by editor | Apr 29, 2022 | Renungan
Berbagi; Berkat Tiada Henti.
PERAYAAN Paskah di stasi-stasi pedalaman sungguh terasa menyenangkan. Suasana kegembiraan sangat terasa.
Hal itu terlihat dari persembahan yang dibawa oleh umat. Ada beras, sayur mayur seperti sawi, kacang panjang, timun, labu, petai, jengkol, terung pipit.
Kalau musim buah juga sangat berlimpah, ada durian, langsat, kembayau, rambutan, mangga asam.
Setelah ekaristi selesai dilanjutkan dengan makan bersama. Umat membawa makanan dari rumah masing-masing.
Apa saja yang ada ditaruh di depan altar, didoakan dan diperciki dengan air kudus oleh pastor. Siapa pun boleh mengambil apa yang ada.
Semangat berbagi dalam kebersamaan dan kegembiraan sangat terasa. Suasana seperti itu amat jarang dijumpai.
Persembahan hasil bumi akan diberikan kepada pastor. Pulang ke pastoran, motor penuh dengan beras, sayuran, buah-buahan, kue-kue.
Pernah juga diberi “genjik” (anak babi) dan ayam. Yang paling saya suka adalah tuak manisnya dan tempoyak.
Umat di pedalaman hidupnya sederhana, tetapi sangat murah hati.
Pergandaan lima roti dan dua ikan itu terus terjadi. Yesus mengajar orang banyak.
Mereka mengikuti-Nya sepanjang hari. Pasti mereka kelaparan dan kehausan. Ia meminta para murid untuk mencari makan.
Murid-murid tidak mampu mengatasi masalah. Mereka angkat tangan dengan berbagai argumentasi.
Namun Andreas melihat peluang. Ada anak kecil membawa lima roti dan dua ikan. Tapi apalah artinya itu untuk sedemikian banyak orang.
Yesus mengajak mereka untuk mempersembahkan apa yang ada. Ia mengambil roti, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada orang banyak. Begitu pula dengan ikannya.
Semua makan sampai kenyang, bahkan ada sisanya duabelas bakul.
Jika kita mau berbagi, kita tidak akan kekurangan. Ketika kita ikhlas memberi, kita justru akan mendapatkan kelimpahan.
Seperti yang dilakukan anak kecil itu, ia memberikan apa yang dia punya. Karena didoakan dan disyukuri, apa yang ada menjadi berkat tiada habis, bahkan ada kelebihannya.
Anak kecil itu tidak ada namanya, No Name. Ia bisa siapa saja. Barangkali anda adalah si anak kecil itu.
Anda pasti pernah punya pengalaman seperti itu. Ketika mau berbagi, ternyata berkat Tuhan tak pernah berhenti. Ketika anda mau memberi, ternyata tidak pernah kekurangan.
Bahkan Tuhan memberi balasan yang berkelimpahan.
Pertanyaan reflektif: Apakah kita sering mensyukuri anugerah yang Tuhan berikan? Apakah kita juga dengan rela hati berbagi dengan orang-orang di sekitar?
Jangan pernah kawatir, Tuhan siap memelihara hidup kita.
Jalan-jalan di pagi hari,
Ada gadis kecil penjual glali.
Hidup ini pantas disyukuri,
Asal kita mau terus berbagi.
Cawas, mari berbagi….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Apr 29, 2022 | Renungan
Inspirasi dari Gadis Jepara.
BARU saja kita memperingati hari kelahiran RA Kartini, gadis muda dari Jepara. Boleh dibilang ini adalah hari perjuangan kesetaraan, emansipasi dan pemerdekaan antara perempuan dan laki-laki.
Mungkin kita tidak bisa membayangkan kondisi hidup Kartini pada waktu itu. Ia hidup antara tahun 1879-1904. Hanya duapuluh lima tahun, tapi jasanya dikenang sepanjang masa.
Namun dari tulisan-tulisannya dalam Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang,” kita bisa membayangkan penderitaan sebagai perempuan yang terkungkung oleh adat istiadat dan diskriminasi yang mematikan.
Kartini hidup ketika kita belum merdeka, dijajah oleh Belanda. Tidak banyak anak bisa sekolah saat itu.
Bahasa Belanda adalah bahasa khusus untuk kaum elite bangsawan. Ada diskriminasi antara pribumi dan kaum penjajah.
Ada perbedaan mencolok budaya rakyat jelata di bawah dan kaum bangsawan dan kaum penjajah yang di atas.
Hanya sedikit rakyat jelata yang bisa berbahasa Belanda. Rakyat bawah tidak ada kesempatan belajar Bahasa Belanda.
Rakyat jelata berbahasa pribumi, bahasa daerahnya sendiri. Bahasa menjadi alat bagi penjajah untuk menindas.
Orang pribumi tidak boleh pandai, tidak perlu belajar tinggi-tinggi. Apalagi kaum perempuan ada di kelas paling rendah.
Inilah pergolakan Kartini. Di satu sisi dia ingin belajar tinggi seperti Kakak laki-lakinya, RM.Sosrokartono. Di sisi lain dia terikat adat perempuan Jawa yang harus tunduk di bawah laki-laki, berada di belakang, “macak-masak-manak.”
Pola pikir Kartini adalah pola pikir pembebas. Dia ingin mendobrak jurang atas-bawah, jurang pemisah, jurang pembodohan, jurang ketidak-adilan.
Ia menggunakan bahasa dari atas untuk merombak pola pikir dan perilaku yang membelenggu. Ia berjuang untuk mengangkat kaum bawah agar setara merdeka. Kini jasanya kita nikmati bersama.
Yohanes berbicara kepada murid-muridnya tentang Yesus.
Ia berkata, “Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya. Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya.”
Yesus itu datang dari atas. Kita semua berasal dari bawah. Kita manusia berasal dari bumi dan berbicara dengan bahasa bumi.
Yesus berbicara dalam bahasa Allah, karena Dia berasal dari Allah. Allah adalah kebenaran. Yang mendengarkan Yesus berarti mengakui kebenaran.
Siapa yang menerima kesaksian-Nya akan memperoleh kebenaran yakni hidup kekal.
Kita telah menerima pola pikir RA Kartini yang memperjuangkan kesamaan hak dan kemerdekaan setiap pribadi.
Cara yang dipikirkan Kartini itu benar dan kita yakini sekarang.
Maka kalau kita menerima sabda dan kehendak Yesus, kita juga akan memperoleh kebenaran bahwa siapa saja yang percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal.
Begitu pula siapa yang menolak cara pikir Kartini, dia tetap hidup dalam perbudakan, dijajah dalam perbedaan dan dipenjara oleh kebodohan.
Siapa saja tidak taat pada Anak, dia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.
Sebagaimana RA Kartini itu membawa pembebasan dari adat dan kondisi yang membelenggu, demikian juga Yesus datang untuk membebaskan kita dari perbudakan dosa yang menyengsarakan.
Pertanyaan reflektif: Apakah anda sudah menerima dan memahami bahwa Yesus datang membawa kebenaran yang akan membebaskan?
Apakah anda sudah hidup menurut pola pikir-Nya yang datang dari Allah?
Sebentar lagi datang Idul Fitri,
Saat indah untuk mengampuni.
Yesus Sang Kebenaran Sejati,
Dia datang dari Allah sendiri.
Cawas, bulan penuh berkah…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Apr 29, 2022 | Renungan
Batman; Manusia Kegelapan
MENONTON Film Batman tidak ada bosannya. Kisah manusia superhero ini penuh ketegangan dan balas dendam.
Ada banyak nilai yang dapat dipetik dari manusia kelelawar berjubah hitam ini.
Sifat dan karakter kelelawar dapat dilihat dari cara hidupnya yang terbalik dengan makhluk normal.
Kelelawar beraktivitas di malam gelap. Ia bekerja dan mencari makan pada saat yang lain sedang tidur.
Ia tidur dalam posisi terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas. Bahkan melahirkan bayinya pun dalam posisi terbalik.
Kelelawar adalah binatang nokturnal artinya makhluk yang hidupnya di malam hari. Ia tidur sepanjang siang yang terang benderang.
Ia menghindari cahaya yang menyilaukan. Makanya dia tinggal di dalam gua gelap, atau tempat-tempat terpencil yang sulit dijangkau.
Dalam Film Batman, manusia kelelawar, juga digambarkan superhero ini membasmi kejahatan dalam kegelapan. Ia bekerja dalam senyap untuk melakukan balas dendam.
Batman punya masa lalu yang kelam dan dendam membara karena kematian orangtuanya. Dendam itulah dunia gelap yang dihidupi Batman.
Batman adalah yatim piatu yang kaya raya namun kesepian. Luka batin yang dialami seperti jeruji penjara yang menjeratnya.
Ia terkungkung dalam kegelapan selama belum bisa membalaskan dendamnya. Ia seperti terhukum oleh perasaan dendam dan luka batinnya sendiri.
Pada endingnya dia sadar bahwa balas dendam tidak akan mengubah masa lalu. Dunia gelap harus ditinggalkan untuk menatap masa depan.
Ketika ia menemukan kasih yang selama ini hilang, Bruce Wayne hidup dalam damai dan ketenangan.
Yesus menegaskan bahwa Allah mengasihi manusia sampai Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Orang yang tidak percaya seperti hidup dalam hukuman. Seperti Bruce Wayne, walaupun dia jadi “pahlawan superhero” hidup dalam kemewahan namun hati dan jiwanya ada dalam kegelapan.
Ia terkungkung oleh gelapnya dendam dan luka batin yang dalam.
Kehidupan Batman dapat menjadi contoh akan sabda Yesus; “Terang telah datang ke dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab, siapa saja yang berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak.”
Ketika jubah hitam kelelawar dilepaskan dan si Bruce Wayne menjadi manusia yang penuh kasih, pengampunan dan penerimaan diri, ia hidup dalam terang.
“Siapa saja melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.”
Pertanyaan reflektif: Apakah kita lebih memilih perbuatan-perbuatan terang atau malah perbuatan kegelapan?
Sadarkah anda telah ditebus oleh darah Putera-Nya yang tunggal. Mari hidup dalam terang Tuhan.
Memancing dapat ikan patin,
Digoreng garing di atas wajan.
Apa guna nyimpan luka batin,
Lebih baik berilah pengampunan.
Cawas, jadilah anak-anak terang…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Apr 25, 2022 | Renungan
Lahir Kembali
DALAM beberapa agama diajarkan tentang lahir kembali atau reinkarnasi. Misalnya dalam agama Hindu ada paham reinkarnasi.
Ada kepercayaan bahwa orang akan mati dan dilahirkan kembali dalam kehidupan lain. Yang dilahirkan kembali itu bukan wujud fisik seperti kehidupan sebelumnya, tetapi jiwa orang tersebut yang mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil perbuatan sebelumnya.
Kisah reinkarnasi atau dalam Bahasa Jawa “Nitis” dapat dijumpai dalam lakon pewayangan ”Rama Nitis.”
Prabu Ramawijaya setelah mengalahkan raja angkara murka Dasamuka kemudian bertapa menjadi Begawan.
Ia mati dan nitis kembali dalam diri Prabu Kresna. Sedangkan Laksmana juga mati dan nitis kembali dalam diri Arjuna.
Berbeda dalam ajaran Hindu, kelahiran kembali juga diajarkan oleh Yesus. Namun kelahiran kembali yang dimaksudkan adalah kelahiran dalam roh.
Lahir dalam roh berarti memulai hidup baru dalam semangat atau spirit yang baru karena Roh Kudus.
Kelahiran kembali dalam roh dapat kita alami selagi kita masih hidup. Tidak menunggu saat kematian.
Dalam pembaptisan kita dilahirkan kembali dalam air dan Roh Kudus. Dengan pembaptisan itu kita diangkat atau lahir kembali sebagai anak-anak Allah.
Lahir kembali berarti punya semangat baru dalam roh kebaikan.
Yesus menjelaskan kelahiran kembali itu dalam pembicaraan dengan Nikodemus.
“Janganlah engkau heran karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali. Angin bertiup kemana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang dan kemana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari roh.”
Dalam Kitab Suci kelahiran kembali sering disebut dengan Lahir dari Roh, Lahir dari atas, pertobatan, pembaharuan budi, permandian, hidup dalam Kristus.
Kelahiran kembali adalah karunia Allah, sedangkan pertobatan atau pembaharuan hidup adalah tindakan manusia yang diterangi oleh roh.
Kelahiran kembali ditandai dengan semangat baru dalam roh. Orang yang lahir kembali nampak dalam semangat dan tindakan yang lebih baik; lebih mengasihi, lebih rela berkorban, lebih rendah hati, lebih menyerupai Kristus.
Orang yang lahir kembali memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah.
Bagi kita yang sudah dibaptis, kita telah dilahirkan kembali dari air dan Roh. Semestinya kita hidup dikuasai oleh Roh Allah dan semakin memiliki kedekatan dengan Allah.
Hidup kita dibimbing oleh Allah, karena kita adalah anak-anak Allah.
Pertanyaan Reflektif: apakah anda menyadari bahwa dengan baptis, anda telah dilahirkan kembali?
Dengan begitu, kita membawa hidup baru sebagai anak-anak Allah. Apakah kita sudah mewujudkan diri sebagai anak-anak seperti yang dikehendaki Allah?
Bulan merah muncul di perbatasan,
Warnanya menyala menyeramkan.
Kita dilahirkan dalam pembaptisan,
Menjadi anak Allah yang diselamatkan.
Cawas, hidup baru sebagai anak Allah.
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Apr 25, 2022 | Renungan
Pergilah Ke Seluruh Dunia.
KISAH perjalanan misi di luar Jawa sungguh menarik. Ada beberapa imam diosesan ditugaskan bermisi ke luar Keuskupan Agung Semarang.
Ada yang di Ketapang, Banjarmasin, Tanjung Karang, Medan, Sorong Manokwari dan di tempat lain.
Perjalanan berpuluh-puluh kilometer menembus medan yang sulit adalah makanan setiap hari.
Jalan berlumpur dan berdebu adalah bagian salah satu menu yang disajikan.
Naik turun bukit, menembus hutan, menyusuri sungai dengan riam-riam berbahaya adalah musik merdu pengiring perjalanan.
Teman-teman saya seperti Romo Budi “Wihong” di Mandam, Banjarmasin, Romo Budi “Buset” di Ketapang atau Romo Agus “Gondel” di Medan selalu punya cerita-cerita segar dan penuh warna dalam pelayanan misi di luar Jawa.
Pengalamannya sendiri pasti lebih seru daripada apa yang dikisahkan.
Ada kisah “Ayam bertelur di meja altar.” Lalu kemarin Paskah, ada pengalaman “Ayam persembahan di dalam jaket.” “Debok pisang jadi kandelar.”
Dan ada banyak kisah-kisah menarik yang bisa dibuat menjadi buku perjalanan misi, baik oleh mereka yang masih berkarya atau pun mereka yang telah “balik kandang.”
Ada banyak kisah perjumpaan dengan umat yang sederhana tetapi hatinya begitu murah. Kebaikan umat dapat dijumpai dan dirasakan ada dimana-mana.
Kisah-kisah Paskah adalah kisah sukacita perutusan. Kisah-kisah sederhana tetapi menjadi luar biasa. Kisah hidup sehari-hari tetapi dilihat dari perspektif ilahi. Itulah yang membawa sukacita.
Seperti dalam Injil, Markus berkisah tentang perutusan. Yesus yang bangkit mengutus mereka untuk menyebarkan kabar sukacita.
“Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”
Injil adalah kabar sukacita. Mengabarkan Injil berarti membawa sukacita kepada siapapun. Kedatangan pewarta Injil mesti membawa kegembiraan dan semangat hidup bagi si penerima.
Wajah sukacita yang mampu menghadirkan harapan bagi umat itulah yang harus ditampilkan. Bukan pewarta yang justru menambah beban dan masalah bagi umat. Pewarta yang hanya muram dan cemberut.
Pewarta yang penuh sukacita akan memberi warna bagi kehidupan umat. Sedangkan mereka yang hanya mewartakan diri sendiri justru akan menghancurkan.
Tanda-tanda sukacita itu bisa dilihat bagaimana umat menanggapi kehadiran sang pewarta.
Ada umat yang membuat lelucon. Kalau umat sering menyanyikan lagu “Gembala pergilah cepat-cepat…” Itu tandanya kehadiran sang pewarta sudah tak diinginkan.
Tetapi kalau umat sering menyanyikan lagu “Tinggal Padaku….atau Betapa Kita Tidak Bersyukur…” tandanya umat merasa happy dilayani.
Pertanyaan reflektif: Apakah kehadiran kita sebagai pewarta memberi sukacita dan kegembiraan bagi umat? ataukah kita justru menambahi mereka dengan beban dan persoalan hidup?
Berlibur menikmati Pantai Pangandaran,
Pasir putih angin berhembus menyejukkan.
Datanglah mewartakan dengan senyuman,
Jangan datang membawa muka menakutkan.
Cawas, wartakan dengan senyuman…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr