by editor | Jul 7, 2019 | Renungan
PADA tanggal 28 Juni 2019 Keuskupan Agung Semarang menuai pekerja-pekerja dengan ditahbiskannya 4 imam baru.
Mgr. Robertus Rubiyatmoko mengatakan bahwa jumlah imam diosesan KAS sekarang ada 222 imam. Seiring dengan itu jumlah umat makin bertambah dengan dibukanya paroki-paroki baru.
Selain dibutuhkan di paroki, karya kategorial juga makin terbuka. Karya misi di luar KAS dan study di luar negeri juga harus dipersiapkan.
Dalam kotbahnya di Seminari Tinggi Kentungan, Bapak Uskup masih meminta keluarga-keluarga untuk mendorong putra-putranya menjadi imam.
Gereja masih sangat membutuhkan orang-orang muda menanggapi panggilan Tuhan. “Apakah bapak ibu siap merelakan putra-putranya menjadi imam?”
Umat menjawab dengan lantang, “Siaaapp.”
“Betul?”. “Betuuull” jawab umat serempak. “Tenan lho yaaa, nanti saya tagih lho yaaaa.”
Bacaan hari ini, Tuhan menunjuk 70 murid untuk diutus pergi berdua-dua. Mereka diminta mempersiapkan kedatanganNya.
KataNya kepada mereka, “Tuaian memang banyak, tetapi pekerjanya sedikit! Sebab itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, agar ia mengirimkan pekerja-pekerja ke tuaian itu.”
Mewartakan Kabar Gembira adalah tugas kita bersama. Gereja adalah kita. kita adalah Gereja. Imam berasal dari keluarga-keluarga.
Penguatan kepada keluarga sangat diperlukan agar semangat misioner juga dimiliki oleh keluarga.
Keluarga misioner berarti keluarga yang rela dan berani menyumbangkan anak-anaknya menjadi imam, bruder, suster bagi perutusan gereja. Bu Tardi – tetangga saya – menyumbangkan 3 anaknya menjadi romo dan suster.
Rm. Kusmartono SCY itu punya 3 saudara masuk anggota Dehonian (SCY). Romo Sutadi Pr itu adiknya menjadi Uskup di Pangkal Pinang.
Di Sedayu keluarga Ibu Hardjodisastro (alm) mempersembahkan 4 anaknya; Rm. Suitbertus (alm), Mgr. Suharyo, Sr. Chatarine FMM, Sr. Magda.
Keluarga misioner adalah keluarga yang ikut memikirkan perutusan gereja.
Baik kiranya ajakan Yesus itu menjadi doa dalam keluarga, “Mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya mengirimkan pekerja-pekerja ke tuaian itu.”
Apakah dalam doa bersama di keluarga, kita pernah meminta kepada Tuhan? Jangan-jangan kita berdoa bagi anak orang lain, tetapi enggan merelakan anak-anak kita dipakai Tuhan untuk bekerja di ladangNya.
Marilah kita tanamkan mental misioner ini di dalam keluarga kita.
Makan nasi dengan peyek teri
Campur gudeg dibikin dari gori
Mintalah maka akan diberi
Berilah maka akan makin dilimpahi
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Jul 5, 2019 | Renungan
BULAN September hingga November adalah musim kawin (rut) bagi rusa-rusa jantan.
Mereka berkumpul di antara para betina. Mereka memamerkan keindahan, kekuatan, kepiawian tanduk-tanduknya yang menjulang.
Para betina akan melihat dan memilih siapa di antara mereka yang akan menjadi jodohnya. Para rusa jantan dengan sukacita mencari kesempatan agar dipilih.
Mereka lari kesana kemari mencuri perhatian si betina. Suasana sukacita mewarnai musim kawin bagi rusa-rusa itu. Anehnya rusa adalah binatang yang punya perilaku poliandri.
Yesus memberi jawab kepada murid-murid Yohanes bahwa ada saatnya orang akan berpuasa. Yaitu pada saat mempelai laki-laki tidak ada bersama degan mereka.
Mempelai itu akan diambil dari mereka dan pada saat itulah mereka akan berpuasa. Sahabat-sahabat mempelai berkumpul dengan sukacita saat mempelai bersama dengan mereka.
Saat itu mereka sedang bersukacita. Mereka tidak berpuasa karena suasananya adalah pesta mempelai.
Orangtua sering memberi nasehat kepada anaknya agar bisa “empan papan angon mangsa.”
Maksudnya adalah agar kita bijak tahu saat yang tepat dan mampu menempatkan diri dengan benar.
Tidak “srogal-srogol” atau asal tabrak urusan belakang. Ada sopan santun dan tatakrama dalam pergaulan. Pandai menempatkan diri supaya bisa menghormati sesama.
Perumpamaan Yesus tentang menambal kain koyak dan tempat anggur baru menguatkan hal itu.
Anggur yang baru tidak bisa ditaruh di kantong kulit yang sudah tua. Anggur yang baru harus disimpan pada kantong kulit yang baru pula.
Janganlah menilai seseorang hanya dengan kacamatanya sendiri. Murid-murid Yohanes itu menilai kesucian seseorang hanya karena ikut puasa mereka.
Kalau tidak ikut berpuasa dengan mereka berarti tidak sah, jelek, najis, harus dijauhi atau diusir dari kelompok. Yesus tidak ingin murid-muridNya jatuh pada egoisme kelompok seperti itu.
Penilaian sempit seperti itu membatasi belas kasih Allah. Allah yang maha mengetahui dan mahaadil pasti tidak akan menilai sesempit itu. Marilah kita bisa “empan papan” terhadap siapa pun.
Rusa jantan kumpul di ladang
Musim kering makannya kertas
Jangan mudah menilai seseorang
Karena kita makhluk terbatas
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Jul 5, 2019 | Renungan
TAHUN 1985 banyak warga Kedungombo digusur demi pembangunan sebuah waduk. Mereka tidak mendapat ganti rugi yang layak.
Bahkan mereka yang berjuang menuntut haknya dicap sebagai PKI. Romo Mangunwijaya mengambil sikap tegas, berdiri di pihak mereka.
Ketika warga Kali Code akan digusur, Romo Mangun ikut membela mereka. Ia tinggal bersama mereka di bantaran sungai dan mendampingi warga.
Yesus memanggil Matius seorang pemungut cukai. Bagi kebanyakan orang, Matius dipandang sebelah mata.
Pekerjaan sebagai pemungut pajak dicibir oleh masyarakat karena dia anteknya penjajah Romawi. Ia dianggap pengkhianat bangsanya.
Maka para pemungut cukai dijauhi dan disingkiri masyarakat. Ia dianggap sebagai pendosa.
Yesus tidak demikian. Matius adalah seorang pribadi yang pantas dihargai dan diterima. Yesus bisa memisahkan antara pribadi dan pekerjaan.
Ia memanggil Matius menjadi muridNya. Ia menerima Matius sebagai pribadi yang dikasihi Allah sama seperti yang lainnya.
Maka Yesus bergaul akrab dengannya. Yesus makan bersama dengan mereka.
Tentu saja tindakan ini menimbulkan pro dan kontra. Orang-orang menganggap Matius berdosa.
Mereka juga melihat Yesus sebagai guru yang suci, yang datang dari Allah. Mereka tidak bisa menerima yang suci bersatu dengan yang berdosa.
“Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”
Yesus menjawab pertanyaan mereka. “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang sakit. Aku datang bukannya untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”
Jawaban ini menunjukkan dengan jelas kedatangan Yesus untuk menyelamatkan. KeberpihakanNya kepada orang berdosa, tersingkir dan dikucilkan sangat nampak di sini. Ia berdiri di pihak mereka.
Jangan mudah mengikuti omongan atau penilaian banyak orang karena belum tentu benar. Yesus dengan tegas menunjukkan sikapnya.
Ia tidak ikut-ikutan menghakimi seperti kebanyakan orang. Ia berdiri pada posisi yang tegas dan tak terbantahkan.
Beranikah kita mengambil sikap tegas dalam membela orang lain? Ataukah kita lebih mengikuti omongan orang banyak karena takut?
Berdiri di pinggir jalan
Menanti mobil jemputan
Membela orang yang dikucilkan
Kita juga akan jadi korban
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Jul 3, 2019 | Renungan
DALAM Kitab Hukum Kanonik ada istilah Sanatio in radice, yang berarti penyembuhan pada akar.
Ada sebuah situasi dalam perkawinan yang tidak ideal. Sanatio in radice adalah usaha untuk membereskan perkawinan yang cacat atau tidak ideal itu.
Situasi perkawinan itu sedang “sakit”, maka dimungkinkan ada penyembuhan pada akarnya.
Dalam Injil hari ini, Yesus menyembuhkan orang yang sakit lumpuh itu sampai ke akar-akarnya.
Yesus tidak hanya menyembuhkan secara fisik saja. Yesus menyembuhkan akar dari kelumpuhan itu yakni dosa.
Orang Yahudi berpandangan bahwa orang lumpuh, orang buta, orang tuli digolongkan sebagai pendosa.
Karena mereka berdosa, maka Allah menghukum mereka dengan segala penyakit itu. Kondisi “celaka” itu diakibatkan oleh dosa mereka.
Pandangan ini tersirat dalam dialog ini, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga dia dilahirkan buta?” (Yoh 9:2).
Yesus ingin meluruskan pandangan orang banyak yang keliru. Ini dulu yang harus disembuhkan.
Maka Dia mulai dengan akar masalahnya. Dia berkata kepada orang lumpuh itu, Percayalah, anakKu, dosamu sudah diampuni.”
Orang lumpuh itu sudah tercemar oleh gagasan dosa yang membuatnya bernasib celaka. Maka Yesus berkata, “dosamu sudah diampuni.”
Tentu saja hal ini menggemparkan banyak orang. Yesus dituduh menghujat Allah. Dengan berkata begitu, Yesus ingin menunjukkan bahwa Dia punya kuasa mengampuni dosa karena Dia adalah Putera Allah.
Maka kalau Yesus mampu mengampuni dosa – karena Dia adalah Putera Allah – pastilah dengan mudah Ia menyembuhkan kelumpuhan fisiknya.
Begitulah orang lumpuh itu bangun, mengangkat tilam dan pulang ke rumahnya.
Kita harus yakin bahwa Yesus adalah Tuhan. Dia berkuasa mengampuni dosa dan menyembuhkan penyakit.
Kita juga belajar bahwa niat baik tidak selalu diterima dengan baik. Tetapi Yesus menegaskan untuk tidak berhenti berbuat baik kendati ditolak, dicurigai dan dibenci. Kebaikan tetaplah kebaikan walaupun disikapi negatif oleh orang lain. Jangan surut untuk terus berbuat baik.
Marina menari di atas menara
Jatuh terpeleset terbawa angin surga
Ayo terus berbuat baik untuk sesama
Tak perlu surut walau sering dicuriga
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Jul 3, 2019 | Renungan
Minggu dini hari kemarin, Suarez menangis tersedu di tengah Arena Fonte Nova Salvador, Brasil.
Pasalnya, tendangan pinaltinya ditepis oleh kiper Peru, Pedro Gallese. Sebelumnya, gol Suarez dianulir wasit karena dia tertangkap offside.
Menurut logika, Uruguay dijagokan bisa mengatasi Peru, si kuda hitam. Lagipula banyak predator gol di Uruguay seperti Suarez, Edison Cavani dan Stuani.
Suarez adalah “raja” gol di Uruguay. Tak ada yang menyangsikan reputasinya. Tapi apa lacur, dialah satu-satunya penendang pinalty yang tidak berhasil dari 10 penendang.
Alhasih Uruguay dipulangkan lebih awal oleh Peru yang tak diperhitungkan.
Peristiwa di atas adalah drama di arena sepakbola. Drama lain di arena kehidupan adalah drama asmara.
Jatuh cinta atau perasaan hati tak pernah bisa dirunut dengan logika. Tahun 1987 Vina Panduwinata, Si “Suara Centhil,” pernah menyanyikan syair ini: Dimana logika. Hatiku, jatuh cinta kepadanya. Oh tetapi, ternyata. Asmara, tak kenal dengan logika.
Tomas, Rasul yang hari ini kita peringati, ingin mendasarkan iman pada logika, nalar berpikir yang disertai dengan bukti-bukti kasat mata.
Ketika teman-temannya memberitahu bahwa sudah melihat Tuhan yang bangkit, Tomas memainkan logika berpikirnya,
“Sebelum aku melihat bekas paku pada tanganNya, dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambungNya, aku sama sekali tidak akan percaya.”
Tidak ada yang salah dengan logika Tomas. Dia justru sedang menunjukkan keteguhannya, “keukeh” mempertahankan pendapatnya.
Akhirnya Yesus menjawab keteguhan hati Tomas. Ia datang dan berkata, “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tanganKu, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambungKu, dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.”
Harus dan selalu menuntut bukti nampaknya tidak selaras dengan kepercayaan. Karena Yesus menegaskan,
“Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Abraham dan Maria adalah contoh pribadi-pribadi yang sungguh percaya, kendati bukti-bukti secara logika nampak begitu jauh.
Kendati masa depan nampak gelap, tetapi secercah harapan tak pernah pudar. Tetap berani percayakah kita kepada Tuhan kendati masih gelap jauh dari harapan? Kadang hidup tidak selamanya sesuai dengan logika hasil olah pikiran kita. Itulah iman.
Ngefan banget sama Si Burung Camar
Suaranya centhil dan menggemaskan
Cinta tidak butuh logika yang lebar-lebar
Tetapi hati yang tulus dan penuh harapan
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr