“Kita adalah sesama anggota”

(Efesus 4:25)

 

Berkah dalem BBC Raguel.

Setiap tahun Gereja Katolik Semesta merayakan Hari Komunikasi Sosial dan hari ini merupakan hari komunikasi sedunia yang ke-53. Kita diingatkan oleh Tuhan agar mampu mengembalikan makna komunikasi sesungguhnya. Komunikasi bukan semata-mata masalah bicara. Lebih dari itu, komunikasi adalah saat dimana kita saling menguatkan, saling menyapa, dan saling mengungkapkan kasih.

Sejak adanya internet, Gereja selalu berupaya mendorong pemanfaatannya untuk melayani perjumpaan dan membangun solidaritas antapribadi. Saya sekali lagi ingin mengajak Anda untuk merenungkan fondasi dan makna mendasar tentang keberadaan kita yang terbentuk melalui relasi.

Metafora Tentang Jejaring Dan Komunitas

Cakupan media dewasa ini sudah merambah dan menyebar dan menjadi semakin tidak terpisahkan dari ranah kehidapan sehari-hari. Internet dewasa ini menjadi sumber daya dan pengetahuan, serta relasi yang berkat teknologi mengakibatkan terjandinya tranformasi yang paling hakiki dan berdampak pada proses produksi, distribusi serta penggunaan konten.

Sejumlah ahli menyoroti faktor risiko yang mengancam pencarian, penerusan dan penyebaran informasi pada skala global. Meskipun internet pada satu sisi menyajikan sebuah kemungkinan yang luar biasa menyangkut akses pada pengetahuan, akan tetapi pada sisi lain, internet juga terbukti menjadi arena yang banyak terpapar informasi sesat, penyimpangan fakta dan distrosi relasi antarpribadi yang dilakukan sengaja untuk mendiskreditkan orang atau pihak tertentu.

Harus diakui bahwa jejaring sosial sungguh membantu kita untuk lebih mudah terhubung, saling membantu sama lain. Meskipun juga disadari bahwa di sisi lain, jejaring sosial menjadi sarana dimana mudah terjadi upaya memanupulasi data pribadi demi mendapatkan keuntungan politik atau ekonomi tanpa menaruh hormat pada pribadi seseorang, termasuk hak-haknya.

Data menunjukkan bahwa satu dari empat orang di kalangan kaum muda terlibat dalam kasus perisakan di dunia maya (cyber bullyng). Dalam skenario yang kompleks ini barangkali bermanfaat untuk merenungkan kembali metafora tentang “net” atau jejaring, yang merupakan dasar dan pijakan awal agar internet dapat mulai menemukan kembali potensi positifnya. Gambaran tentang jejaring mengajak kita untuk merenungkan begitu banyaknya lini dan persimpangan yang menjamin stabilitas, meskipun tidak ada satu titik pusat, tidak ada satu struktur hierarkis, dan bahkan tidak ada satu bentuk organisasi yang bercorak vertikal di dalam jejaring.

Jejaring berfungsi justru karena semua elemen di dalamnya saling berbagi tanggung jawab. Dari sudut pandang antropologi, metafora tentang jejaring ini mengingatkan kita pada sebuah citra atau gambaran lain yang sarat makna, yaitu komunitas. Sebuah komunitas niscaya menjadi jauh lebih kuat apabila bercorak kohesif (melekat satu dengan yang lain) dan suportif (saling memberi dukungan dan semangat), apabila digerakkan oleh rasa saling percaya dan mengupyakan pencapaian tujuan-tujuan bersama. Komunitas sebagai jejaring solidaritas menuntut dilibatkannya elemen saling mendengarkan dan dialog, dilandasi dengan penngunaan Bahasa secara bertanggung jawab. Dalam skenario ini, kita semua dapat memahami bahwa berbagai kelompok jejaring sosial tidak selalu sama bentuknya dengan komunitas.

Sangat boleh jadi bahwa kelompok-kelompok di dalam dunia maya ini mampu menunjukkan kohesi dan solidaritas, tetapi seringkali tidak lebih daripada sekedar kelompok-kolompok individu yang yang saling mengenal karena memiliki minat yang sama atau kepedulian bersama yang dicirikan oleh ikatan-ikatan antarpribadi yang lemah. Lebih dari itu identitas atau jati diri dalam jejaring sosisal seringkali hanya didasarkan oleh adanya sikap pertetangan dengan pihak lain, yaitu pribadi pribdi di luar kelompok: kita mendefinisikan diri dengan mengawalinya dari apa yang memisahkan kita.

Alih-alih mengawali dari yang  apa yang menkita, sehingga memunculkan kecrigaan dan terwujudkan dalam beragam jenis prasangka (etnis, jenis kelamain, agama dan lainnya). Kecenderungan ini mebiakkan kelompok-kelompok yang menafikan keberagaman, seedemikian rupa sehingga bahkan dalam dunia maya pun bertumbuh subur individualisme yang tidak terkendali dan tidak jarang berujung pada berkobarnya spiral kebencian.

Melalui cara demikian, apa yang seharusnya menjadi tingkap untuk melongok dunia,  malah justru berubah menjadi tontonan di dunia maya untuk memerkan narsisme pribadi.  Internet membuka peluang untuk memajukan perjumpaan dengan orang lain, tetapi dapat juga memperparah isolasi atau keterasingan diri, laksana perangkap yang dapat menjebak kita.

Kaum muda adalah kelompok yang paling terpapar dapa angan-angan atau ilusi bahwa jejaring sosial dapat sepenuhnya memuaskan mereka pada ranah relasional. Ini merupakan fenomena yang sangat berbahaya, bahwa anak-anak muda pelan-pelan menjadi seperti “petapa sosial” yang beresiko mengasingkan diri mereka sepenuhnya dari masyarakat. Situasi dramatis ini mengungkapkan sebuah keretakan serius dalam jalinan-jalinan relasional masyarakat, yang tidak dapat kita abaikan.

Realitas yang beragam dan berbahaya ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang bersifat etis, sosial, yurudis, politis, dan ekonomis sekaligus juga menjadi tantangan bagi gereja. Para pemimpin negara sedang berupaya menyusun regulasi seputar dunia maya dan melindungi tujuan pertamanya tentang jejaring yang bebas, tebuka dan aman. Pada saat bersamaan kita semua sebagai gereja memiliki peluang dan tanggung jawab untuk mendorong pemanfaatan dunia maya secara positif.

Jelas bahwa tidaklah memadai untuk sekadar melipagandakan koneksi daring guna meningkatkan saling pengertian. Lalu, bagaimana kita dapat menemukan identitas komunitarian atau jadi diri kita dalam persekutuan yang sejati, seraya menyadari tanggung jawab kita antara satu terhadap yang lain dalam koneksi daring tersebut?

 

sumber : komsoskam.com