SIAPA orang Indonesia tidak kenal nama Susi Susanti, pahlawan bulutangkis Indonesia, peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992? Semua orang menyerukan namanya. Dia mengibarkan Merah Putih dan mengumandangkan Indonesia Raya di luar negeri.

Tetapi hidupnya disini terombang-ambing oleh selembar dokumen SBKRI. Ia dan teman-teman pebulutangkis yang etnis Tionghoa diperlakukan secara diskriminatif di tanah airnya sendiri.

Sejarah pernah menorehkan noda hitam karena perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa walaupun nyata-nyata mereka mengharumkan nama Indonesia di luar negeri.

Mereka dipersulit mengurus surat-surat dan paspor. Mereka harus mengganti nama Tionghoa ke Indonesia. Sampai sekarang pun mereka belum diterima sepenuhnya. Lihat kemarin bagaimana kasus Ahok?

“Saya tentu bingung dengan adanya kasus yang menimpa. Yang jelas saya lahir di Tasikmalaya, dari kecil di Indonesia dan sampai nanti pun tua di sini,” kata Susi yang juga fasih berbahasa Sunda ini seolah mewakili perasaan rekan-rekannya.

Di luar negeri dia diakui sebagai orang Indonesia. Ketika dia menang, bendera merah putih dan lagu kebangsaan membahana. Tetapi di dalam negeri, dia diperlakukan tidak seutuhnya sebagai orang Indonesia.

Pengalaman tidak diakui dan diterima seperti itu juga dialami Yesus ketika Dia pulang ke Nasaret. Mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Semua mata rakyat Indonesia tertuju pada Susi Susanti yang berlinang menyanyikan Indonesia Raya di pesta olimpiade.

Semua orang membenarkan Yesus. rakyat Indonesia mengakui prestasi Susi. Mereka heran akan kata-kata indah yang diucapkan-Nya. Semua orang kagum dan heran akan perjuangan Susi Susanti.

Tetapi mereka lupa tidak memberikan selembar kartu identitas kewarganegaraan Indonesia. Yesus ditolak dan diusir dari Nasaret. Pahlawan bulutangkis itu tetap mengalami kesulitan menjadi orang Indonesia di tanah airnya sendiri.

Yesus justru membuat banyak mukjijat di luar Nasaret, yakni di Kapernaum. Ia ditolak ditempat asalnya sendiri. Banyak pelatih Indonesia membuat prestasi hebat di luar negeri seperti Mulyo Handoyo, Tong Sin Fu, Hendrawan, Atik Jauhari, Rexy Mainaky.

Mereka tidak dihargai di rumah sendiri tetapi justru berprestasi di luar negeri. Kita akan menjadi bangsa yang kerdil kalau tidak mampu menghargai prestasi anak bangsa sendiri.

Menatap kagum pada kelopak bunga
Yang cemerlang disinari mentari.
Tidak ada gunanya Bhineka Tunggal Ika,
Kalau tidak dipraktekkan dalam hidup sehari-hari.

Cawas, wadhah telo…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr