Puncta 02.03.22 || Rabu Abu, Pantang dan Puasa || Matius 6: 1-6.16-18

 

Megafon atau TOA

BEBERAPA waktu lalu Menteri Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 5 Tahun 2022 tentang pengaturan penggunaan pengeras suara atau TOA di masjid.

Surat Edaran ini ditanggapi berbagai macam. Ada yang pro tetapi ada juga yang kontra.

Pengeras suara atau megafon – kalau di Indonesia sering disebut TOA – ditemukan oleh Pastor Katolik bernama Athanasius Kircher SJ sekitar tahun 1630-an. Keren ya…..ternyata hasil karya seorang pastor itu barang.

TOA adalah merk megafon yang diproduksi oleh TOA Corporation dari Jepang pada tahun 1934. Jadi megafon sudah ada jauh sebelum TOA memproduksinya.

Pabrik TOA melihat peluang pasar yang menguntungkan di Indonesia karena negara ini berpenduduk muslim paling besar di dunia.

Sebagian besar masjid-masjid di pelosok Indonesia menggunakan TOA untuk mengumandangkan suara adzan dan kegiatan doa lainnya.

Maka Surat Edaran Menag itu menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat.

“Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat,” kata Menag Yaqut dalam keterangan tertulis, Senin, (21/2/2022).

Yesus juga memberikan pedoman-pedoman bagaimana kita berdoa, beramal dan berpuasa.

Tentang bagaimana berdoa, Yesus berkata; “Apabila kamu berdoa, janganlah kamu berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri di rumah-rumah ibadah dan pada tikungan-tikungan jalan supaya mereka dilihat orang.”

Kalau beramal, Yesus mengatakan, “Apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang-orang munafik di rumah-rumah ibadah dan di lorong-lorong supaya dipuji orang.”

Tentang berpuasa,Yesus juga berkata, “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa.”

Apa yang dikehendaki Yesus kalau kita berdoa, beramal atau berpuasa?

“Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

“Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi. Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

“Apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.”

Kebaikan itu tidak perlu ditonjol-tonjolkan supaya dilihat orang. Tetapi Allah mengetahui apa yang ada di tempat tersembunyi, dan Dia akan membalasnya kepada kita.

Masa Prapaskah atau masa tobat ini mari kita gunakan untuk berdoa, berpuasa dan beramal kasih tanpa harus dipamer-pamerkan. Bapa akan mengganjarnya dengan berkat melimpah.

Daun-daun gugur di taman doa.
Musim kemarau kayaknya sudah tiba.
Mari kita puasa dengan hati gembira.
Banyak berdoa dan beramal bagi sesama.

Cawas, selamat berpuasa….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 01.03.22 || Selasa Biasa VIII/C || Markus 10: 28-31

 

“Tuna Satak Bathi Sanak.”

SALAH satu konsep pedagang angkringan di Jogja bertujuan untuk melestarikan kearifan lokal falsafah Jawa yakni “tuna satak bathi sanak.”

“Satak” artinya sebendel atau segepok uang.

Pepatah ini berarti rugi sejumlah uang tidak masalah, yang penting mendapat banyak teman atau saudara. Lebih baik rugi materi namun lebih untung punya banyak sahabat.

Para pedagang angkringan itu pada awalnya memang ingin menolong para pendatang – umumnya mahasiswa yang dari luar Jawa – agar bisa menimba ilmu dengan nyaman di Jogjakarta.

Mereka tidak mencari untung, rugi sedikit tidak masalah, yang penting punya banyak saudara.

Makanan yang disajikan cukup sederhana dan murah. Kita mengenal ada “sega/nasi kucing.”

Harganya sangat terjangkau oleh kocek mahasiswa kos-kosan. Bahkan kadang mereka boleh hutang dulu, baru dibayar kalau kiriman uang dari ortu sudah datang.

Para pedagang itu mau rugi, yang penting dapat saudara yang banyak. Relasi persaudaraan lebih diutamakan daripada keuntungan material.

Kendati konsep ini sekarang digerus oleh model kapitalis, yang mengembangkan exlusive cafe yang jauh melenceng dari falsafah awal demi mendapatkan persaudaraan, namun
Jogja tetap istimewa.

Angkringan tetap ada di setiap sudut jalan. Semangat “tuna satak bathi sanak” masih bernafas panjang seperti nafas kebaikan dan ketulusan penduduk Jogya.

Lebih baik rugi uang namun punya banyak teman dimana-mana.

Petrus bertanya kepada Yesus, “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Engkau.”

Yesus bukan orang Jawa. Tetapi Dia memperkenalkan konsep-Nya mirip dengan konsep “tuna satak bathi sanak.”

Ia menjawab Petrus, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, barang siapa meninggalkan rumah, saudara-saudari, ibu atau bapa, anak-anak atau ladangnya, pada masa ini juga ia akan menerima kembali seratus kali lipat; rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak-anak dan ladangnya.”

Barang siapa mau berkorban, ia akan menerima kembali seratus kali lipat.

Para murid berkorban dengan meninggalkan segala sesuatu. Yesus menjanjikan kepada mereka akan menerima kembali berlipat-lipat.

Prinsip hidup para pedagang angkringan itu ternyata sangat Injili. Mereka berani tidak untung, merugi, mau berkorban.

Mereka justru mendapatkan banyak saudara dan kemudahan dari mana-mana.

Hidup tidak sekedar memburu uang. Tetapi carilah teman dan saudara sebanyak-banyaknya. Yang lain nanti akan mengikuti di belakangnya.

Jalan-jalan di tengah kota.
Lihat kendaraan pelan jalannya.
Ikut Yesus dijamin bahagia.
Asal mau meninggalkan segalanya.

Cawas, mari ikuti Dia….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr