Puncta 17.04.22 || Hari Raya Paskah || Yohanes 20: 1-9

 

Belajar Percaya dari Covid-19

MUNCULNYA virus Covid-19 menimbulkan banyak reaksi. Virus ini muncul di Wuhan Cina pertama kali pada akhir 2019. Kemudian tahun 2021 menyebar ke seluruh dunia.

Catatan WHO mengatakan sudah ada 3,9 juta orang meninggal dari 178 juta kasus yang dikonfirmasi.

Reaksi orang beraneka ragam. Ada yang tidak percaya karena virus itu tidak kasat mata. Mereka minta bukti kalau virus ada.

Harus ada bukti kongkrit yang dapat dilihat mata. Lalu mereka menolak keras untuk divaksin.

Ada lagi orang yang masih ragu dan bimbang. Kalau tidak percaya kok banyak korban berjatuhan. Kalau percaya kok tidak bisa membuktikan.

Ada lagi yang membuat cerita bohong tentang konspirasi politiklah, ada yang membuat senjata pemusnah masal atau negara cari untung dengan jualan vaksinlah.

Barulah ketika orang mengalami langsung bagaimana sakit terkena virus, bahkan kemudian ada keluarga yang meninggal, mereka baru yakin bahwa pandemi ini ada nyata di sekitar kita.

Begitulah kiranya dengan peristiwa kebangkitan Yesus. Para murid tidak langsung percaya akan kebangkitan.

Walaupun sebelumnya Yesus pernah mengatakan bahwa Ia akan menderita, ditolak tua-tua dan dibunuh, tetapi akan dibangkitkan Bapa.

Maria Magdalena pergi ke kubur. Ia melihat batu telah terbuka dan jenasah Yesus tidak ada.

Ia lari menjumpai Simon Petrus dan berkata, “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya, dan kami tidak tahu dimana Ia diletakkan.”

Makam kosong! Maria menyimpulkan jenasah Yesus dicuri orang.

Lalu Petrus dan murid lain juga pergi ke kubur. Petrus juga masih ragu. Murid yang lain itu ikut masuk.

Ia melihat makam kosong. Hanya ada kain kafan di tanah dan kain peluh sudah tergulung. Murid yang tidak disebut namanya ini melihat dan percaya.

Waktu itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit dari antara orang mati.

Hanya sebagian kecil orang pada waktu itu yang bisa membaca dan menulis. Bisa dimengerti kalau mereka tidak memahami isi Kitab Suci.

Apalagi waktu Yesus berbicara tentang kebangkitan, mereka malah membicarakan hal lain, siapa yang terbesar di antara mereka.

Jadi butuh proses dan waktu untuk bisa memahami peristiwa kebangkitan.

Seperti kita juga butuh waktu untuk memahami bahwa covid-19 ini sungguh-sungguh ada. Tidak ada iman yang instan.

Lalu seberapa besarkah iman kita kepada Yesus yang bangkit? Apakah kita masih ragu atau sudah yakin bahwa Yesus telah mati dan bangkit untuk keselamatan kita?

Ayo kita tetap maskeran,
Supaya tidak kena penyakit.
Selamat Paskah ya man teman …
Yesus sungguh sudah bangkit.

Cawas, Selamat Paskah bagi anda semua….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 16.04.22 || Sabtu Suci || Markus 16: 1-7

 

La Peste.

ALBERT CAMUS seorang filsuf Perancis menulis novel berjudul “La Peste.” Terjemahan novelnya adalah “Sampar.”

Bencana penyakit pes itu mirip seperti kondisi pandemi virus covid-19 sekarang ini.

Ia menggambarkan perilaku manusia menghadapi pandemi atau bencana yang menakutkan pada akhir abad 14 di Eropa.

Wabah itu menelan korban hampir sepertiga penduduk Eropa waktu itu.

Ketakutan melanda dimana-mana. Kematian seperti orang antri mencari minyak goreng yang tiba-tiba lenyap.

Penggali kubur sampai kelelahan karena keranda datang silih berganti.

Orang dirundung ketakutan yang mencekam akan datangnya malaikat maut.

Ibaratnya, “esuk lara sore pralaya, sore lara esuk mati.” (Pagi sakit sore mati, sore sakit pagi dah masuk peti).

Camus memotret perilaku orang. Ada yang cuek gak mau peduli. Orang tidak mau divaksin, gak mau ikuti prokes.

Ada yang menganggap bencana ini kutukan dari Tuhan. Ada yang menyebarkan hoak, berita bohong penebar ketakutan.

Namun ada pula yang turun tangan membantu seperti dokter Rieux, sang tokoh utama.

Kendati harus kehilangan istri tercinta, namun dia rela mempertaruhkan nyawanya.

Di tengah ketakutan yang mencekam, ada secercah harapan. Novel itu mengajari kita bagaimana menghadapi wabah.

Apakah hanya diam saja, pasrah keadaan? Apakah justru cari kesempatan dalam kesempitan seperti Cottard, Garcia dan Gonzales? Ada yang korupsi alkes, jualan test antigen, tipu-tipu suntikan, dll.

Atau seperti dokter Rieux yang tidak takut menghadapi bencana, tetap menolong orang dan rela berkorban bagi sesamanya.

Suasana pandemi masih kita rasakan sekarang. Namun ada ancaman lain yang juga mengkawatirkan yakni radikalisme, kebencian yang memecah belah warga, politik SARA, kebodohan dan tumbuhnya budaya kematian.

Dalam Injil suasana itu dihadapi para murid. Setelah Yesus disalibkan, para murid tidak terdengar posisinya. Mereka bersembunyi, ketakutan. Mereka mencari aman sendiri.

Namun ada wanita-wanita yang berani melakukan sesuatu. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome. Mereka berani ambil resiko pergi ke makam.

Kendati ada hambatan, ketakutan dan ketidak-jelasan, namun mereka tetap berjalan ke luar.

Keberanian mereka dilengkapi oleh warta penuh kedamaian dari malaikat yang berkata, “Jangan takut.”

Warta malaikat itu menguatkan kita semua, bahwa Allah tidak meninggalkan kita.

Kematian bukan hal yang menakutkan. Yesus mati untuk mengalahkan maut. Ia bangkit dan hidup.

Kita diutus untuk mewartakan kebangkitan-Nya. Warta malaikat itu sekaligus perintah kepada kita untuk tidak takut dan berani bersaksi.

Jangan takut menghadapi apapun. Tuhan telah mengalahkan maut. Ia menang atas kematian dan hidup di tengah kita.

Ada burung perkutut,
Hinggap di pohon cemara.
Jangan pernah takut,
Tuhan slalu bersama kita.

Cawas, selamat Paskah…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 15.04.22 || Jum’at Agung || Yohanes 18: 1- 19:42

 

Belmondo Scorpio.

MASIH berseliweran di medsos gambar dan berita tentang pengeroyokan dan penganiayaan Ade Armando di depan Gedung DPR.

Polisi sedang mengejar para pelaku penganiayaan. Sedang diusut juga siapa pemicu peristiwa yang brutal dan biadab itu.

Tiada angin, tiada badai. Dua emak-emak berteriak-teriak “buzzer, munafik…pengkhianat..!!

Kemudian orang-orang merangsek dan memukuli Ade Armando tanpa sadar bahwa bulan ini bulan puasa. Bulan untuk mengendalikan diri. Bulan penuh ampunan.

Di tengah tindakan bengis ada seorang pemuda yang berusaha melindungi Ade Armando, kendati dia kena bogem mentah juga.

Namanya adalah Belmondo Scorpio. Dia hadir saat Ade Armando membuat konten video bersama crew-nya.

Ketika massa menyerang Ade, Belmondo melindungi dan merangkulnya. Sebuah tindakan heroik dalam situasi yang amat sulit.

Ia berani merelakan keselamatannya sendiri di tengah amuk massa tak terkendali. Belmondo tak memikirkan dirinya.

Setelah Ade diselamatkan polisi, anak muda ini senyap tiada beritanya.

Keributan terjadi di Taman Getsemani. Yesus dikeroyok dan ditangkap dengan kode sandi “ciuman sahabat.”

Dari ciuman berubah drastis menjadi pukulan, pengeroyokan bengis. Petrus berusaha membela, namun Yesus menegurnya.

“Sarungkan pedangmu. Bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?”

Yesus digelandang ke rumah Kayafas, imam besar. Dia dicemooh, dihina, disiksa dan diolok-olok.

Sepanjang malam dilucuti, diberi jubah ungu, dimahkotai duri. Tiada henti mereka melampiaskan kebencian dan kemarahan.

Siang hari kemudian, Dia diadili oleh rakyat yang buas. Mereka mengepung gedung pengadilan Pilatus dan berteriak-teriak “Salibkan Dia!! Salibkan Dia!!

Mereka itu seperti gerombolan kera yang lapar menemukan ladang kacang.

Di tengah perjalanan memikul salib dan penganiayaan bertubi-tubi, ada tindakan heroik yang dilakukan Simon dari Kirene.

Ia ikut memikul salib Yesus. Juga ada wanita lemah bernama Veronika, mengusap wajah-Nya yang berlumuran darah dan debu.

Mereka berdua tidak menyayangkan keselamatannya. Suara hatinya tergerak oleh belas kasihan untuk menolong yang lemah dan menderita.

Ada pula yang secara sembunyi-sembunyi berbuat untuk menolong, yakni Yusuf dari Arimatea. Juga Nicodemus yang membawa minyak mur dan gaharu untuk memburat jenasah Yesus.

Di tengah masyarakat kita ini sedang tersimpan dendam dan kebencian antar kelompok. Bahaya laten kita adalah perpecahan.

Kalau tidak hati-hati, ada kasus kecil saja bisa meledak menghancurkan semuanya. Radikalisme itu nyata ada di depan kita.

Agama yang seharusnya membawa kesejukan dan kedamaian, sedang ditunggangi oleh nafsu kebencian dan pemecah belah.

Dibutuhkan orang-orang seperti Belmondo, tukang Ojol yang baik hati atau Simon dari Kirene, Veronika, Yusuf Arimatea atau Nikodemus.

Tuhan menyentuh hati kita untuk membela yang benar dengan semangat kasih dan kejujuran.

Peristiwa Jum’at Agung ini mengajak kita menebar kerukunan dan damai, persatuan dan saling menghormati.

Jangan mudah menggunakan agama untuk menghukum orang tak bersalah seperti kaum Parisi.

Perbedaan harus diterima sebagai kekayaan yang saling melengkapi.

Anda bisa mengagumi pelangi, mengapa tidak bisa mengagumi warna-warni kehidupan di bumi?

Bersepeda ria bersama teman di pagi hari.
Memandang sawah yang luas hamparan padi.
Tidak ada yang lebih indah selain mengasihi.
Tidak ada yang lebih damai selain mengampuni.

Cawas, mengasihi tanpa batas….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 14.04.22 || Kamis Putih || Yohanes 13: 1-15

 

Cuci Tangan dan Cuci Kaki

CUCI TANGAN dalam arti harafiah dianggap sebagia kenormalan baru dalam masa pandemi ini. Padahal cuci tangan sebetulnya sudah dianjurkan sejak lama.

Sejak 2008 Badan Kesehatan Dunia bahkan menetapkan tanggal 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan sedunia.

Sejak masa kanak-kanak, orangtua juga sudah mengajarkan untuk cuci tangan dan kaki sebelum tidur.

Penyanyi Tasya Rosmala menyanyikan lagu yang mengajak anak-anak untuk cuci kaki dan tangan.

Syairnya berbunyi demikian:
“Jangan lupa esok kita punya janji. Semakin cepat kita tidur, semakin cepat kita bertemu kembali. Berdoalah sebelum kita tidur. Jangan lupa cuci kaki tanganmu. Jangan lupa doakan mama papa kita.”

Namun setelah remaja dan dewasa, kita tidak dibiasakan cuci tangan. Justru banyak disuguhi contoh cuci tangan dalam arti kiasan.

Orang yang suka melemparkan tanggungjawab. Banyak kasus korupsi mangkrak karena orang yang seharusnya bertanggungjawab namun cuci tangan.

Kiasan dari perbuatan tangan banyak berkonotasi negatif; cuci tangan, ringan tangan, panjang tangan, kaki tangan.

Seno Gumiro Ajidarma bahkan membuat cerpen berjudul “Orang yang Selalu Cuci Tangan.”

Kebiasaan cuci tangan juga kita lakukan kalau mau berdoa. Itu sudah menjadi habitus.

Tetapi kenapa habitus yang baik itu bisa berjalan bersama dengan kebiasaan cuci tangan dalam arti kiasan?

Contoh kongkrit dalam Injil tentang cuci tangan adalah yang dilakukan Pilatus. Ia cuci tangan terhadap masalah Yesus. Ia tidak mau bertanggungjawab atas kematian Yesus di salib. Ia melemparkan tanggungjawab.

Gak mau tahu. Gak mau peduli. “Emang Gue pikirin… Elu elu gue gue…!!!

Yesus tidak lari dari tanggungjawab. Ia konsekwen dengan tugas perutusan Bapa. Ia berani ambil resiko ketika salib harus diterima.

Bahkan Ia memberi contoh gerakan active non violence dengan mencuci kaki para murid.

Pada awal penderitaan-Nya, Yesus membasuk kaki para murid-Nya.

Menghadapi penolakan, permusuhan, kebencian dan dendam, Yesus tidak lari atau lepas tanggungjawab (cuci tangan) tetapi justru Ia mencuci kaki murid-murid-Nya.

Mencuci kaki adalah perbuatan budak, hamba kepada tuannya. Ia merendahkan Diri-Nya menjadi hamba.

Kaki adalah anggota tubuh yang paling rendah. Kaki juga berkonotasi kotor, hina, miskin, di bawah.

Selain sebagai tindakan perendahan diri, membasuh kaki juga berarti menerima sebagai bagian tak terpisahkan.

“Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak akan mendapat bagian bersama Aku,” kata Yesus.

Dengan membasuh kaki, seseorang diterima sebagai saudara, anggota keluarga, bagian dari komunitas, warga bangsa, yang harus dikasihi dan diterima.

Peristiwa Kamis Putih ini punya relevansi penting bagi kita. Banyak kejadian cuci tangan disekitar kita. Tidak mau peduli, tidak bertanggungjawab.

Orang berbeda dianggap kompetitor, pesaing musuh, lawan yang harus disingkirkan. Kasus Ade Armando kemarin buktinya.

Kita harus banyak melakukan cuci kaki seperti diajarkan Yesus. Berani merendahkan diri dan menerima orang lain yang berbeda sebagai bagian diri kita.

Budaya kekerasan dan kebencian harus dijauhkan. Budaya melayani, menghormati dan mengasihi harus diwartakan dimanapun dan kapan pun jua.

Bunga mawar bunga melati.
Hati sabar selalu rendah hati.

Cawas, Kamis putih, hati juga putih…..
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 13.04.22 || Rabu Pekan Suci || Matius 26: 14-26

 

Diplomasi Meja Makan

KETIKA menjabat walikota Solo, Pak Jokowi berhasil memindahkan Pedagang Kaki Lima Taman Banjarsari Solo tanpa menimbulkan protes atau penolakan.

Padahal di sana ada 989 pedagang yang menggantungkan hidupnya. Tiga wali kota sebelumnya tidak mampu menertibkan mereka.

Hebatnya kepindahan mereka disertai dengan arak-arakan layaknya pawai hari kemerdekaan. Diiringi suara “klenengan” gamelan dan prajurit kraton, para pedagang dengan sukacita menuju ke lokasi baru.

Jokowi berhasil memindahkan para PKL ini berkat diplomasi meja makan yang dijalankannya. Ada 54 kali pertemuan yang digelar Pak Walikota dengan mengundang 11 paguyuban PKL Taman Banjarsari untuk makan bersama sebelum akhirnya terjadi kesepakatan di antara Pemkot Solo dan para PKL.

Ada yang meniru diplomasi meja makan di Jakarta, namun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.

Tidak semua pejabat piawai memakai diplomasi meja makan. Tergantung siapa yang diajak di seputar meja makan itu.

Yudas Iskariot sudah melakukan kesepakatan dengan menjual Yesus kepada imam-imam kepala.

Dia menyerahkan Yesus dan mendapat bayaran tiga puluh uang perak. Kesepatan ini sudah tak bisa dibatalkan.

Dalam perjamuan makan bersama dengan para murid, Yesus secara blak-blakan mengungkapkan bahwa ada di antara mereka yang mengadakan persekongkolan untuk menyerahkan Dia.

Mereka sedih dan saling membenarkan diri, “Bukan aku ya Tuhan?”

Yesus menunjuk siapa yang akan melakukan pengkhianatan. “Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku.”

Meja makan menjadi tempat untuk mengungkapkan segala sesuatu. Suka duka, sukses gagal, jatuh bangun bisa dibagikan di situ.

Diskusi, sharing, “glenak-glenik nguda rasa” bisa terjadi di meja makan.

Biasanya banyak kesepakatan tercapai di meja makan. Sambil makan, bersenda gurau secara informal malah mencapai hasil memuaskan.

Apakah kita sering makan bersama dalam keluarga? Apakah kita sering berdiplomasi dalam jamuan makan bersama?

Mari kita gunakan meja makan di rumah untuk berdialog bersama keluarga. Kebiasaan makan bersama di keluarga akan mempererat relasi seluruh anggota. Coba saja….

Candi Borobudur ada di dekat Muntilan.
Di Prambanan ada sendratari Ramayana.
Yang penting bukan apa yang kita makan,
Tapi dengan siapa kita makan di satu meja.

Cawas, lebih baik dialog hati…..
Rm. A. Joko Purwanto, Pr