Puncta 21.08.20 / PW. St. Pius X, Paus / Matius 22”34-40

 

“Paling Benar Sendiri”

PRESIDEN Jokowi berpidato di dalam sidang tahunan MPR/DPR/DPD tanggal 14 Agustus 2020 di Jakarta. Presiden antara lain berkata,

“Demokrasi memang menjamin kebebasan, namun kebebasan yang menghargai hak orang lain. Jangan ada yang merasa paling benar sendiri, dan yang lain dipersalahkan. Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri. Semua yang merasa paling benar sendiri dan memaksakan kehendak, itu hal yang biasanya tidak benar.”

Para hadirin kemudian bertepuk tangan. Entah apa mereka tahu, mereka bertepuk tangan untuk hal yang mana.

Dalam Injil hari ini seorang Saduki mengajukan pertanyaan untuk mencobai Yesus. Dia bertanya, “Guru, hukum manakah yang terbesar dalam hukum Taurat?”

Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang utama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Kedua hukum itu kalau dibuat garis menjadi vertikal dan horisontal. Itu berarti gambar salib. Vertikal itu adalah relasi manusia dengan Allah, garis ke atas. “Kasihilah Tuhan Allahmu…..”

Garis horisontal adalah relasi antar sesama manusia, garis menyamping. “”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama itu harus seimbang. Tidak boleh berat sebelah.

Kalau berat sebelah, apa yang dikatakan Presiden Jokowi itu adalah peringatan. “Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri. Agama itu garis vertikal yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Pancasila itu garis horisontal yang berisi tentang relasi antar manusia; kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”

Orang beragama sering merasa paling benar sendiri dan memaksakan kehendak. Jokowi bilang, “Semua yang merasa paling benar sendiri dan memaksakan kehendak, itu hal yang biasanya tidak benar.”

Melihat gambar kotak-kotak dan garis-garis di logo peringatan kemerdekaan ke 75 saja sudah paranoid, dianggap gambar salib. Kalau begitu jangan lewat perempatan jalan, buatlah bundaran saja biar tidak melewati salib.

Jangan takut mencintai sesama, juga yang berbeda keyakinan. Karena mencintai sesama itu juga sama dengan mengasihi Tuhan. Yesus berkata, “Hukum kedua, yang sama dengan itu.” Berarti hukum kedua, mengasihi sesama kita sama dengan mengasihi Tuhan, yakni hukum pertama tadi.

Mau tidak mau, suka tidak suka, anda akan selalu ketemu garis vertikal-horisontal. Kalau tidak, hidup anda hanya akan berputar-putar saja, tidak pernah sampai tujuan.

Dekat Tugu namanya Pasar Kembang.
Tempat orang berjualan aneka bunga.
Hiduplah dalam keadaan seimbang,
Mengasihi Tuhan juga mengasihi sesama.

Cawas, menyiram bunga….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.08.20 / PW. St. Bernardus, Abas dan Pujangga Gereja / Matius 22:1-14

 

“Undangan Pesta”

KETIKA bertugas di Nanga Tayap, beberapa kali saya mendapat undangan pernikahan dari orang tak dikenal. Undangan itu nampaknya disebar untuk umum. Karena pernah juga saya mendapat undangan supitan atau akikoh dari tetangga orang melayu.

Siapa pun diundang. Tidak peduli kita kenal dengan yang mengundang atau tidak. Ketika saya datang di pesta itu, rasanya kikuk juga karena saya tidak mengenal mereka, juga para undangan yang lain. Tidak nyaman juga rasanya.

Saya ngobrol sebentar dengan tuan rumah, setelah memasukkan amplop sumbangan lalu menyalami tuan rumah, langsung pulang. Mereka lalu “rasan-rasan”, bapak pastor itu suka kondangan juga. Pernah juga saya disapa, “Bapak Pastor mana istrinya kok sendirian saja.”

Hari ini Yesus memberi perumpamaan kepada para imam kepala dan pemuka rakyat. “Hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya.”

Mereka yang diundang tidak mau datang. Mereka tidak mengindahkannya. Ada yang pergi ke ladang. Ada yang pergi mengurus usahanya. Bahkan ada yang menangkap, menyiksa dan membunuh hamba-hamba itu.

Karena tidak ada yang datang, maka hamba-hamba itu diminta mengumpulkan siapa pun yang dijumpai di jalan-jalan. Orang jahat dan orang baik dimasukkan ke dalam perjamuan pesta.

Tentu saja ada orang yang tidak siap berbaju pesta. Maka orang itu dicampakkan keluar. Yesus berkata, “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.”

Dalam sebuah pesta, kita tidak boleh datang asal datang. Kita mesti menyesuaikan dresscode yang dipakai. Baju pesta berbeda dengan baju melayat atau berkabung. Jangan sampai kita saltum alias salah kostum.

Kita mesti menyesuaikan aturan yang dibuat oleh orang yang mengundang pesta. Ada standing party, “piring terbang”. Ada pesta dengan aturan dan tata adat yang ketat.

Kalau tidak bisa menyesuaikan, kita akan bermasalah. Tuan yang empunya pesta itu mengusir orang yang datang tidak menyesuaikan baju pesta.

Tuhan itu murah hati, mengundang siapa pun juga. Tetapi kita mesti berusaha menyesuaikan kehendak-Nya.

Kalau kita mau ikut masuk ke dalam pesta perjamuan-Nya, kita harus mau mengikuti sang empunya pesta. Tuhan itu baik, tapi kita mesti juga tahu diri.

Pesta meriah dengan tari begendang.
Semua ikut berputar menari-nari.
Tuhan itu baik, kita semua diundang.
Namun kita harus bisa menyesuaikan diri.

Cawas, skenario kedua….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 19.08.20 / Matius 20:1-16 / Murah Hati

 

SEORANG pemuda duduk di gereja untuk mengikuti misa. Pada waktu kotak kolekte diedarkan, ia mengambil dompet dari sakunya. Ia memasukkan ke kotak kolekte selembar duaribuan.

Tiba-tiba seorang bapak yang duduk di belakangnya, menepuk pundaknya. Ia memberikan lembaran seratus ribu kepada pemuda itu. Pemuda itu tersenyum dan memasukkan uang seratus ribu itu ke kotak kolekte.

Ia kagum pada bapak yang sangat murah hari itu. Pada waktu salam damai, bapak yang di belakang itu mengucapkan salam damai sambil berbisik, “Nak, uang yang seratus ribu tadi jatuh dari saku celanamu.”

Yesus memberi perumpamaan tentang pekerja kebun anggur yang diupah sedinar sehari. Rombongan pertama mulai bekerja pukul sembilan. Rombongan berikut mulai bekerja pukul duabelas dan tiga sore.

Masih ada rombongan terakhir yang mulai bekerja pukul lima sore. Ketika hari sudah malam, mereka semua menerima upah yang sama yakni satu dinar.

Bersungut-sungutlah mereka yang bekerja lebih awal dan lama. Mereka mengira akan mendapat upah lebih banyak daripada yang datang terakhir.

Tetapi Tuan itu berkata, “Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadapmu. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah. Aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah Aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau karena aku murah hati?”

Tuan itu murah hati. Logika kita, pekerja pertama akan memperoleh lebih banyak daripada pekerja terakhir yang hanya bekerja satu jam saja. Manusia murah hati untuk dirinya, tetapi untuk orang lain tidak.

Seperti pemuda tadi, hitung-hitung dulu untuk kolekte. Murah hati itu memberikan lebih daripada apa yang diwajibkan. Kesepakatannya adalah sedinar sehari. Tuan itu telah melakukan kewajibannya. Ia bermurah hati kepada pekerja lain yang datang terakhir pada jam lima sore.

Allah itu juga murah hati. Iri hati malah membuat kita tidak bersyukur. Iri hati membuat kita membanding-bandingkan dengan orang lain. Lalu menuduh Allah tidak adil memperlakukan kita.

Allah itu maha kuasa. Ia mempunyai kebebasan mutlak. Semestinya kita bersyukur dan berterimakasih karena kita diberi hidup. Mari kita mohon agar dijauhkan dari sikap iri hati.

Bekasi tidak terlalu jauh dari Jakarta.
Bisa ditempuh sekali jalan dengan kereta.
Iri hati munutup kebaikan terhadap sesama.
Bersyukur akan membuat hati lebih bahagia.

Cawas, nyepeda yuk…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 18.08.20 / Matius 19:23-30 / Cara Menangkap Monyet

 

PENDUDUK Afrika mempunyai cara sederhana menangkap monyet. Mereka memasang botol dengan leher panjang dan sempit dan ditanam di dalam tanah. Di dalam botol itu ditaruh kacang kegemaran para monyet.

Mereka memasang pada sore hari. Esoknya mereka menemukan monyet terjebak yang tangangnya tidak bisa lepas dari botol itu. Kenapa?
Ketika mencium aroma kacang, tangan monyet masuk ke leher botol yang sempit.

Ia menemukan kacang dan menggenggamnya. Karena tangan menggenggam kacang maka dia tidak bisa lepas dari botol itu dan terjebak “kethap-kethip” sepanjang malam. Ia ditangkap dan tidak selamat.

Dalam bacaan Injil hari ini Yesus berkata, “Sungguh, sukar sekali bagi orang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor untuk masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Surga.” Ini adalah gaya sastra peribahasa. Kita perlu mengerti konteks pemukiman atau kota pada zaman Yesus.

Kota zaman dulu dikelilingi oleh benteng. (Ingat di Kraton Yogya ada “Pojok Beteng Kulon” dan “Pojok Beteng Wetan”). Ini bentuk strategi perang untuk melindungi diri dari musuh.

Selain ada gapura utama, benteng itu juga ada jalan kecil yang hanya bisa dilewati oleh satu orang, seekor unta atau keledai.

Beban atau barang yang dibawa unta harus diturunkan dahulu supaya dia bisa masuk ke kota. Jalan kecil itu disebut “lubang jarum.” Unta akan mudah masuk lubang jarum jika bawaannya dilepaskan.

Sama seperti monyet yang tidak bisa mengeluarkan tangannya karena ia tidak mau melepaskan kacang yang ada dalam genggamannya.

Begitu juga kita tidak akan selamat dan masuk ke dalam Kerajaan Surga kalau kita masih menggenggam dosa-dosa kita; kebencian, irihati, dengki, sakit hati, kesombongan, “jahil methakil, dahwen panasten”, serakah, egois.

Selain itu, kita juga diingatkan bahwa harta kekayaan itu tidak akan dibawa mati. Harta itu seumpama beban yang harus dilepaskan dari punggung unta agar bisa masuk ke dalam kota.

Kekayaan juga harus ditinggal supaya kita masuk ke dalam Kerajaan Surga. Bukan harta melimpah, tetapi kebaikanlah yang kita bawa masuk ke hidup abadi. Semakin harta banyak semakin sulit masuk ke lubang jarum.

Menyeberang di bundaran.
Menuju ke Stasiun Tugu.
Taburkanlah kebaikan.
Maka pintu surga dibuka untukmu.

Cawas, tak jadi ke barat…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 17.08.20 / HR. Kemerdekaan Republik Indonesia / Matius 22:15-21

 

“Berikan Kepada Kaisar”

“SEBUTKAN nama-nama pahlawan dan asalnya.” Bu guru memberi perintah lewat pelajaran daring kepada murid-muridnya. Mereka menjawab lewat HP mereka; Cut Nyak Dien dari Aceh. Imam Bonjol dari Padang. Raden Inten dari Lampung. Dewi Sartika dari Jawa Barat. Agustinus Adisucipto dari Yogyakarta. Basuki Rahmat dari Jawa Timur. I Gusti Ngurah Rai dari Bali. Rahadi Oesman dari Ketapang. Cilik Riwut dari Palangkaraya. Martha Christina Tiahahu dari Maluku. Mayor John Lie atau Lie Tjeng Tjoan dari Sulawesi Utara. Robert Walter Monginsidi dari Sulawesi Selatan. Marthen Indey dari Papua.

Bu guru dengan bijak menyimpulkan jawaban mereka. Rumah kita Indonesia ini dibangun atas darah para pahlawan dari berbagai suku, agama dan daerah. Indonesia adalah rumah bersama, bukan rumah satu golongan.

Kita harus membangun bersama dalam keberagaman. Ada Aceh, Bugis, Minangkabau, Dayak, Jawa, Papua, Flores, Bali. Ada Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kepercayaan dan Kristen. Semua menyumbangkan darahnya untuk Indonesia.

Hari ini adalah hari kemerdekaan Indonesia. Bacaan Injil berbicara tentang membayar pajak kepada kaisar. Orang Farisi mencobai Yesus dengan bertanya, “Bolehkah membayar pajak kepada kaisar atau tidak?”

Yesus memberi jawaban jitu. “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”

Apa yang wajib diberikan kepada negara, tidak bertentangan dengan perintah agama. Menghormati negara bisa menjadi perwujudan mengasihi Allah. Pada peringatan kemerdekaan Indonesia ini kita bisa merenungkan sejauhmana kewajiban negara itu kita tunaikan.

Ada orang Katolik yang tidak mau terjun di tengah masyarakat. Mereka tidak mau ikut ronda, iuran kampung, srawung atau muncul di acara-acara kampung. Hal-hal kongkret seperti itulah yang harus kita berikan kepada “kaisar.”

Semua orang dari berbagai kalangan bisa menyumbangkan apa pun untuk Indonesia. Tantangan kita bersama adalah membangun kerukunan dan persatuan.

Rumah bersama ini perlu dijaga. Mari kita sumbangkan dan kembangkan budaya rukun hidup bertetangga, berbangsa dan bernegara.

Rukun agawe santosa,
Crah agawe bubrah.
Merdeka….
Merdeka….
Merdeka….

Cawas, hormat senjata….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr