Puncta 21.08.21 / PW. St. Pius X / Matius 23:1-12

 

“Mengajarkan Tetapi Tidak Melakukan”

MASIH ingat nama model judi zaman dulu? Zaman orde lama ada Nalo (Nasional Lotre) atau sering disebut Lotre Buntut. Orang hanya menebak dua angka dari deretan 4 angka. Hadiahnya lumayan mulai 10.000 – 500.000 waktu itu.

Judi pernah dilegalkan zaman Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta. Zaman Orde Baru bahkan beredar secara nasional.

Namanya SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah), lalu ada lagi Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan), judi di ranah olahraga.

Dulu banyak orang “pinter” yang bisa menebak angka. Orang menyebut “dukun.” Orang pinter atau dukun itu sering didatangi orang untuk bertanya, nomor berapa yang akan muncul di undian SDSB.

Dukun juga bisa menafsir mimpi atau peristiwa yang dihubungkan dengan undian.

Pernah ada kecelakaan bus, orang bertanya kepada dukun untuk “utak-atik” angka nomor kendaraannya. Angka itu dipasang di undian. Berharap semoga tembus…

Kadang saya heran, kalau dukun itu tahu nomor yang akan keluar, kenapa dia tidak membeli sendiri supaya dia bisa tembus dan kaya?

Muncul pertanyaan ngelantur bagi para pencetak teroris; kenapa mereka harus mencari “pengantin” untuk melakukan bunuh diri kalau tahu dengan cara itu pasti masuk surga dan ketemu bidadari?

Mereka adalah orang-orang pinter, yang bisa mengajarkan tetapi tidak berani ambil tindakan untuk masuk surga.

Dalam Injil, Yesus memperingatkan kepada para murid tentang ragi orang Farisi. “Mereka itu mengajarkan tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang. mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang.”

Kemunafikan itulah yang terpampang pada pemimpin orang-orang Farisi. Semua serba permukaan.

Kesucian artifisial yang dipamerkan kepada khalayak. Senang disebut “Rabi” atau Yang Mulia. Senang disanjung dan dipuja-puja. Baju kebesaran serba putih bersih walau kedodoran tidak risih. Yang penting dihormati sih.

Dari sikap-sikap seperti itu Yesus mengajarkan kepada kita, “Siapapun yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Barang siapa meninggikan diri, akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri, akan ditinggikan.”

Yesus memberi teladan sikap merendahkan diri. Kendati Ia adalah Putera Allah, sudi menjadi manusia. Ia yang adalah guru, mau membasuh kaki murid-Nya. Ia yang tidak berdosa, mau hidup menyatu dengan para pendosa.

Marilah merendahkan diri dan melayani karena demikianlah Tuhan memberi teladan kepada kita semua.

Mendung tiada sinar matahari.
Menunggu hujan tak berhenti.
Jangan meniru perilaku kaum Farisi .
Hanya cari pujian dan harga diri.

Cawas, tetap semangat ….
Rm. Alex. J. Purwanto, P

Puncta 20.08.21 / Jum’at Biasa XX / Matius 22: 34-40

 

“Pancasila Dan Hukum Utama”

PADA waktu diasingkan di Ende 1934-1939, Soekarno tidak punya hubungan dengan dunia luar dan para loyalisnya. Di sana ia bergaul dan sering berdialog dengan Pastor Paroki Ende, Gerardus Huijtink.

Pastor juga memperbolehkan Soekarno membaca buku-buku di ruang pustaka. Di situ Soekarno membaca semua buku, termasuk juga Kitab Suci, karena hanya itulah satu-satunya hiburan mengisi waktu luang.

Di Ende Soekarno merenungkan tentang dasar sebuah negara. Di suatu taman di bawah pohon sukun, Soekarno menemukan gagasan tentang lima sila, yang nantinya pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI Soekarno melontarkan idenya menjadi Pancasila.

Bukan sebuah kebetulan bahwa sila pertama adalah Ketuhanan yang mahaesa, dan yang kedua adalah Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dua sila ini saling berurutan. Menyembah kepada Tuhan yang maha esa dan mengasihi manusia dengan adil dan beradab.

Dalam Injil Yesus ditanya oleh seorang ahli Taurat, “Guru, hukum manakah yang terbesar dalam hukum Taurat?”

Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang utama dan yang pertama. Dan hukum kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Pancasila itu sangat Injili karena menyebutkan yang pertama adalah Ketuhanan yang mahaesa dan yang kedua adalah Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Yang pertama adalah percaya dan menyembah Tuhan dengan segenap jiwa raga, dan yang kedua adalah mengasihi manusia dengan adil dan beradab.

Yesus mengatakan bahwa hukum yang kedua, mengasihi sesama itu sama dengan hukum pertama yakni mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.

Maka bisa dikatakan bahwa mengasihi Tuhan terwujud dengan mengasihi sesama. Bagaimana kita bisa mengklaim mengasihi Tuhan, tetapi di sisi lain membenci sesamanya?

Bahkan ada yang berani mengklaim punya kapling surga, tetapi caranya harus membunuh sesamanya??

The Founding Fathers kita sungguh bijaksana. Dari Pancasila itu kita diingatkan untuk mengasihi Allah dalam diri sesama manusia, saudara sebangsa dan setanah air.

Kasih kepada manusia adalah wujud dari kasih kepada Allah. Bagaimana kita bisa mengasihi Allah yang tidak kelihatan, kalau kita tidak bisa mengasihi manusia yang kelihatan?

Amal perbuatan kita di dunia akan menentukan surga kita di akherat sana. Cinta kita kepada manusia akan menentukan kualitas cinta kita kepada Allah.

Tidak usah teriak-teriak pakai pengeras suara kalau mencintai Allah. Tetapi wujudkan saja dengan menghargai dan menghormati sesama warga yang berbeda-beda agama, suku, etnis dan adatnya.

Sudahkah kita mengasihi sesama, khususnya yang miskin, menderita, tersingkir dan tak berdaya?

Agustusan biasanya banyak lomba.
Kini sepi karena masih ada corona.
Kita amalkan dan hayati Pancasila.
Dengan menghargai sesama warga yang berbeda.

Cawas, masih agustusan….
Rm. Alex, J. Purwanto, Pr

Puncta 19.08.21 / Kamis Biasa XX / Matius 22:1-14

 

“Baju Adat Suku Baduy”

PADA peringatan kemerdekaan RI kali ini, Presiden Jokowi memakai baju adat suku Baduy. Bahasa orang Jawa itu penuh dengan simbol-simbol.

Kira-kira apa yang mau disimbolkan Presiden dengan baju adat Baduy ini.

Yang saya lihat dari suku Baduy adalah kesederhanaan, bermartabat, punya harga diri, mandiri, apa adanya, bebas merdeka.

Suku Baduy hidup sederhana, tidak tercemar oleh hiruk pikuk megapolitan Jakarta. Wilayah Baduy dekat dengan ibukota. Mereka tidak silau oleh gaya hidup metropolitan.

Mereka menjunjung martabat dan harga diri sebagai orang Baduy. Mereka punya tatanan sosial yang sangat kuat. Mereka adalah komunitas yang mandiri dan merdeka.

Suku Baduy tidak pernah dijajah oleh hal-hal berbau asing. Mereka punya kepribadian dan jati diri sendiri. Mereka bangga dengan ke-baduy-an mereka, tetapi tidak memaksakan suku lain jadi Baduy.

Mungkin jati diri yang merdeka, bermartabat dan mandiri ini, yang mau dikatakan oleh Presiden Jokowi ke seluruh warga Indonesia. Jadilah diri sendiri yang bermartabat.

Kalau mau jadi Islam, jadilah Islam Indonesia. Kalau mau jadi Kristen Katolik, jadilah Katolik Indonesia. Kalau mau jadi Hindu, jadilah Hindu Indonesia. Kalau mau jadi Budha, jadilah Budha Indonesia. Kalau mau jadi Konghucu, jadilah Konghucu Indonesia.

Dari bajunya, kita bisa melihat kepribadian seseorang. Betapa Indonesia ini kaya budaya dan karakter sebagai bangsa.

Jokowi mengajak kita untuk mencintai kepribadian bangsa sendiri. Baju suku Baduy lebih cocok dipakai di sini daripada baju orang dengan empat musim. Di sini tidak ada gurun pasir, kenapa harus pakai baju gurun?

Yesus memberi perumpamaan tentang pesta perjamuan nikah. “Hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya.”

Orang yang diundang pesta harus menyesuaikan diri dengan suasana pesta. Ia harus memakai baju pesta. Orang pesta kok memakai baju pantai, ya ditertawain.

Orang Indonesia ya pakai baju Indonesia, masak pakai baju astronot yang hanya kelihatan matanya?

Kalau tidak mau menyesuaikan dengan baju pesta, raja itu punya wewenang mengusir tamu yang tidak sopan itu.

Raja berkata, “Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap; di sana akan ada ratap dan kertak gigi.”

Kayaknya ada deh astronot yang dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap gara gara memaksakan diri pakai baju planet asing.

Kalau ada tamu memakai baju asing, ikut menikmati jamuan pesta di rumah kita, hidup dari hasil bumi kita, makan minum seenaknya, kok berani-beraninya mau menurunkan gambar presiden, lalu menurunkan patung Garuda Pancasila, merusak aturan bersama. Tamu seperti itu ya harus diusir keluar dari rumah kita.

Saya memaknai bahasa simbol Jokowi seperti itu, ketika beliau memakai baju adat suku Baduy di pesta kemerdekaan kemarin.

Ini lho baju asli orang Indonesia yang punya karakter dan bermartabat. Jangan mau diganti baju asing yang tidak cocok dengan jati diri bangsa. Itulah pesan yang mau disampaikan.

Halus tapi menohok. Kalau masih punya hati nurani.

Pada pesta proklamasi, Pak Presiden pakai baju adat Baduy.
Kita bangsa yang mandiri, kita setia jaga NKRI.

Cawas, salam merdeka….
Rm. Alex. J. Purwanto, Pr