by editor | Feb 5, 2022 | Renungan
Biara Trapist; Oase Keheningan.
ANDA ingin mencari keheningan yang menyuburkan hidup dan jiwa? Pergilah ke Biara Trapist di Rawaseneng.
Terletak di lereng Gunung Sumbing, tempatnya di desa Rawaseneng, Temanggung yang jauh dari kebisingan kota.
Udara sejuk dan hawa yang dingin serta nyanyian-nyanyian doa dari para rahib membikin hati menjadi damai dan tenang.
Para rahib itu hidup dalam doa, keheningan dan kesederhanaan. Bahkan makan bersama pun dilakukan dalam hening disertai dengan bacaan-bacaan rohani.
Kerja dan doa menyatu dalam hidup mereka. Ora et labora.
Keheningan dan doa adalah sumber kekuatan dalam karya. Anda pasti pernah mendengar atau mencoba hasil karya mereka. Ada Trapist Cookies, Trapist Milk, Trapist Chocolate, Trapist kopi.
Anda bisa buka di toko online. Tetapi lebih baik anda pergi ke sana langsung merasakan keheningan yang menenteramkan jiwa.
Hening bukan berarti nganggur. Hening adalah mata air yang subur untuk jadi berguna bagi sesama. Hening adalah kebutuhan jiwa yang letih.
Masuk ke tempat sunyi untuk mengumpulkan kembali energi. Hidup disegarkan kembali lewat keheningan.
Itulah yang dikatakan Yesus kepada murid-murid-Nya setelah mereka diutus pergi berdua-dua. “Marilah kita pergi ke tempat sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah sejenak.”
Maka pergilah mereka mengasingkan diri ke tempat sunyi.
Kita membutuhkan waktu dan tempat sunyi, tempat untuk sendiri, waktu dimana kita bisa berdialog dengan Tuhan.
Kesibukan dan persaingan membuat badan dan jiwa menjadi letih. Keletihan dan beban yang berat menyebabkan jiwa menjadi kering. Kekeringan seperti tanah gersang mengakibatkan kita tidak bisa menghasilkan apa-apa.
Ketika Yesus dan para murid memasuki keheningan, mereka punya tenaga baru untuk melayani banyak orang. Ketika mendarat, Yesus melihat jumlah orang yang begitu banyak. Lalu Yesus mengajarkan banyak hal kepada mereka.
Kita membutuhkan keheningan untuk menyegarkan kembali tenaga dan pikiran, sehingga kita bisa berkarya lebih fresh lagi.
Jangan takut memasuki keheningan. Kadang ada orang yang bingung dan takut sendiri dalam keheningan.
Kita terlalu sibuk dengan dunia luar. Kita kurang memberi waktu untuk sendiri. Maka ketika orang sendiri dalam sunyi, orang mengalami ketakutan.
Kalau anda pergi ke Rawaseneng, anda tidak akan takut keheningan. Di sana di dalam keheningan anda akan berjumpa dengan Tuhan.
Dari keheningan itu hidup anda akan menjadi tanah yang subur, yang berbuah berkat.
Selamat menikmati keheningan bersama Tuhan.
Memandang matahari di ufuk timur,
Ada rona sinar di langit yang cerah.
Hati yang hening adalah tanah subur,
Menghasilkan banyak berkat melimpah.
Cawas, heningkan diri dalam sunyi…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Feb 4, 2022 | Renungan
Managemen Risleting
TAHUN delapanpuluhan saya jadi seminaris di Mertoyudan. Kalau sore saya suka ambulasi (jalan-jalan) ngisi waktu luang ke luar seminari.
Di depan asrama kami, ada baliho besar, iklan risleting merk YKK. Kami membuat plesetan singkatan YKK yaitu Yang Kawin Keluar.
Ya memang begitulah, karena penghuni asrama adalah mereka yang ingin menjadi imam, maka yang mau kawin silahkan untuk keluar.
Selama manusia masih hidup, masalah cinta percintaan, kawin perkawinan tak akan pernah mati. Cinta tidak mengenal perbedaan dan pembatasan. Tua-muda, kaya-miskin, besar-kecil, awam-biarawan, orang biasa atau berstatus tinggi semua bisa dilanda cinta.
Para lelaki juga termasuk kaum rohaniwan harus pinter memanage risletingnya sendiri. Begitu pun sebaliknya, kaum perempuan juga harus pandai-pandai memanage tali G-stringnya.
Kurang pandai memanage risleting bisa bikin gempar dan menelan korban. Itulah yang terjadi dengan Herodes-Herodias. Percintaan mereka yang dilarang harus menelan korban yakni Yohanes Pembaptis.
Yohanes memperingatkan gaya hidup Herodes dan Herodias yang tidak sesuai hukum Taurat. “Tidak halal engkau mengambil istri saudaramu.”
Herodes tidak berani berbuat apa-apa karena Yohanes banyak pengikutnya.
Peringatan ini justru menimbulkan kebencian Herodias kepada Yohanes. Ia merayu Herodes agar Yohanes dipenjara. Herodias menyimpan dendam dan rasa benci yang membuncah.
Saatnya tiba. Ketika perayaan ulangtahun raja, Salome, anak Herodias menari dengan gemulainya, menyukakan semua tamu yang hadir.
Herodes sangat gembira, hingga ia tanpa sadar menjanjikan sesuatu, “Mintalah dari padaku apa saja yang kau ingini, maka aku akan memberikan kepadamu. Apa saja yang kau minta akan kuberikan, sekalipun itu setengah dari kerajaanku.”
Salome, gadis polos itu lari menuju ibunya.
Inilah saat yang tepat untuk balas dendam. Ia tidak tertarik pada setengah kerajaan. Yang tersimpan lama dalam pikirannya, hanyalah dendam dan dendam.
Tidak ada sungkan dan malu sedikit pun di hadapan para tamu kehormatan, Herodias berbisik tanpa ragu pada Salome, “Kepala Yohanes Pembaptis bawa kemari di atas talam.”
Herodias adalah tipe seorang ibu yang memanfaatkan anak demi keuntungan pribadi. Ia tidak mengajarkan moral kepada anaknya. Yang penting balas dendam terlampiaskan demi kelanggengan nafsu birahinya.
Musuh yang mengganggu harus disingkirkan. Apapun caranya Yohanes harus mati.
Jamuan terakhir dari pesta ulangtahun raja adalah kepala Yohanes dalam sebuah talam. Bukan kepala babi atau kepala kerbau. Tetapi kepala Yohanes Pembaptis.
Pesta yang tadinya penuh gelak tawa, kini diam mencekam.
Herodes hanya bersedih tetapi tidak menyesal. Ia lebih memilih kemolekan tubuh istrinya daripada mengikuti suara hatinya. Herodes adalah tipe suami lemah yang berada di bawah ketiak istri.
Ia terjepit antara sumpahnya sendiri dan kerling mata kemenangan istrinya.
Suara kebenaran dibungkam oleh nafsu birahi dan kekuasaan. Ketidakmampuan memanage risleting membuat Herodes lepas kendali.
Begitupun Herodias, perempuan yang suka mengumbar tali G-stringnya, dibutakan oleh dendam kesumat sehingga menutup mata pada kebenaran. Yohanes Pembaptis, Suara Kebenaran dikorbankan.
Kita diingatkan oleh iklan di depan asrama Seminari, YKK. Kalau risleting anda rusak, lebih baik ke toko beli yang baru saja.
Mari kita pinter-pinter memanage risleting kita.
Berjalan menyusuri pantai Pangandaran,
Para pedagang ramai jual buah tangan.
Suara kebenaran harus dikumandangkan,
Kendati menghadapi banyak tantangan.
Cawas, menjaga suara hati…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Feb 2, 2022 | Renungan
Peregrinasi; Hanya Mengandalkan Tuhan.
KETIKA masih menjadi frater, kami pernah diminta untuk mengadakan peregrinasi atau mengembara. Kami diutus pergi berdua-dua dan tidak boleh membawa bekal apa-apa.
Hanya bawa KTP dan baju yang melekat di badan saja. Tidak boleh mengaku frater atau menunjukkan identitas diri.
Kalau mau makan harus mengemis atau meminta kepada orang.
Ketika sampai di Ambarawa, perut kami sudah kelaparan dan kaki mulai pegal. Perjalanan di bawah terik matahari membuat cepat lelah dan haus.
Saya memberanikan diri ngemis di sebuah warung. Ibu yang punya warung berkata, “Mas, nanti tak kasih makan, tapi bantu cuci-cuci di belakang mau?”
Tanpa pikir panjang, karena sudah lapar, kami menuju ke dapur tempat piring gelas dan perabotan kotor.
Kami diupah dengan sepiring nasi, sayur oseng daun pepaya dan seekor lele goreng. Ada sisa potongan kepala lele juga diberikan kepada kami. Waktu itu makan sungguh nikmat rasanya.
Kebaikan Tuhan ada dimana-mana lewat banyak orang.
Peregrinasi adalah sebuah formatio yang bertujuan untuk merasakan kasih Tuhan dan hanya mengandalkan kebaikan-Nya saja.
Dalam segala situasi kita diajak percaya pada pemeliharaan Tuhan. Saya ingat pesan kakek, “Yen gelem obah mesti mamah.” (Kalau mau kerja, pasti bisa makan).
Yesus mengutus murid-Nya pergi berdua-dua. Mereka diberi pesan untuk tidak membawa apa-apa dalam perjalanan, kecuali tongkat; roti pun tidak boleh dibawa, demikian pula bekal dan uang dalam ikat pinggang.
Mereka diutus memberitakan pertobatan dan menyembuhkan orang sakit. Mereka harus mau menolong sesama yang menderita.
Mereka diminta tidak membawa apa-apa. Hal ini dimaksudkan agar mereka percaya kepada Yang Mengutus. Dengan jalan apa pun Tuhan akan memelihara mereka.
Tuhan menolong kami melalui ibu yang punya warung. Kami diminta membantu kerepotan ibu itu dengan mencuci piring, gelas, sendok dan alat-alat makan lainnya.
Dengan itu Tuhan memelihara hidup kami. Tuhan yang mengutus, Tuhan pula yang akan mengurus segalanya.
Dari pengalaman peregrinasi itu, kami makin percaya pada penyelenggaraan Tuhan. Memang tidak semua mulus. Ada pula teman-teman kami yang ditolak, diusir dan tidak diterima.
Pengalaman itu pun bisa diberi makna. Tuhan sendiri juga ditolak dan disalibkan.
Namun perutusan Tuhan bagi kita untuk mewartakan Kabar Gembira harus terus dijalankan. Ditolak atau diterima itu bukan urusan kita. Tuhanlah yang akan menyelesaikan semuanya.
Kita semua diutus untuk pergi. Kita semua sedang dalam perjalanan. Kita semua di dunia ini adalah pengembara, musafir.
Mengandalkan Tuhan itulah satu-satunya sikap batin yang benar. Percaya pada penyelenggaraan-Nya, bahwa Tuhan tidak meninggalkan kita, itulah pegangan penting bagi kita semua.
Naik sepeda berkeliling-keliling kota.
Singgah sebentar membeli kacamata.
Tuhan pasti memelihara hidup kita.
Jangan meragukan belaskasih-Nya.
Cawas, Yesus andalanku….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Feb 2, 2022 | Renungan
Nunc Dimittis.
PERNAH ikut doa Completorium di Pertapaan Rawaseneng? Completorium adalah rangkaian doa penutup pada malam hari setelah semua kegiatan rutin harian selesai.
Para rahib di Pertapaan Rawaseneng mengakhiri seluruh acara dengan ibadat penutup. Itulah ibadat Completorium.
Dalam keheningan malam nan syahdu, para rahib dengan jubah putih hitam dan penutup di kepala menyanyikan Kidung Simeon:
Sekarang, Tuhan, perkenankanlah hamba-Mu berpulang *
dalam damai sejahtera menurut sabda-Mu.
Sebab aku telah melihat keselamatan-Mu *
yang Kau sediakan di hadapan segala bangsa:
Cahaya untuk menerangi para bangsa, *
dan kemuliaan bagi umat-Mu Israel.
Hati ikut larut dalam kepasrahan total kepada Tuhan saat Kidung Simeon itu dinyanyikan bersahut-sahutan.
Rasanya kita tenang berada di dalam dekapan Tuhan. Seperti seorang bayi yang aman dan tentram dalam gendongan ibu.
Kehangatan kasih ibu menjadi jaminan ketenangan sang anak. Tiada keinginan lain memasuki malam sunyi sepi di Rawaseneng kecuali berada dekat dalam pelukan Tuhan.
Pengalaman damai dan tentram itulah kiranya yang dialami oleh Simeon ketika melihat Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Simeon yang tak pernah meninggalkan Bait Allah hanya berhasrat melihat Sang Mesias yang dijanjikan.
Satu-satunya harapan paling dalam adalah berjumpa dengan Dia yang diurapi. Maka ketika Maria dan Yusuf membawa Anak itu ke Bait Allah, Simeon sangat bersukacita.
Simeon menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah.
“Nunc dimittis servuum tuum, Domine, Sekarang Tuhan perkenankanlah hambamu berpulang dalam damai sejahtera.” Itulah kidung pujian Simeon.
Tidak ada kebahagiaan paling sempurna kecuali mengalami persatuan dengan Allah yang dekat dan penuh kasih. Simeon mengalami hiburan rohani yang luar biasa.
Dia sedang mengalami konsolasi rohani “manunggaling kawula Gusti.” Mengalami bersatu dengan Gusti Allah.
Dalam kisah pewayangan, pengalaman konsolasi ini dialami oleh Bima saat dia berada di dalam tubuh Dewa Ruci.
Bima mengalami kehidupan yang damai dan tentram karena menyatu dengan Tuhan.
Simeon mengalami kesatuan dengan Allah yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus yang masuk ke Bait Suci.
“Mataku telah melihat keselamatan yang datang dari pada-Mu.”
Maka tidak ada hal lain yang membahagiakan Simeon kecuali boleh “berpulang dalam damai sejahtera.”
Apakah anda pernah mengalami konsolasi atau hiburan rohani mendalam yang membuat anda tidak punya keinginan lain kecuali hanya ingin bersatu dengan Tuhan?
Tak ada keinginan lain yang lebih membahagiakan selain hanya ada di hadirat-Nya.
Duduk termenung di Pantai Cemara,
Memandang ombak yang selalu setia.
Kasih Tuhan sungguh tiada tara,
Datang dan pergi laksana senja.
Cawas, Engkau dan aku satu….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr