Puncta 31.08.20 / Lukas 4: 16-30 / Susi Susanti

 

SIAPA orang Indonesia tidak kenal nama Susi Susanti, pahlawan bulutangkis Indonesia, peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992? Semua orang menyerukan namanya. Dia mengibarkan Merah Putih dan mengumandangkan Indonesia Raya di luar negeri.

Tetapi hidupnya disini terombang-ambing oleh selembar dokumen SBKRI. Ia dan teman-teman pebulutangkis yang etnis Tionghoa diperlakukan secara diskriminatif di tanah airnya sendiri.

Sejarah pernah menorehkan noda hitam karena perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa walaupun nyata-nyata mereka mengharumkan nama Indonesia di luar negeri.

Mereka dipersulit mengurus surat-surat dan paspor. Mereka harus mengganti nama Tionghoa ke Indonesia. Sampai sekarang pun mereka belum diterima sepenuhnya. Lihat kemarin bagaimana kasus Ahok?

“Saya tentu bingung dengan adanya kasus yang menimpa. Yang jelas saya lahir di Tasikmalaya, dari kecil di Indonesia dan sampai nanti pun tua di sini,” kata Susi yang juga fasih berbahasa Sunda ini seolah mewakili perasaan rekan-rekannya.

Di luar negeri dia diakui sebagai orang Indonesia. Ketika dia menang, bendera merah putih dan lagu kebangsaan membahana. Tetapi di dalam negeri, dia diperlakukan tidak seutuhnya sebagai orang Indonesia.

Pengalaman tidak diakui dan diterima seperti itu juga dialami Yesus ketika Dia pulang ke Nasaret. Mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Semua mata rakyat Indonesia tertuju pada Susi Susanti yang berlinang menyanyikan Indonesia Raya di pesta olimpiade.

Semua orang membenarkan Yesus. rakyat Indonesia mengakui prestasi Susi. Mereka heran akan kata-kata indah yang diucapkan-Nya. Semua orang kagum dan heran akan perjuangan Susi Susanti.

Tetapi mereka lupa tidak memberikan selembar kartu identitas kewarganegaraan Indonesia. Yesus ditolak dan diusir dari Nasaret. Pahlawan bulutangkis itu tetap mengalami kesulitan menjadi orang Indonesia di tanah airnya sendiri.

Yesus justru membuat banyak mukjijat di luar Nasaret, yakni di Kapernaum. Ia ditolak ditempat asalnya sendiri. Banyak pelatih Indonesia membuat prestasi hebat di luar negeri seperti Mulyo Handoyo, Tong Sin Fu, Hendrawan, Atik Jauhari, Rexy Mainaky.

Mereka tidak dihargai di rumah sendiri tetapi justru berprestasi di luar negeri. Kita akan menjadi bangsa yang kerdil kalau tidak mampu menghargai prestasi anak bangsa sendiri.

Menatap kagum pada kelopak bunga
Yang cemerlang disinari mentari.
Tidak ada gunanya Bhineka Tunggal Ika,
Kalau tidak dipraktekkan dalam hidup sehari-hari.

Cawas, wadhah telo…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 30.08.20 / Minggu Biasa XXII / Matius 16:21-27

 

“Cara Mencapai Bahagia”

SEANDAINYA kekayaan itu sumber kebahagiaan, mestinya Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman itu tidak mengakhiri hidupnya dengan menabrakkan dirinya ke kereta api yang melaju kencang.

Jika ketenaran, popularitas bisa membuat orang bahagia, tentunya Michael Jackson, king of the pop, dan Whitney Houston, penyanyi terkenal dunia itu tidak minum obat tidur sampai overdosis.

Seandainya kekuasaan bisa membuat orang bahagia, tentunya G. Vargas, presiden Brasil atau Hitler, kanselir Jerman yang sangat berkuasa itu tidak menembak dirinya sendiri.

Jika kecantikan itu mampu menghasilkan kebahagiaan, mestinya Marilyn Monroe, artis cantik yang bikin banyak orang tergila-gila itu tidak meminum alkohol dan obat depresi sampai overdosis.

Jika kesehatan bisa membuat orag bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter terkenal dari Perancis tidak bunuh diri akibat sebuah acara di televisi.

Kebahagiaan itu tidak diukur dari seberapa orang memiliki kekayaan, ketenaran, kekuasaan, kecantikan, kehebatan, kesuksesan, kesehatan.

Kalau kekayaan bisa dibeli, pasti sudah diborong oleh segelintir orang. Ada banyak orang mau berkorban, menderita, berbagi, meninggalkan segalanya, tetapi hidupnya sangat bahagia.

Mengapa Suster Lucy Agnes, putri keluarga Bos Jarum dan pemilik restoran ayam Bulungan itu meninggalkan kemewahan dan memilih jadi anggota Konggregasi Ibu Teresa, yang mengabdikan diri kepada orang miskin?

Mengapa Cyrus Habib, wakil gubernur Negara Bagian Washington mau meninggalkan panggung politik dan memilih masuk menjadi imam Jesuit?

Habib, anak imigran Iran yang lulus Oxford University, UK dibaptis saat dia menjadi mahasiswa. Karir politiknya dimulai tahun 2012 ketia ia mencalonkan diri menjadi anggota dewan Negara Bagian Washington, lalu menjadi senator tahun 2014.

Mulai tahun 2016 berhasil menjadi wakil gubernur Negara Bagian Washington. Maret 2020 kemarin dia meninggalkan semuanya dan masuk novisiat Jesuit.

Cara mencapai kebahagiaan itu dikatakan oleh Yesus demikian, “Setiap orang yang mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikuti Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya bagi seseorang jika ia memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Apakah dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?”

Beranikah anda berkorban, menyangkal diri, memanggul salib demi memperoleh keselamatan? Bersediakah anda menerima tantangan Jesus ini?

Emas limapuluh gram jadi tawaran.
Untuk gantikan sejuta kenikmatan.
Menyangkal diri dan berani berkorban.
Syarat jalan mencapai kebahagiaan.

Cawas, murid cerdas…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 29.08.20 / PW. Wafatnya St. Yohanes Pembaptis, Martir / Markus 6: 17-29

 

“Dendam Kesumat”

SAKIT hati yang tersimpan akan membara dan meledak tak terduga. Dendam itu akan membesar dan menunggu pemantiknya seperti bom tersulut dan booomm… menghancurkan semuanya.

Janji suci Sang Dewabrata untuk tidak menikah selamanya menjadi kepiluan bagi Dewi Amba yang jatuh cinta kepadanya. Sumpah Dewabrata itu membawa maut bagi Dewi Amba. Ia mati di tangan kekasihnya.

Maut tidak menghapus sakit hatinya karena ditolak cintanya. Ia berjanji akan menunggu Bisma untuk masuk alam baka saat baratayuda. Senopati perempuan, Srikandi akan menjadi jalan menjemput Bisma memasuki cinta abadi.

Dendam kesumat juga dialami oleh Dewi Gendari. Ia menjadi putri boyongan Pandu bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Tetapi Dewi Gendari diberikan kepada Destarastra, kakak Pandu yang buta.

Ia sakit hati dan dendam kepada Pandu dan seluruh keturunannya. Ia bersumpah anak-anaknya akan membenci dan memusnahkan anak-anak Pandu yakni Pandawa. Selamanya para Kurawa tidak pernah akur dengan para Pandawa.

Kematian Santo Yohanes Pembaptis yang kita rayakan hari ini adalah karena dendam kesumat. Ia mengecam tindakan tidak benar Herodes Antipas yang mengambil Herodias, istri Herodes Filipus, saudaranya. Herodias menyimpan dendam kesumat kepada Yohanes Pembaptis.

Tibalah saat pembalasan. Herodes ulangtahun dan anaknya, Salome menari menyukakan hati para tamu. Herodes bersumpah mau memberikan apa saja yang diminta anaknya.

Ibunya memanfaatkan moment itu untuk melampiaskan dendamnya. Ia meminta kepala Yohanes Pembaptis di sebuah talam.

Hati-hatilah, jangan bersumpah sembarangan dan menyimpan dendam. Hal itu ibarat bom waktu yang tinggal menunggu letupan sumbunya untuk meledak. Percikan kecil saja akan menghancurkan segalanya.

Herodes bersumpah sembarangan. Herodias menyimpan dendam kesumat. Keduanya diledakkan oleh kemabukan tarian anaknya. Yohanes menjadi korban cinta buta dan ketidakadilan.

YohanestYohanes pada kebenaran. Ia mati demi memperjuangkan kebenaran. Pejuang sejati berani menghadapi segala resiko. Itulah yang dilakukan Yohanes Pembaptis.

Ditawari surga atau emas bongkahan.
Terserah kita mau pilih yang mana.
Yohanes Pembaptis membela kebenaran.
Dialah teladan dan kekuatan iman kita.

Cawas, eee…ngono…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 28.08.20 / PW. St. Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja / Matius 25:1-13

 

“Agustinus dan Gadis Bijaksana”

HARI ini gereja memperingati Santo Agustinus, Uskup Hippo. Ia menjalani dua fase kehidupan yang sangat kontras. Masa mudanya dikenal sebagai “anak nakal” yang memburu nafsu seksual ala Romawi.

Pada usia 19 tahun ia kumpul kebo dengan wanita di Kartago dan punya anak bernama Adeodatus. Ibunya menjodohkan dia dengan seorang gadis berusia 10 tahun.

Ia harus menunggu dua tahun karena usia bagi seorang gadis untuk bisa menikah adalah 12 tahun. Ketika waktunya tiba, ia memutuskan meninggalkan gadis itu dan memilih menjadi imam selibat.

Perjumpaannya dengan Ambrosius, uskup Milan sangat mengubah hidup Agustinus. Bukan karena Ambrosius seorang uskup, ahli retorika, pengkotbah ulung, guru hebat, tetapi karena sikap keramahan dan kebapaannya, yang membuat Agustinus sangat terkesan.

Hal ini bisa dilacak dari tulisan Agustinus. Dalam Pengakuan-Pengakuan Bab X-XIII, Agustinus menulis, “Abdi Allah itu menerimaku dengan sikap kebapakan, dan sebagai seorang uskup sejati dinyatakannya kesenangannya akan pemindahan saya.”

Hubungan mereka segera berkembang, sebagaimana Agustinus menuliskannya, “Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai seorang guru kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku.”

Perjumpan itu mengubah Agustinus dari orang bodoh yang mengejar nafsu duniawi menjadi orang saleh yang mengejar hidup surgawi. Pada usia 33 tahun ia menemukan hidup baru, dibaptis pada malam Paskah oleh Ambrosius. Ia menulis dalam bukunya,

“Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, betapa lambat Kau kucintai! Ketika Engkau berada di dalam diriku, aku malah berada di luar, dan di luar sanalah Kau kucari. Aku, yang tidak layak dicintai ini, melemparkan diri ke antara hal-hal indah yang Kau ciptakan.
Dahulu Engkau bersamaku, namun aku sendiri malah tidak bersama-Mu.
Segala hal itu membuatku terpisah daripada-Mu; yang jikalau tidak ada dalam diri-Mu, sesungguhnya semua itu bukanlah apa-apa!”

Perumpamaan Yesus tentang lima gadis bodoh dan lima gadis bijaksana dapat menggambarkan kehidupan Agustinus. Sebelum mengenal kekristenan, ia seperti gadis bodoh.

Tetapi sesudah bersatu dengan Kristus, ia seperti gadis yang bijaksana. Ia membawa pelita dan minyak menyongsong Sang Mempelai. Hidup, karya dan ajaran-ajaran St. Agustinus seperti pelita yang memberi terang kepada gereja sampai saat ini.

Skenario film ikut sang sutradara.
Sangat ampuh terbukti hasilnya.
Santo Agustinus jadi teladan kita.
Berani bertobat dan mengubah hidupnya.

Cawas, taman anggrek….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 27.08.20 / PW. St. Monika / Matius 24:42-51

 

Subali – Sugriwa

DUA bersaudara Subali dan Sugriwa disuruh oleh dewa membunuh Mahesa Sura di Gua Kiskenda. Subali berkata kepada Sugriwa, “Adikku Sugriwa, tinggallah di depan pintu gua, aku akan masuk membunuh Mahesa Sura. Berjaga-jagalah kamu di sini. Kalau nanti sungai di bawah itu mengalir air warnanya merah, artinya Mahesa Sura mati. Tetapi kalau air yang mengalir berwarna putih, aku yang mati. Tutuplah pintu gua ini dengan batu besar.”

Subali masuk ke dalam gua. Sugriwa berjaga-jaga di depan pintu gua sambil memperhatikan aliran air di bawahnya. Terjadi perang yang cukup lama di dalam gua. Subali tidak hanya menghadapi Mahesa Sura tetapi juga Lembu Sura, saudaranya.

Subali dikeroyok oleh dua raksasa itu. Oleh Subali mereka berdua diadu kumba. Mahesa Sura dan Lembu Sura mati sampyuh. Darah merah Mahesa Sura bercampur dengan otak putih Lembu Sura mengalir keluar gua.

Sugriwa kaget melihat warna air yang mengalir berwarna putih, lalu disusul merah. Sugriwa bingung. Ia mengira kakaknya mati bersama Mahesa Sura. Tanpa pikir panjang ditutuplah pintu gua itu dengan batu besar.

Berjaga-jaga itulah pesan Yesus kepada para murid-Nya. “Berjaga-jagalah, sebab kalian tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang…. sebab itu hendaklah kalian selalu siap siaga, sebab Anak Manusia datang pada saat yang tidak kalian duga.”

Hamba yang siap siaga akan aman, jika tuan rumah datang. Ia akan siap membuka pintu, melayani tuannya dengan sigap dan membereskan segala urusannya. Hamba yang berjaga juga mesti waspada dan bijaksana.

Jika tidak, ia bisa salah bertindak seperti Sugriwa. Jika hamba itu malas, “klelat-klelet”, tidak cekatan dan nggak ngerti tugasnya, maka bisa jadi dia akan dipecat, dibuang atau dihukum.

Hidup ini adalah waktu berjaga-jaga. Anak Manusia datang pada waktu yang tidak terduga. Sama dengan kematian, tidak ada orang yang bisa mengira kapan datangnya. Masa pandemi covid19 ini makin menguatkan kita semua bahwa kematian ada di depan mata kita.

Ada banyak kasus; orang yang kelihatan sehat segar bugar, pagi masuk rumah sakit karena sesak nafas, siangnya dipanggil Tuhan. Jangan sampai kita terlena, hanyut oleh hiruk pikuk dunia. Mari kita berjaga dan waspada.

Bunga anggrek merah warnanya.
Kado manis hut imamatnya.
Marilah kita semua berjaga-jaga.
Hidup itu singkat dan sementara.

Cawas, syukur 26 tahun imamat….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr