Puncta 01.04.19 Yohanes 9:1-41 Proses Beriman

ORANG mengenal Pak Jokowi itu tidak “ujug-ujug” atau tiba-tiba. Tetapi melalui proses panjang. Ia menjadi pengusaha mebel di kota Solo. Merintis usahanya dari kecil-kecilan. Karena ketekunan dan keuletannya, ia mampu menembus pasar internasional. Tetapi capaian itu membutuhkan usaha yang keras.

Masyarakat Solo mulai meliriknya untuk menjadi pemimpin mereka. Ia terpilih jadi walikota. Model kepemimpinannya sangat menginspirasi. Kepemimpinan yang merakyat dengan suka blusukan kemana-mana. Masyarakat kecil dilayani dengan baik.

Prestasi yang diperolehnya membuat ia maju ke Pilgub Jakarta. Ia berhasil menjadi Gubernur di Ibukota. Kerja kerasnya berhasil mengubah wajah Jakarta. Namanya melejit saat dipercaya rakyat untuk memimpin Indonesia. Ia menjadi presiden yang paling berhasil selama ini.

Namun banyak juga yang tidak menyukainya, para pesaing dan lawannya. Mereka membenci dan berusaha menjatuhkannya dengan cara fitnah, menyebar hoax, berita bohong. Namun ia tetap bekerja, bekerja, dan bekerja. Kita percaya orang ini baik dan harus didukung.

Injil yang sangat panjang ini mau menceritakan bagaimana proses orang beriman kepada Yesus. Orang buta sejak lahir itu disembuhkan Yesus. Tindakan Yesus itu menimbulkan pro dan kontra, karena Yesus melakukannya pada hari Sabat. Ia dianggap tidak memelihara hari Sabat.

Masyarakat terbelah. Ada yang pro Yesus, termasuk si buta yang mengatakan bahwa Ia ini seorang nabi. Yang kontra mengatakan, “Orang ini tidak datang dari Allah, sebab ia tidak memelihara hari Sabat”. Situasi itu justru dipakai oleh si mantan buta untuk menjelaskan siapa Yesus sebenarnya.

Awalnya ia menyebut Sang Penyembuh itu “Orang yang disebut Yesus”. Sebutan ini tidak punya wibawa apa-apa. Tetapi ketika ia didesak orang Farisi, ia menyebut Yesus, “Ia seorang nabi!”

Penjelasan itu tidak meredakan suasana tetapi justru makin ricuh, heboh dan memanas. Mereka menyelidiki orangtuanya, mungkin mengintimidasi juga. Si mantan buta juga tak mau kalah, ia tetap teguh membela diri dan makin yakin pendiriannya.

Bahkan ia menyindir mereka, “Barangkali kamu mau menjadi muridNya juga?” Ia dipojokkan dan diusir keluar. Dalam situasi terkucil, orang buta yang sudah sembuh itu mengungkapkan credonya, “Aku percaya, Tuhan”. Dialah Anak Manusia yang telah membuat hidupnya baru.

Kita bisa melihat proses iman yang tumbuh: dari “orang yang disebut Yesus ke “Ia seorang nabi” lalu makin percaya, Yesus adalah Tuhan. Kesulitan, intimidasi, pengucilan, ditindasdan diolok-olok tidak memadamkan iman tetapi justru meneguhkan keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan.

Bagaimana dengan kita sendiri?

Pergi ke Semarang membeli ikan
Dimasak pedas campur brokoli
Iman berkembang dalam kesulitan
Bersama Yesus terus dihidupi.

Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 31.03.19 Minggu Prapaskah IV Lukas 15: 1-3.11-32 Cinta Mati Sang Bagaspati

BAGASPATI adalah seorang begawan yang berwajah raksasa. Ia mempunyai seorang puteri cantik, bernama Pujawati. Putera raja Mandaraka bernama Narasoma menjadi murid sang begawan di pertapaan Argo Belah. Narasoma jatuh cinta pada Pujawati. Begitupun sebaliknya.

Namun Narasoma malu memiliki mertua seorang raksasa. Apa kata dunia, seorang putera raja pewaris tahta Mandaraka menjadi menantu raksasa. Maka ia mengajukan “cangkriman”, tebakan. Kalau Pujawati bisa menebak, ia akan menjadi permaisurinya. Karena dirundung asmara, Pujawati minta kepada ayahnya untuk menebak “cangkriman” Narasoma.

Bagaspati menjelaskan isi tebakan itu. Inilah cangkriman itu : Ada seekor kumbang ingin mengisap madu dari bunga cempaka. Tetapi bunga cempaka itu dijaga oleh seekor bajul (buaya) putih. Maka buaya putih itu harus mati agar bunga dapat disuntingnya.

Bagaspati berkata, “Kumbang pengisap madu itu adalah Narasoma. Bunga cempaka mulya itu putriku Pujawati. Buaya putih itu aku sendiri. Karena malu punya mertua raksasa, aku harus mati. Demi kebahagiaan putriku dan engkau, Narasoma, aku rela mati.

Tetapi sebelum aku mati, aku berpesan kepadamu; Anakku, Pujawati jangan dimadu. Jangan pernah menyakiti perasaan istrimu dan jangan merendahkan derajat kewanitaannya. Aku berikan nyawaku padamu, demi kasihku kepada putriku, Pujawati”
Narasoma mengakhiri hidup ayah mertuanya dengan menusuk siku kirinya dengan keris dan keluarlah darah putih. Bagaspati mukswa mati demi kebahagiaan anaknya.

Injil hari ini menggambarkan bagaimana Allah sebagai bapa sangat murah hati kepada anak-anaknya. Yesus memberi perumpamaan anak bungsu dan si sulung. Anak bungsu itu menghabiskan seluruh harta miliknya. Warisan yang belum waktunya dibagi, telah ludes demi memenuhi hawa nafsunya. Ia jatuh miskin dan ingin kembali kepada ayahnya.

Bapa itu dengan sukacita menerimanya kembali, bahkan disambut dengan pesta pora. Si sulung iri dan marah. Ia tidak mau masuk ke rumah. Yang satu meninggalkan rumah. Yang lain tidak mau masuk ke rumah. Namun bapa tetap menerima mereka. Bahkan menjemput, mencari, menemui mereka dengan rangkulan penuh cinta.

Itulah sifat Allah yang mengasihi tanpa pamrih dan membeda-bedakan. Semua dilakukan hanya demi kebahagiaan anak-anaknya.

Pantaslah kita bersyukur memiliki Allah yang demikian mengasihi anak-anakNya. Tidak ada alasan untuk tidak membalas kebaikan Tuhan itu dengan hidup pantas dan baik di hadapanNya. Masa Prapaskah ini adalah waktu yang bagus kembali kepadaNya.

Bunga cempaka mekar di waktu senja
Didatangi kumbang-kumbang perkasa
Jangan diulur dan jangan ditunda
Segeralah kembali kepada Bapa.

Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 30.03.19 Lukas 18:9-14 Rumput Tetangga Lebih Hijau dari Rumput Sendiri

SIKAP membandingkan itu sering terjadi dalam hidup kita. Tetangga beli TV, kita gak mau kalah beli TV flat yang lebih gede. Tetangga beli motor, kita gak mau kalah beli mobil, walau harus kredit.

Tetangga tampil dengan mode rambut blow, kita tidak mau ketinggalan pakai mode Mohawk. Istri tetangga punya sepatu high heel, kita cari mode lebih keren dengan hak tinggi di depan. Pokoknya gak mau kalah dan harus beda dengan orang lain.

Para suami sering juga membanding-bandingkan istrinya dengan istri orang lain. Maka muncul celotehan, “Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput di rumah sendiri”. Celotehan itu sebetulnya “warning” bahwa kita tidak pernah merawat rumput sendiri.

Tidak pernah dibersihkan, dipupuk, disiangi, disiram, sehingga rumput menjadi kering dan layu. Tengok di kebun tetangga, rumputnya hijau subur dan indah. Jangan meloncat pagar.

Anda sebaiknya merawat rumput sendiri biar menjadi hijau dan subur. Ketika anda sudah mulai menilai dan membanding-bandingkan, anda sudah terindikasi memanjat pagar menuju kebun tetangga.

Dalam Injil hari ini, Yesus memperingatkan kepada mereka yang sering mengganggap diri benar dan merendahkan orang lain. Orang Farisi dan pemungut cukai sama-sama berdoa. Orang Farisi itu membandingkan dan menganggap dirinya lebih hebat daripada si pemungut cukai.

“Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain; aku bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini. Aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku”

Kita harus hati-hati. Jangan sampai menggunakan doa sebagai cara menghakimi orang lain. Apalagi doa sekarang sering dipolitisasi. Doa dipakai untuk memuji paslon yang satu dan menjelek-jelekkan paslon yang lain. Doa tergantung dari dia yang memberi duit.

Doa adalah hubungan pribadi dengan Tuhan. Di hadapan Tuhan, kita ini bukan siapa-siapa. Laksana setitik debu di tengah padang pasir. Pemungut cukai itu mengakui kekerdilannya. Ia merasa tidak punya jasa apa-apa di hadapan Tuhan.

Justru ia sangat membutuhkan belaskasihan Allah. Ia sangat tergantung dari Allah. Begitulah semestinya kita memposisikan diri di hadapanNya. Masa Prapaska ini sangat bagus untuk datang mengakui kedosaan kita. Pasti belaskasihNya akan tercurah bagi kita semua.

Ke Bandung naik kereta api
Singgah sebentar di Purwakarta
Marilah kita merendahkan diri
Di hadapan Tuhan kita bukan siapa-siapa

Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 29.03.19 Markus 12:28-34 Hukum Utama

BEBERAPA waktu lalu ada kasus pemotongan kayu salib di kuburan. Ada macam-macam reaksi. Ada yang marah, tidak terima, protes. Namun ada pula yang mengajak berefleksi bagaimana sikap dan hidup kita di tengah masyarakat.

Salib adalah lambang, tanda, rambu. Yang penting adalah hal yang dilambangkan itu. Kalau tindak tanduk, tutur kata, sikap dan perilaku kita sudah sesuai dengan yang dilambangkan itu, kiranya tanda atau rambu itu tidak diperlukan lagi.

Kalau tanda salib itu sudah dihayati dalam kehidupan seseorang, maka kayu palang itu tidak penting lagi. Salib itu punya dua arah : vertikal dan horisontal. Arah vertikal menunjukkan relasi dengan Allah. Arah horisontal menggambarkan relasi dengan sesama manusia.

Prabu Mandrapati “duka yayah sinipi”, sangat murka kepada Narasoma anaknya yang tega membunuh ayah mertuanya, Begawan Bagaspati demi mendapatkan putrinya, Pujawati. Prabu Mandrapati marah sambil memberi wejangan kepada Narasoma.

Manusia itu harus mempunyai 5 sikap menyembah. Pertama, manusia harus menyembah kepada Tuhan yang telah menciptakannya. Kedua, manusia harus menyembah bakti kepada orangtua yang telah mengukir jiwa raganya.

Ketiga, manusia harus menyembah hormat kepada saudara tua yang telah memberi teladan hidup. Keempat, manusia harus menyembah sujud kepada mertua yang merelakan anaknya untuk melanjutkan keturunan. Kelima, manusia harus menyembah pada guru yang telah memberi ilmu.

Kelima sikap menyembah itu terangkum dalam sikap hormat kepada Tuhan (Vertikal) dan hormat kepada sesama (Horisontal). Narasoma diusir dari Kerajaan Mandaraka karena tindak-tanduknya yang tidak menghargai ayah mertua. Bahkan membunuhnya. Ia lari ke Mandura mengikuti sayembara pilih.

Dalam Injil hari ini, Yesus ditanya oleh ahli Taurat tentang perintah utama dalam kitab Bangsa Yahudi. Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah yang lebih utama dari kedua perintah itu”

Sepuluh Perintah Allah dalam Kitab Taurat itu dirangkum oleh Yesus dengan dua hukum utama yakni cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. Kalau kita mengaku mencintai Allah, maka harus terwujud dalam mencintai manusia.

Mencintai sesama juga wujud nyata kita mencintai Tuhan. Hal itu juga tersirat dalam Pancasila Dasar Negara kita. Lima sila itu merangkum cinta kepada Tuhan dan sesama.

Lima sila dasar negara kita
Itulah yang disebut Pancasila
Mencintai Tuhan Sang Pencipta
Terwujud dalam menghargai sesama.

Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 27.03.19 Matius 5:17-19 Ganti Romo Ganti Aturan

“ITU kan kebijakan romo yang lama, romo baru punya kebijakan sendiri” keluhan seorang umat yang kaget ketika romo pengganti menghapus kegiatan-kegiatan yang sudah berjalan rutin. Bahkan ada paroki ditinggal dengan buku kas nol. ada juga yang punya hutang.  Aneh ya?

Kalau romo yang baru tidak suka anjing, maka anjing-anjing peninggalan romo lama dibuang semua. Kalau jadwal-jadwal yang sudah teratur mengganggu hobbynya, maka misa dibuat sesuai dengan waktu luangnya. Yang penting hobby jangan diganggu.

Ini pastoral berdasarkan hobby, bukan berdasarkan data. Sering juga kita mendengar keluan, “ganti pejabat ganti kebijakan”. Para guru sekolah sering mengalami hal itu. Ganti menteri ganti kebijakan.

Kecenderungannya, aturan yang baru akan menghapus aturan lama yang sudah berlangsung. Maka muncullah kekacauan dan kebingungan.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menegaskan bahwa kedatanganNya tidak untuk meniadakan hukum  atau aturan yang ada. “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan Hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya”.

Yesus menunjukkan kreativitas sekaligus kontinuitas pelayanan. Apa yang lama dilanjutkan sekaligus disempurnakan, tidak dihilangkan. Hukum kasih yang dibawa Yesus bukan menghilangkan hukum Taurat tetapi menyempurnakannya. Apa yang kurang dalam Taurat digenapi dengan hukum Kasih itu.

Bahwa Yesus sering mengecam dan berbeda pandangan dengan ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi karena penafsiran yang berbeda terhadap hukum. Hukum Taurat itu baik, tetapi perilaku mereka yang tidak sesuai dengan Taurat itulah yang dikritik Yesus. Yesus ingin mengembalikan roh hukum Taurat yakni kasih.

Kasih itu mengatasi kewajiban-kewajiban melakukan aturan hukum. Yesus datang membawa kasih dan damai sejahtera.

Ke Zelandia Baru membeli burung kiwi

Ke Papua menikmati Cendrawasih

Janganlah kita mementingkan diri sendiri

Lebih baik melayani dengan kasih

 

Berkah Dalem,

Rm. A. Joko Purwanto Pr