“Tuna Satak Bathi Sanak.”

SALAH satu konsep pedagang angkringan di Jogja bertujuan untuk melestarikan kearifan lokal falsafah Jawa yakni “tuna satak bathi sanak.”

“Satak” artinya sebendel atau segepok uang.

Pepatah ini berarti rugi sejumlah uang tidak masalah, yang penting mendapat banyak teman atau saudara. Lebih baik rugi materi namun lebih untung punya banyak sahabat.

Para pedagang angkringan itu pada awalnya memang ingin menolong para pendatang – umumnya mahasiswa yang dari luar Jawa – agar bisa menimba ilmu dengan nyaman di Jogjakarta.

Mereka tidak mencari untung, rugi sedikit tidak masalah, yang penting punya banyak saudara.

Makanan yang disajikan cukup sederhana dan murah. Kita mengenal ada “sega/nasi kucing.”

Harganya sangat terjangkau oleh kocek mahasiswa kos-kosan. Bahkan kadang mereka boleh hutang dulu, baru dibayar kalau kiriman uang dari ortu sudah datang.

Para pedagang itu mau rugi, yang penting dapat saudara yang banyak. Relasi persaudaraan lebih diutamakan daripada keuntungan material.

Kendati konsep ini sekarang digerus oleh model kapitalis, yang mengembangkan exlusive cafe yang jauh melenceng dari falsafah awal demi mendapatkan persaudaraan, namun
Jogja tetap istimewa.

Angkringan tetap ada di setiap sudut jalan. Semangat “tuna satak bathi sanak” masih bernafas panjang seperti nafas kebaikan dan ketulusan penduduk Jogya.

Lebih baik rugi uang namun punya banyak teman dimana-mana.

Petrus bertanya kepada Yesus, “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Engkau.”

Yesus bukan orang Jawa. Tetapi Dia memperkenalkan konsep-Nya mirip dengan konsep “tuna satak bathi sanak.”

Ia menjawab Petrus, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, barang siapa meninggalkan rumah, saudara-saudari, ibu atau bapa, anak-anak atau ladangnya, pada masa ini juga ia akan menerima kembali seratus kali lipat; rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak-anak dan ladangnya.”

Barang siapa mau berkorban, ia akan menerima kembali seratus kali lipat.

Para murid berkorban dengan meninggalkan segala sesuatu. Yesus menjanjikan kepada mereka akan menerima kembali berlipat-lipat.

Prinsip hidup para pedagang angkringan itu ternyata sangat Injili. Mereka berani tidak untung, merugi, mau berkorban.

Mereka justru mendapatkan banyak saudara dan kemudahan dari mana-mana.

Hidup tidak sekedar memburu uang. Tetapi carilah teman dan saudara sebanyak-banyaknya. Yang lain nanti akan mengikuti di belakangnya.

Jalan-jalan di tengah kota.
Lihat kendaraan pelan jalannya.
Ikut Yesus dijamin bahagia.
Asal mau meninggalkan segalanya.

Cawas, mari ikuti Dia….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr