by gisel | Jun 2, 2019 | Artikel
Gambaran tentang tubuh dan anggota-anggotanya mengingatkan kita bahwa penggunaan “jejaring sosial” merupakan pelengkap bagi sebuah perjumpaan secara fisik, dan perjumpaan semacam itu menjadi kasatmata melalui tubuh, hati, mata, tatapan dan napas orang lain. Jika internet digunakan sebagai perpanjangan atau pengharapan serta kerinduan tentang perjumpaan semacam itu, maka gagasan asli tentang jejaring sosial dari tidak dikhianati dan tetap menjadi sebuah sumber daya bagi persekutuan.
Jika satu keluarga memakai intetnet agar semakin terhubung dan kemudian berkumpul di meja makan dan saling bertatap muka, maka internet menjadi sebuah sumber daya. Jika sebuah komunitas Gereja mengatur kegiatannya melalui internet dan kemudian merayakan Ekaristi bersama, maka internet menjadi sebuah sumber daya.
Jika internet menjadi wahana untuk berbagi aneka kisah dan pengalaman tentang keindahan atau penderitaan dari pribadi-pribadi yang secara fisik jauh dari kita, untuk berdoa bersama, dan bersama-sama mencari kebaikan untuk menemukan kembali apa yang menyatukan kita, maka internet menjadi sebuah sumber daya. Dengan cara ini kita dapat beralih dari sekedar teori menjadi sebuah aksi nyata dan tindakan konkret yang membuka jalan bagi terjadinya dialog, perjumpaan, tersenyum, dan mengungkapkan kelemah-lembutan.
Seperti itulah jejaring sosial yang kita idamkan yaitu sebuah jejaring yang diciptakan bukan unutk menjebak, melainkan untuk membebaskan, untuk melindungi persekutaan priabadi-pribadi yang merdeka. Gereja itu sendiri adalah sebuah jejaring yang diteguhkan bersama melalui Ekaristi, dimana persatuan tidak berdasarkan “like” tetapi dilandasi oleh kebenaran iman dan pernyataan “Amin”. Dengan demikian masing-masing anggota melekat erat pada Tubuh Kristus dan sekaligus terbuka menyambut orang lain.
sumber : komsoskam.com
by gisel | Jun 2, 2019 | Artikel
Suatu alternatif jawaban dapat dipetik dari metafora ketiga, yaitu tentang tubuh dan anggota-anggotanya. Gambaran ini digunakan oleh Santo Pulus untuk melukiskan hubungan timbal-balik diantara semua bagian yang menyatukan mereka. “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” Efesus 4:35). Menjadi sesama anggota adalah tujuan utama sesama anggota.
Santo Paulus mengajak kita utnuk membuang dusta dan berkata benar. Tuga untuk menjaga kebenaran muncul dari kebutuhan untuk tidak mengingkari hubungan timbal balik yang saling menguntugkan di dalam sebuah persekutuan. Kebenaran terungkap dalam sebuah persekutaan. Di sisi lain, dusta atau kebohongan adalah penolakan yang egois untuk mengakui bahwa kita adalah sesama anggota, bagian dari tubuh yang satu dan yang sama. Dusta atau kebohongan adalah penolakan kita untuk memberikan diri kepada sesama sehingga kita kehilangan satu-satunya cara untuk menemukan diri kita sendiri. Metafora tentang tubuh dan anggota-anggotanya mengantar kita untuk merenungkan jati diri kita, yang berlandaskan persekutuan dan kebinekaan.
Sebagai orang Kristiani, kita semua mengakui diri kita sebagai anggota dari tubuh yang satu dan sama dengan Kristus sebagai kepalanya. Pengakuan ini membantu kita untk melihat orang lain, bukan sebagai pesaing, melainkan sebaliknya mengangap musuh-musuh kita ssebagai pribadi. Kita tidak lagi membutuhkan musuh untuk mendefinisikan siapa diri kita. Tatapan yang merangkul semua orang seperti yang diteladani dari Kristus menuntun kita untuk menemukan kebinekaan atau perbedaan dengan cara baru, yaitu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan prasyarat mutlak bagi suatu hubungan dan kedekatan.
Kemampuan untuk memperoleh pemahaman dan komunikasi di antara pribadi-pribadi manusia berlandaskan persekutauan kasih dari antara Pribadi Ilahi. Allah itu bukan Kesendirian, melainkan Persekutuan: Ia adalah kasih dan karenanya komunikasi. Lantaran kasih selalu berkomunikasi. Bahkan kasih itu mengomunikasikan dirinya untuk menjumpai yang lain. Agar dapat berkomunikasi dengan kita dan untuk mengomunikasikan diriNya kepada kita, Allah bahkan menyesuaiakn diriNya dengan bahasa kita, seraya membangun dialog nyata dengan umat manusia di sepanjang bentangan sejarah (bdk. Konsili Ekomnenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum art. 2).
Kita diciptakan seturut citra dan rupa Allah yang merupakan persekutuan yaitu Allah yang mengomunikasikan diriNya. Kita selamanya membawa serta di dalam hati kita suatu kerinduan untuk hidup dalam persektuan, untuk menjadi bagian dari dan tinggal di dalam sebuah komunitas. “Sesungguhnya, tidak ada yang lebih hakiki dan kodrat, kita sebagai manusia selain masuk ke dalam sebuah jalinan realasi satu sama lain, dan saling membutuhkan seorang terhadap yang lain”, kata Santo Basilius.
Konteks zaman ini mengajak kita untuk menyemai relasi dan menegaskan corak kemanusiaan kita yang interpersonal, termasuk di dalam dan melalui jejaring sosial. Terlebih lagi, sebagai orang Kristiani, kita dipanggil untuk mewujudkan persekutuan yang menjadi ciri khas jati diri kita sebagai kaum beriman. Sesungguhnya iman itu sendiri adalah sebuah relasi, sebuah perjumpaan. Dari bawah daya dorong kasih Allah, kita dapat berkomunikasi, menyambut dan memahami bakat atau talenta orang lain dan menanggapinya.
Persekutan seturut citra dan rupa Allah Tritunggal jutru adalah hal yang membedakan pribadi dari individu. Bertolak dari iman akan Allah yang adalah Tritunggal, maka jelas bahwa untuk menjadi diriku, aku membutuhkan orang lain. Aku benar-benar manusia, benar-benar pribadi, hanya jika aku berhubungan dengan orang lain. Sesunggunya kata “persona”atau pribadi menandakan manusia sebagai sebuah “wajah”. Wajah ini senantiasa terarah kepada orang lain, terlibat dan bertaut dengan orang lain.
Hidup kita menjadi lebih insani (manusiawi) hanya ketika memiliki sifat dasar yang kurang individual dan lebih personal. Kita melihat jalan autentik ini agar diri seseorang menjadi lebih insani (manusiawi) yang bergerak menjauhkan dirinya menjadi individual, ketika menganggap orang lain sebagai pesaing, dan bergerak menuju pemahaman sebagai seorang pribadi yang mengakui orang lain sebagi rekan seperjalanan.
by gisel | Jun 2, 2019 | Artikel
“Kita adalah sesama anggota”
(Efesus 4:25)
Berkah dalem BBC Raguel.
Setiap tahun Gereja Katolik Semesta merayakan Hari Komunikasi Sosial dan hari ini merupakan hari komunikasi sedunia yang ke-53. Kita diingatkan oleh Tuhan agar mampu mengembalikan makna komunikasi sesungguhnya. Komunikasi bukan semata-mata masalah bicara. Lebih dari itu, komunikasi adalah saat dimana kita saling menguatkan, saling menyapa, dan saling mengungkapkan kasih.
Sejak adanya internet, Gereja selalu berupaya mendorong pemanfaatannya untuk melayani perjumpaan dan membangun solidaritas antapribadi. Saya sekali lagi ingin mengajak Anda untuk merenungkan fondasi dan makna mendasar tentang keberadaan kita yang terbentuk melalui relasi.
Metafora Tentang Jejaring Dan Komunitas
Cakupan media dewasa ini sudah merambah dan menyebar dan menjadi semakin tidak terpisahkan dari ranah kehidapan sehari-hari. Internet dewasa ini menjadi sumber daya dan pengetahuan, serta relasi yang berkat teknologi mengakibatkan terjandinya tranformasi yang paling hakiki dan berdampak pada proses produksi, distribusi serta penggunaan konten.
Sejumlah ahli menyoroti faktor risiko yang mengancam pencarian, penerusan dan penyebaran informasi pada skala global. Meskipun internet pada satu sisi menyajikan sebuah kemungkinan yang luar biasa menyangkut akses pada pengetahuan, akan tetapi pada sisi lain, internet juga terbukti menjadi arena yang banyak terpapar informasi sesat, penyimpangan fakta dan distrosi relasi antarpribadi yang dilakukan sengaja untuk mendiskreditkan orang atau pihak tertentu.
Harus diakui bahwa jejaring sosial sungguh membantu kita untuk lebih mudah terhubung, saling membantu sama lain. Meskipun juga disadari bahwa di sisi lain, jejaring sosial menjadi sarana dimana mudah terjadi upaya memanupulasi data pribadi demi mendapatkan keuntungan politik atau ekonomi tanpa menaruh hormat pada pribadi seseorang, termasuk hak-haknya.
Data menunjukkan bahwa satu dari empat orang di kalangan kaum muda terlibat dalam kasus perisakan di dunia maya (cyber bullyng). Dalam skenario yang kompleks ini barangkali bermanfaat untuk merenungkan kembali metafora tentang “net” atau jejaring, yang merupakan dasar dan pijakan awal agar internet dapat mulai menemukan kembali potensi positifnya. Gambaran tentang jejaring mengajak kita untuk merenungkan begitu banyaknya lini dan persimpangan yang menjamin stabilitas, meskipun tidak ada satu titik pusat, tidak ada satu struktur hierarkis, dan bahkan tidak ada satu bentuk organisasi yang bercorak vertikal di dalam jejaring.
Jejaring berfungsi justru karena semua elemen di dalamnya saling berbagi tanggung jawab. Dari sudut pandang antropologi, metafora tentang jejaring ini mengingatkan kita pada sebuah citra atau gambaran lain yang sarat makna, yaitu komunitas. Sebuah komunitas niscaya menjadi jauh lebih kuat apabila bercorak kohesif (melekat satu dengan yang lain) dan suportif (saling memberi dukungan dan semangat), apabila digerakkan oleh rasa saling percaya dan mengupyakan pencapaian tujuan-tujuan bersama. Komunitas sebagai jejaring solidaritas menuntut dilibatkannya elemen saling mendengarkan dan dialog, dilandasi dengan penngunaan Bahasa secara bertanggung jawab. Dalam skenario ini, kita semua dapat memahami bahwa berbagai kelompok jejaring sosial tidak selalu sama bentuknya dengan komunitas.
Sangat boleh jadi bahwa kelompok-kelompok di dalam dunia maya ini mampu menunjukkan kohesi dan solidaritas, tetapi seringkali tidak lebih daripada sekedar kelompok-kolompok individu yang yang saling mengenal karena memiliki minat yang sama atau kepedulian bersama yang dicirikan oleh ikatan-ikatan antarpribadi yang lemah. Lebih dari itu identitas atau jati diri dalam jejaring sosisal seringkali hanya didasarkan oleh adanya sikap pertetangan dengan pihak lain, yaitu pribadi pribdi di luar kelompok: kita mendefinisikan diri dengan mengawalinya dari apa yang memisahkan kita.
Alih-alih mengawali dari yang apa yang menkita, sehingga memunculkan kecrigaan dan terwujudkan dalam beragam jenis prasangka (etnis, jenis kelamain, agama dan lainnya). Kecenderungan ini mebiakkan kelompok-kelompok yang menafikan keberagaman, seedemikian rupa sehingga bahkan dalam dunia maya pun bertumbuh subur individualisme yang tidak terkendali dan tidak jarang berujung pada berkobarnya spiral kebencian.
Melalui cara demikian, apa yang seharusnya menjadi tingkap untuk melongok dunia, malah justru berubah menjadi tontonan di dunia maya untuk memerkan narsisme pribadi. Internet membuka peluang untuk memajukan perjumpaan dengan orang lain, tetapi dapat juga memperparah isolasi atau keterasingan diri, laksana perangkap yang dapat menjebak kita.
Kaum muda adalah kelompok yang paling terpapar dapa angan-angan atau ilusi bahwa jejaring sosial dapat sepenuhnya memuaskan mereka pada ranah relasional. Ini merupakan fenomena yang sangat berbahaya, bahwa anak-anak muda pelan-pelan menjadi seperti “petapa sosial” yang beresiko mengasingkan diri mereka sepenuhnya dari masyarakat. Situasi dramatis ini mengungkapkan sebuah keretakan serius dalam jalinan-jalinan relasional masyarakat, yang tidak dapat kita abaikan.
Realitas yang beragam dan berbahaya ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang bersifat etis, sosial, yurudis, politis, dan ekonomis sekaligus juga menjadi tantangan bagi gereja. Para pemimpin negara sedang berupaya menyusun regulasi seputar dunia maya dan melindungi tujuan pertamanya tentang jejaring yang bebas, tebuka dan aman. Pada saat bersamaan kita semua sebagai gereja memiliki peluang dan tanggung jawab untuk mendorong pemanfaatan dunia maya secara positif.
Jelas bahwa tidaklah memadai untuk sekadar melipagandakan koneksi daring guna meningkatkan saling pengertian. Lalu, bagaimana kita dapat menemukan identitas komunitarian atau jadi diri kita dalam persekutuan yang sejati, seraya menyadari tanggung jawab kita antara satu terhadap yang lain dalam koneksi daring tersebut?
sumber : komsoskam.com
by gisel | May 30, 2019 | Artikel
Selamat siang BBC Raguel, hari ini Kita merayakan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Selama Masa Paskah, Kita sering kali mendengarkan Injil yang menceritakan penampakan Yesus Kristus yang telah bangkit dari antara orang mati. Kebangkitan Kristus itu sendiri telah kita rayakan selama empat puluh Hari yang lalu. Dan pada Hari ini kita merayakan kenaikanNya ke surga.
Kenaikan Yesus sudah dikatakan sebelumnya dalam penampakan yang merupakan sarana penebusan Kita. Sumber kenaikan ini diambil dari Injil Lukas dan Kisah Para Rasul yang adalah juga tulisannya. Kedua kitab ini saling melengkapi informasi satu dengan yang lain untuk perayaan ini. Peristiwa Kenaikan Yesus Kristus adalah bagian dari rencana penyelamatan Tuhan kepada kita, karena setelah peristiwa itu, Roh Kudus yang menyertai Gereja diutusNya, yang akan dirayakan sepuluh hari kedepan. Dengan demikian, Kita di dunia selalu memiliki arahan hidup yang akan membimbing ke jalan yang benar. Kita yang saat ini merayakan Kenaikan Yesus, sebenarnya juga merayakan kita kelak, karena perayaan ini memberikan Kita harapan hidup bahwa ada kehidupan sesudah kehidupan di dunia ini. Yesus Kristus telah membuktikan itu dengan kenaikanNya. Cara hidup Kita yang baik dan beriman saat ini, kemudian akan dikaruniai dengan kenaikan kita ke surga Yang merupakan tujuan Kita hidup di dunia ini.
Pada saat kenaikanNya ke surga, Yesus Kristus mengatakan kepada Para Rasul bahwa mereka adalah saksi akan peristiwa iman ini,sehigga sampai saat ini kita mempoleeh makna perayaan ini. Kemudian kata-kata yang sama telah disampaikan kepada Para Rasul, juga kita dengarkan dari Yesus Kristus yang menyatukan bahwa kita adalah juga saksi akan kenaikanNya. Apa yang bisa kita lakukan sebagai saksi kenaikanNya? Berkat bimbingan Roh Kudus yang telah kita terima dari Pembaptisan ( diterima juga oleh mereka yang akan dibaptis ), tugas yang telah diterima Para Rasul juga kita emban. Tugas ini tidak gampang dan merupakan satu tanggung jawab setiap orang Kristiani. Kita memang bukan saksi mata seperti yang dialami oleh Para Rasul. Akan tetapi kita menjadi saksi akan nilai dari kenaikanNya yang lebih mengarahkan harapan hidup kita dan orang lain saat ini. Paling tidak, ada dua hal perlu diperhatikan di dalam hidup ini, agar bisa menjadi saksi akan nilai dari kenaikanNya, bahkan menjadi dasar seorang Kristiani. Sebenarnya menjadi Kristiani itu sangat gampang dan mudah, karena cukup menghayati dan melakukan keduanya.
Peraturan pertama adalah kasih, baik itu kepada Tuhan maupun sesama. Yang kedua adalah cara hidup yang sesuai dengan iman. Melaksanakan kedua hal ini saja sudah cukup. Siapa yang memiliki cara hidup seperti ini, pasti telah menjadi pengikut Kristus yang baik dan sesuai dengan panggilannya di dunia ini. Bahkan jawaban paling sempurna dari pertanyaan sebelumnya yaitu hidup sesuai dengan iman dan menjadi saksi Kenaikan Yesus Kristus.
by gisel | May 23, 2019 | Artikel
SABTU SUCI
Pada hari Sabtu {askah Gereja tinggal di makam Tuhan, namun merenungkan penderitaan, wafat dan turunNya ke alam maut (Bdk, Nissale Romanum, Sab-bato sancto; Symbolum Apostolorum; 1PTE 3:19) dan menantikan kebangkitanNya dengan puasa dan doa. Amat dianjurkan, untuk merayakan ibadat bacaan dan ibadat pagi bersama jemaat (Bdk. PPP no.40). Dimana hal ini tak mungkin, hendaknya diadakan ibadat Sabda atau kebaktian yang sesuai dengan misteri hari ini. Gambar Kristus – pada salib, beristirahat di makam atau turun ke alam maut, yang menjelaskan misteri Sabtu Paskah, atau juga Gambar Bunda berduka, dapat dipasang dalam gereja untuk dihormati kaum beriman. Pada hari ini Gereja tak merayakan Kurban Misa. (Missale Roma-num, Sabbato Sancto). Komuni suci hanya dapat diberikan sebagai bekal suci. Perayaan sakramen perkawinan dan sakramen-sakramen lain, kecuali sakramen tobat dan orang sakit, tak boleh diberikan. (Perayaan Paskah dan Persiapannya no. 73-75)
MALAM PASKAH
Malam Paskah dalam tradisi kuno adalah “malam tirakatan (vigili) bagi Tuhan”; tirakatan yang diadakan mengenang malam kudus Tuhan bangkit dan karena itu dipandang sebagai “induk semua tirakatan”(St. Agustinus Sermo 219, PL38, 1088). Di malam ini Gereja menantikan dalam doa Kebangkitan Tuhan dan merayakannya dengan sakramen baptis, penguatan dan ekaristi. (CE n.332) Malam Pesta Paskah yang dijalani orang-orang Ibrani dalam menantikan peralihan Tuhan yang membebaskan mereka dari perbuatandari perbudakan Firaun, dijadikan kenangan tahunan akan peristiwa ini; ia adalah gambar yang mewartakan Paskah sejati Kristus, sekaligus gambar permedekaan sejati: “ Kristus mematahkan rantai kematian dan naik dari alam mau sebagai pemenang” (Bdk Missale Romanum, Vigilia Paschalis, n.19 praeconium paschale). Sejak semula Gereja menjalani paskah tahunan, hari raya tertinggi, dalam perayaan malam. Karena Kebangkitan Kristus adalah dasar iman kita dan harapan kita; oleh baptis dan Krisma kita dimasukkan ke dalam misteri paskah; mati bersama Dia, dimakamkan bersama Dia, dibangkitkan bersama Dia dan akan ikut berkuasa bersama Dia juga. Malam Paskah mempunyai struktur sebagai berikut: Setelah perayaan cahaya pendek dan madah Paskah (bagian I) Gereja Kudus merenungkan karya agung yang dilaksanakan Allah tuhan pada umatnya sejak mulua (bagianII, Liturgi Sabda), sampai ia bersama anggota-anggota baru yang dilahirkan kembali dalam baptis (bagian III), diundang Tuhan ke merja yang disediakanNya bagi umatNya, sebagai kenangan akan wafat dan kebangkitanNya, sampai Ia datang kembali (bagian IV). (bdk. Missale Romanum, Vigilia Paschalis, n.2.). Urutan tata perayaan ini tak boleh diubah atas kuasa sendiri. Perayaan Malam Paskah yang baik menuntut agar para gembala sendiri lebih memahami teks dan Ritus, sehingga mereka mampu sebagai pendidik menghantar kaum beriman kepada misteri ini. (Perayaan Paskah dan Persiapannya Np. 77, 79, 80, 81, 86)