang pendosa, itulah yang menarikku ingin mengikuti Kristus.”
Kelembutan seorang bapa yang ditunjukkan St. Ambrosius mampu membawa seorang ateis seperti Agustinus mengalami pertobatan. Kelembutan seorang bapa meluluhkan hati Agustinus. Kita bisa membaca Buku “Pengakuan Agustinus” bagaimana latar belakang kehidupannya sebelum mengenal Kristus. Ia mengejar hawa nafsu duniawi. Ia tidak mengenal Allah. Ibunya, Monika, sangat sedih melihat perilaku anaknya.
Ambrosius pernah menghibur Monika dengan penuh pengertian, “Seorang anak yang didoakan dengan cucuran air mata, pasti tidak akan dibuang (Tuhan).” Kata-kata yang sungguh menyejukkan.
Kita bisa membayangkan seorang anak yang menangis tersedu-sedu “sesenggukan” sampai nafasnya tersengal-sengal, duduk di pangkuan dan dekapan ibunya. Belaian tangan ibu terasa menyejukkan dan menenteramkan. Kita merasa aman di pangkuannya, setelah kita dimarahi karena kenakalan kita.
Sabda Yesus, “Datanglah kepada-Ku kalian semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Aku ini lemah lembut dan rendah hati, maka hatimu akan mendapat ketenangan.”
Yesus berkali-kali menunjukkan kelemah-lembutan-Nya yang berasal dari Bapa. Gambaran tentang gembala yang baik, Bapa yang rindu menantikan anak yang sesat adalah wujud kelemah-lembutan Allah kepada kita.
Bagaimana Allah menghukum kita? Ia menghukum dengan kelembutan, belaian. Kita didekap di pangkuan-Nya. Domba yang ditemukan itu tidak diseret paksa, tetapi dipanggulnya dengan sukacita. Anak yang hilang itu tidak hanya ditunggu, tetapi dijemput dengan berlari dan dirangkul dengan kuat.
Batu karang yang keras akan luluh juga oleh terpaan air yang lembut. Kelembutan dan kasih Allah itu mengundang kita untuk datang kepada-Nya. Kita akan memperoleh kelegaan di dalamnya.
Malam-malam memetik rambutan.
Sekali panjat dapat lima.
Betapa indahnya kasih Tuhan.
Laksana anak di pangkuan ibunya.
Cawas, baju hitam bunga-bunga…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr