Puncta 01.04.21 / Hari Kamis Putih / Yohanes 13:1-15

 

“Teladan Kerendahan Hati”

TRIHARI suci diawali dengan perayaan Kamis Putih. Pada perayaan ini kita mengenangkan perjamuan terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya.

Dalam perjamuan itu Yesus memberi teladan kasih dan perendahan diri. Yesus mengasihi murid-murid-Nya sampai tuntas. Ia memberikan tubuh dan darah-Nya sebagai tebusan dosa. Itulah kasih yang total tanpa batas.

Kasih itu juga diwujudkan dalam sikap merendahkan diri-Nya. Ia membasuh kaki para murid-Nya. Ia yang disebut Guru dan Tuhan merendahkan diri mau menjadi hamba lewat tindakan membasuh kaki.

Membasuh kaki adalah pekerjaan seorang budak atau hamba.

Paus Fransiskus pernah membasuh kaki para narapidana di penjara. Beliau juga pernah membasuh kaki para imigran, orang-orang kecil, gelandangan dan kaum papa miskin. Beliau meneladan Yesus yang merendahkan diri bagi manusia yang hina.

Setiap kali dan dimana-mana Yesus mengajarkan tentang kasih. Pada perjamuan ini, Yesus tidak hanya mengajarkan tetapi melakukan, memberi teladan nyata.

Lebih dari itu, pesan-Nya sangat jelas supaya kita juga melakukannya.

“Mengertikah kamu apa yang Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Nah, jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki, sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepadamu supaya kamu juga berbuat seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”

Kita diajak untuk saling mengasihi, merendahkan diri dan mau melayani satu sama lain. Itulah tanda nyata jika kita menyebut diri sebagai murid-Nya.

Tanda identitas kita sebagai murid Yesus adalah dalam mengasihi dan melayani sebagaimana Dia telah memberi teladan kepada kita. Sudahkah kita melakukannya ?

Bapak Uskup memberi pesan;
Para imam kudu doyan gaweyan.
Cinta kasih dan pelayanan,
Adalah ciri khas murid-murid Tuhan.

Cawas, digawe seneng wae…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 31.03.21 / Matius 26:14-25 / Menurut Petunjuk Bapak Presiden

 

KALIMAT di atas sering kita dengar di televisi periode tahun 80-90an pada setiap Rabu malam. Menteri Penerangan selalu melaporkan hasil sidang kabinet dan selalu keluar kalimat “menurut petunjuk Bapak Presiden.”

Boleh dikata sang menteri adalah orang paling dekat dengan presiden. Seperti anak emas atau orang kepercayaan. Ia menjabat selama tiga periode dalam Kabinet Pembangunan 1983-1997. Ia kemudian menjadi ketua MPR tahun 1998.

Ia juga salah satu orang yang mengusulkan agar Soeharto kembali menjabat sebagai presiden periode 1998-2003. Ia berusaha meyakinkan bahwa rakyat masih menghendaki Soeharto menjabat lagi dan tidak ada calon yang lebih pantas.

Pada 10 Maret 1998 Sidang MPR dengan mulus memutuskan Soeharto menjadi presiden lagi dengan suara bulat.

Namun ternyata rakyat dan mahasiswa justru menolak. Mereka berdemonstrasi mengepung gedung MPR-DPR di Senayan.

Tidak ada tiga bulan, sang ketua MPR membuat siaran pers yang menyatakan, “Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,”

21 Mei 1998, Soeharto yang sudah memimpin Indonesia selama 32 tahun akhirnya lengser.

Anak emas yang “digadhang-gadhang” bisa menjaga tahta, ternyata justru balik arah menjatuhkannya. Anak macan kalau masih kecil bisa dielus-elus jinak, tetapi kalau sudah gede bisa balik menyerang.

Itulah sebabnya mengapa ketika Soeharto sakit sampai wafatnya, ia tidak mau dikunjungi dan ditemui oleh sang anak emas ini.

Dalam perjamuan makan, Yesus mengatakan bahwa salah satu dari murid-Nya akan mengkhianati Dia. Yudas Iskariot menjual Yesus kepada imam-imam Yahudi.

Ia mengkhianati gurunya sendiri. Inilah pengkhianatan paling diingat di seluruh dunia. Diingat untuk menjadi pelajaran bagi kita semua, agar kita semua berhati-hati.

Pelajaran yang kita dapat adalah Yesus tetap konsisten melaksanakan kehendak Allah. Yesus tidak terganggu atau berhenti berbuat baik. Yesus tidak menghukum, tetapi masih bisa menerima Yudas.

Soeharto tidak mau dikunjungi atau ketemu dengan Harmoko. Yesus masih mau bertemu Yudas, bahkan menerima ciumannya di Taman Getsemani.

Tidak ada dendam dalam hati Yesus. Ia tetap menerima dan mengampuni “musuh”. “Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

Saya masih jauh dari sikap Yesus itu. Saya masih mempunyai dendam terhadap orang yang mengkhianati saya. Saya masih punya sakit hati. Saya harus terus belajar memaafkan dan menerima peristiwa pengkhianatan itu.

Saya harus belajar membuang sampah dendam itu agar bisa terbebas dari belenggu sakit hati.

Pekan suci adalah sekolah dimana saya harus belajar mengampuni terus menerus.

Mari kita lebih masuk lagi pada peristiwa akhir hidup Yesus di tiga hari ke depan agar kita belajar mengampuni.

Sungguh luas Kabupaten Wonogiri.
Di sana ada Waduk Gajahmungkur.
Betapa sakit hati ini saat dikhianati.
Hanya pengampunan obat paling manjur.

Cawas, ingat Gajahmungkur….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 30.03.21 / Yohanes 13: 21-33.36-38

 

“Et Tu, Brute?”

JULIUS CAESAR tidak menduga bahwa di antara sahabat-sahabatnya di Senat ada seorang pengkhianat. Pengkhianatan itu berakar dari ketidak-sukaan seorang Jendral Romawi, Gaius Cassius Longinus yang merasa gentar dan iri atas kemenangan Julius Caesar mengalahkan musuh-musuhnya.

Kata-katanya yang menjadi jimat terkenal adalah VENI, VIDI, VICI (Saya datang, saya lihat, saya menang). Julius Caesar lalu mengangkat dirinya sebagai Dictator Perpetuo alias raja seumur hidup.

Cassius yang tidak senang kemudian menghasut Senat, termasuk Markus Brutus yang sekaligus sahabat Caesar. Mereka mengundang Caesar merayakan pelantikannya di Teater Pompei.

Istri Caesar sudah mengingatkan agar tidak usah datang di pesta itu. Tetapi Brutus membujuknya agar tidak mengecewakan Senat dan rakyat. Akhirnya Caesar menghadiri pesta.

Setelah Caesar tiba di Teater Pompei, para Senat langsung mengerumuni dia. Mereka langsung menyerangnya dan dari belakang, Brutus menusukkan pisau ke tubuh Caesar. Caesar jatuh dan melihat Brutus masih memegang pisau.

Caesar berkata, “Et tu, Brute?” (Kau juga Brutus?). Sekitar 60 anggota Senat mengerumuni Caesar dan ada 23 bekas tusukan di tubuhnya yang membuat ia kehabisan darah dan mati.

Kalau Caesar tidak tahu bahwa di Senat ada pengkhianat, Yesus mengetahui di antara murid-Nya ada seorang yang akan menyerahkan Dia. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.”

Para murid mulai kasak-kusuk bertanya siapakah dia. Yesus memberi isyarat, “Dia adalah orang, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya.” Dialah Yudas Iskariot.

Betapa sedih hati Yesus karena tahu ada pengkhianat di antara murid-murid-Nya. Namun Dia melihat ini adalah jalan Allah mempermuliakan Dia. Yesus lebih memilih taat pada kehendak Allah daripada meratapi pengkhianatan oleh murid-Nya sendiri.

Pengkhianatan tidak membuat tentram bagi si pelakunya. Yudas dikejar-kejar rasa bersalah tak berkesudahan dan akhirnya bunuh diri. Begitu pula Cassius dan Brutus tidak tenang hidupnya. Mereka akhirnya memilih bunuh diri.

Jangan pernah menjadi pengkhianat yang sudi menusuk teman sendiri dari belakang. Apakah kita pernah mengalami peristiwa pengkhianatan seperti itu? Bagaimana rasanya?

Setelah Kamis harinya Jum’at.
Seruput secangkir kopi sangat nikmat.
Sungguh laknat seorang pengkhianat.
Tak akan tenang sampai di akherat.

Cawas, jurang indah Merapi….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 29.03.21 / Yohanes 12:1-11 / Sudut Pandang

 

SEORANG suami menulis di buku hariannya; “Tahun lalu saya harus operasi batu ginjal. Biaya rumah sakit mahal. Tahun lalu saya harus pensiun dari pekerjaan yang sudah saya tekuni 30 tahun. Di tahun yang sama, ibu saya dipanggil Tuhan. Anak saya gagal ujian test kedokteran, karena kecelakaan mobil. Biaya perbaikan mobil sangat mahal. Sungguh sial sekali nasib saya.” Ia mengakhiri tulisannya; “Sungguh tahun yang buruk dan berat.”

Istrinya tanpa diketahui membaca tulisan itu. Ia keluar dan menulis perasaannya; “Tahun lalu saya bersyukur suami berhasil dalam operasi batu ginjal. Ia makin sehat. Saya bersyukur suami pensiun dalam kondisi sehat dan baik. Tidak ada kasus tertinggal di kantornya. Sekarang punya banyak waktu buat keluarga. Saya juga bersyukur anak saya selamat dalam kecelakaan. Walau mobilnya rusak berat, namun ia tak sakit sedikit pun.” Sang istri mengakhiri tulisannya, “Rahmat Tuhan memang luar biasa, kami dapat melalui tahun kemarin dengan takjub. Tuhan melindungi dan mengasihi keluarga kami.”

Maria, saudara Lazarus menyambut kedatangan Yesus dengan istimewa. Ia mengambil minyak narwastu yang mahal dan meminyaki kaki Yesus, lalu menyekanya dengan rambutnya. Bau minyak itu semerbak memenuhi ruangan.

Yudas Iskariot menilai tindakan itu dengan sudut pandang yang lain. “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar, dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”

Ia menilai tindakan Maria itu sebagai pemborosan dan sia-sia. Hanya menghambur-hamburkan uang tanpa ada gunanya.

Maria melakukan itu sebagai tindakan syukur. Ia dan saudaranya merasa dikasihi Tuhan sedemikian rupa. Lazarus dihidupkan kembali. Maka selayaknya ia menghormati Tuhan dengan sangat tinggi.

Rasa syukurlah yang membuat hidup kita bahagia. Maria mensyukuri karena Yesus tinggal di tengah keluarganya.

Yudas Iskariot berbeda cara pandangnya. Walau nampaknya ia memikirkan orang miskin, tetapi hati terdalamnya adalah ketamakan, karena yang dipikirkan adalah keuntungan pribadi.

“Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.”

Sudut pandang kita akan mempengaruhi cara kita bertindak. Apa yang ada di dalam pikiran kita, itulah yang akan mempengaruhi perilaku kita.

Kalau hati kita penuh rasa syukur, maka semuanya akan terasa bahagia. Sudut pandang mana yang paling dominan dalam pikiran dan hati kita?

Matahari muncul di ufuk timur.
Akan tenggelam di barat saat senja.
Kalau hati dipenuhi rasa syukur,
Hidup akan tentram dan bahagia.

Cawas, mengintip puncak merapi…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto,Pr

Puncta 28.03.21 / Minggu Palma / Markus 11:1-10 dan Markus 14: 1-15: 47

 

“Gus Dur Dilengserkan”

MASIH ingatkah drama terpilihnya Gus Dur menjadi presiden? Dalam Buku “Menjerat Gus Dur”, dikisahkan bagaimana manuver politik itu berlangsung sangat cepat. PDIP memenangi pemilu 1999, disusul Golkar, PPP, PKB dan PAN. Secara logika pemenang pemilu punya kans sangat besar jadi presiden. AR Pendiri PAN aktif menggalang dukungan melalui kelompok Poros Tengah dan mengajukan Gus Dur sebagai capres melawan Megawati.

Loby-loby dilakukan, juga mohon restu kepada ulama-ulama sepuh. Bahkan mereka membuat surat pernyataan mau menjaga Gus Dur sampai selesai masa jabatan presiden. Gus Dur menang dan dilantik jadi presiden 20 Oktober 1999.

Mereka berharap Gus Dur sebagai presiden bisa diatur. Ternyata Gus Dur tidak bisa diatur oleh parlemen. “Gus Dur tidak mau diajak berkompromi, dengan orang yang setuju Indonesia dikuasai orang yang koruptif, tidak berpihak pada rakyat,” ungkap Yenny Wahid. “Gus Dur enggak bisa diajak kongkalikong. Gus Dur enggak bisa disetir. Enggak Bisa kasih proyek. Banyak yang enggak suka, ya sudah dilengserkan saja,” kata dia.

Mereka menghubungkan Gus Dur dengan kasus Bulogate dan Bruneigate. Sampai pada puncaknya parleman tidak mau menerima pencalonan kapolri usulan Gus Dur. Tetapi secara hukum tidak ada bukti bahwa Gus Dur terlibat. Sudah ada putusan MA. Hubungan presiden dan parlemen menjadi buruk.

Waktu itu Fordem (Forum Demokrasi) menyarankan Gus Dur mengundurkan diri. Tetapi Gus Dur dengan santai menjawab, “Mereka minta saya mundur? Jalan maju saja dipapah.” Gus Dur itu luar biasa. dalam situasi genting, dia masih bisa bercanda santai.

Terjadilah sidang istimewa MPR yang melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Hari itu 23 Juli 2001. Siapa yang memimpin sidang MPR waktu itu?

Hari Raya Minggu Palma ini bisa kita pakai untuk merefleksikan akhir hidup Yesus. menjelang kematian-Nya, orang-orang mengelu-elukan Dia masuk Yerusalem sebagai raja. “Hosana Putra Daud”.

Mereka mengarak Yesus masuk kota sebagai raja. Namun tiga hari kemudian teriakan itu berubah menjadi “Salibkan Dia. Salibkan Dia”

Pontius Pilatus, Hanas dan Kayafas sebagai imam agung serta orang-orang Yahudi bersekongkol menghukum Yesus dengan hukuman mati.

Baru saja Yesus diangkat, dielu-elukan sebagai raja, masuk Yerusalem. Namun mereka juga yang mengarak Yesus membawa salib ke Golgota.

Dimanakah kita saat Yesus dielu-elukan? Dimanakah kita saat Yesus memanggul salib? Betapa mudahnya kita bersorak, “Hosana Putra Daud” dan kemudian berubah menjadi “Salibkan Dia, Salibkan Dia.”

Dimanakah kita yang mengaku murid-Nya? Beranikah kita berada di pihak Yesus?

Bersorak dengan daun palma.
Hasil memetik di kebun tetangga.
Kita mengaku jadi murid-Nya.
Tapi sekaligus mengkhianati juga.

Cawas, menjelang subuhan….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr