by editor | Sep 26, 2020 | Renungan
SALAH satu ciri seorang pemimpin adalah mampu berpikir jauh ke depan. Ia dapat memprediksi apa yang akan terjadi kemudian berdasarkan fenomena dan gejala-gejala yang terjadi sekarang. Orang Jawa bilang, “Ngerti sadurunge winarah.” Ia mampu melihat tanda-tanda zaman. Arah pandangannya adalah ke depan. Ia mempunyai visi yang jauh melampaui perkiraan orang lain.
Saya jadi ingat debat capres dalam pilpres beberapa waktu lalu. Dalam sesi tanya jawab antar calon. Calon nomer satu bertanya kepada paslon nomer dua. “Jika bapak memimpin, strategi apa yang akan dibuat untuk peningkatan unicorn?”
“Unicorn? Apa yang dimaksud Unicorn,” dia malah balik bertanya. “Apa itu unicorn, yang online-online itu?” Kelihatan sekali dari gesturenya bahwa paslon ini gugup dan bingung ditanya tentang unicorn. Jawaban yang keluar sangat menggemaskan.
Orang yang bertanya itu jelas mengetahui persoalan di masa depan. Dari pertanyaan itu, jelas bahwa masa depan akan dipengaruhi oleh munculnya teknologi digital dan ini adalah dunianya kaum milenial. Oleh Jokowi, kaum muda milenial ini digandeng untuk menuju Indonesia masa depan. Ia berpikir dengan visi ke depan. “Ngerti sadurunge winarah.” Orang yang tidak punya visi hanya “plonga-plongo”
Yesus adalah pemimpin dengan visi ke depan. Semua orang heran karena segala yang dilakukan Yesus. Ia berkata kepada murid-murid-Nya, “Dengarkan dan camkanlah segala perkataan-Ku ini: Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.”
Yesus berbicara tentang masa depan-Nya. Ia tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia berpikir jauh melampuai pengertian para murid-Nya. Dikatakan, “mereka tidak mengerti perkataan itu, sebab artinya tersembunyi bagi mereka, sehingga mereka tidak dapat memahaminya.”
Yesus tahu bagaimana masa depan yang akan dihadapi-Nya. Ia akan ditolak oleh para tua-tua, imam kepala dan ahli Taurat. Karena perutusan-Nya ini, Ia harus menanggung sengsara, wafat dan bangkit pada hari ketiga. Sebagai pemimpin, Yesus “ngerti sadurunge winarah”. Ia bertindak berdasarkan visi ke depan. Mari kita meneladan visi Yesus.
Jalan-jalan sehat di pagi hari.
Sampai keringat jatuh bercucuran.
Jadilah manusia yang punya visi.
Masa depan pasti ada di genggaman.
Cawas, cross over the sea…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 24, 2020 | Renungan
SAYA sering melihat ibu-ibu memilih duduk di depan pintu atau di kursi belakang jika mengikuti doa lingkungan, misa atau latihan koor. Kita sering melarang mereka dengan berkata, “Jangan duduk di depan pintu” atau “Jangan duduk di belakang.”
Kendati dilarang tetap saja hal itu dilakukan kembali. Selain menghalangi orang yang akan masuk, juga membuat orang enggan duduk di depan. Mereka beralasan pengin mendapat udara segar, pengin cepat pulang atau takut nanti ditanya macam-macam oleh romo dan aneka alasan lain.
Dalam pola pendampingan modern, para orangtua diharap menghindari kata “Jangan”, karena berkesan negatif. Anak sering tidak peduli dengan larangan itu. Yang diingat justru hal yang dilarang seperti; “duduk di pintu”, “pergi”, “main-main”, bukan perintah “jangan”.
Beberapa alasan mengapa kata “jangan” perlu dihindari untuk melarang anak: Pertama, hal itu menghambat kesenangan anak. Larangan ini membuat si kecil jengkel dan marah. Kedua, menghambat kreativitas anak. Si kecil jadi terhalang untuk mengungkapkan hasratnya.
Ketiga, mempersempit pilihan. Ketika dilarang, si kecil hanya mengingat bahwa hal itu tidak boleh dilakukan. Maka dia tidak punya pilihan lain. Keempat, Tidak memberi solusi. Bu Tejo menasehati, “Jadi orang itu mbok yang solutif.” Kalimat larangan, “Jangan berhujan-hujan ya,” tidak memberi solusi. Berbeda dengan ajakan, “Yuk kita main di dalam rumah saja biar tidak sakit.”
Yesus bertanya kepada para murid-Nya, “Kata orang banyak siapakah Aku ini?” Mereka langsung menjawab dengan mudah. Orang banyak mengira Yohanes Pembaptis, Elia atau salah seorang nabi zaman dulu hidup kembali.
Yesus bertanya kepada mereka, “Menurut kalian, siapakah Aku ini?” Petrus menjawab, “Engkaulah Kristus dari Allah.” Dengan keras Yesus melarang mereka memberitakan hal itu kepada siapapun. Yesus tidak berkata “Jangan bilang-bilang begitu.” Nanti kalau dibilang “Jangan”, para murid malah akan mengatakan apa yang dilarang.
Yesus menjelaskan alasan mengapa melarang mereka. Paham tentang Mesias atau Kristus yang diyakini Petrus dan teman-temannya bisa keliru, belum seutuhnya tepat.
Ia memberitahu paham Kristus yang sebenarnya. “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh para tua-tua, oleh para imam kepala dan para ahli Taurat, lalu dibunuh, dan dibangkitkan pada hari ketiga.
Yesus melarang tetapi dengan memberi alasan yang benar. Para murid diajak berpikir dan memahami siapa Mesias sesungguhnya. Mari kita menyempurnakan iman kita terus menerus.
Superman tidak bisa terbang.
Karena dia lupa pakai celana.
Kalau anak-anak banyak dilarang.
Sering malah ingin melanggarnya.
Cawas, mirip cerita Conan….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 24, 2020 | Renungan
KEMUNCULAN Basuki Tjahaya Purnama (BTP) dalam dunia politik mengharu biru gelanggang perpolitikan Indonesia. Dia dinilai jujur, bersih, profesional, tegas dan integritasnya tinggi. Tetapi justru itulah yang tidak disukai oleh orang-orang yang anti perubahan.
Orang-orang yang suka kemapanan dan terlalu nikmat menggerogoti pundi-pundi rakyat. Ia membuat clean goverment di DKI. Transparansi anggaran dilakukan. Sampai-sampai ia diteriaki anjing oleh lawan politiknya.
Dengan enteng dia menjawab, “Ya, saya anjing penjaga harta rakyat dari maling-maling curang.” Ia disamakan dengan Ali Sadikin, Gubernur yang berhasil membangun Jakarta. Semangat Bang Ali muncul lagi dalam diri BTP.
Kita semua tahu para lawan yang ingin menjatuhkan dia maju ke pilkada. Dengan segala macam cara ditempuh. Yang penting orang ini harus jatuh.
Ketika dia dipilih untuk jabatan Komisaris Utama di Pertamina, juga ada demo menolaknya. Dia juga diusulkan menjadi kepala Badan Otorita Ibukota Negara yang baru. Ada saja kelompok yang tidak suka.
Kelompok-kelompok ini adalah kelompok anti perubahan, mereka adalah orang-orang yang tidak ingin Indonesia menjadi lebih baik. Mereka sangat sulit untuk menerima perubahan, karena bagi mereka, setiap perubahan mempersempit ruang gerak kenakalan mereka, dalam menggerogoti negara ini. Mereka ini tergolong kelompok yang mencari kekayaan dari kelemahan berbagai sistem penyelenggaraan negara.
Kemunculan Yesus di tengah masyarakat menjadi kekawatiran banyak pihak. Para ahli Kitab, pemegang otoritas keagamaan Yahudi. Kaum Farisi, kelompok birokrat penjaga hukum adat istiadat di masyarakat. Herodes raja wilayah Galilea yang menjadi penguasa negeri.
Kehadiran Yesus disambut rakyat dengan penuh harapan. Mereka percaya bahwa Yesus adalah nabi yang diutus Allah sebagaimana Elia dan nabi-nabi zaman dahulu. Ada yang menyebut Dia sebagai Yohanes Pembaptis yang telah bangkit. Rakyat banyak yang percaya kepada Yesus. Ini menjadi kekawatiran bagi penguasa dan kelompok pro kemapanan.
Tidak terkecuali Raja Herodes, ia merasa was-was atas kemunculan Yesus. Ia yakin bahwa Yohanes telah mati. “Yohanes telah kupenggal kepalanya. Siapakah gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan hal-hal besar itu?”
Orang-orang mapan takut pada orang atau hal baru yang membawa perubahan. Hal itu akan merongrong kekuasaan dan kedudukannya. Mereka yang punya kepentingan akan bersekongkol. Ahli-ahli kitab, kaum Farisi bersekutu dengan Herodes untuk menyingkirkan Yesus. Perubahan adalah ancaman bagi mereka.
Mana yang akan kita pilih? Menjadi bangsa maju dengan pemimpin yang punya integritas, jujur, profesional, bersih dan tegas atau dipimpin oleh Herodes yang bersekongkol dengan kaum Farisi dan ahli kitab?
Menanam singkong di tanah yang gembur.
Disirami tiap minggu secara teratur.
Berbahagialah jika punya pimpinan yang jujur.
Rakyatnya sejahtera adil dan makmur.
Cawas, tugas menanti…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 22, 2020 | Renungan
“Penderitaan Padre Pio”
DALAM kehidupannya Padre Pio banyak mengalami penderitaan. Bukan hanya derita fisik karena luka-luka stigmata di sekujur tubuhnya, tetapi lebih-lebih derita batin yang harus diterimanya.
Banyak imam-imam iri hati melihat aneka rahmat yang diterimanya. Pengalaman yang paling menyakitkan adalah perlakuan keras yang diterimanya dari otoritas gereja.
Uskup Manfredonia menyatakan bahwa Padre Pio melakukan penipuan dan melarang segala aktivitas gerejani. Bahkan Tahta Suci pun melarang Padre Pio merayakan ekaristi bersama umat. Dengan rendah hati dan taat Padre Pio menerima semua perlakuan itu.
Baru pada masa Paus Paulus VI, Padre Pio boleh melakukan pelayanan liturgis kembali sampai akhir hayatnya tanggal 23 September 1968.
Di Biara Giovanni Rotondo tempat Padre Pio tinggal ada catatan 500.000 peristiwa rahmat kesembuhan yang diterima orang, 500 lebih didukung oleh catatan medis. Padre Pio adalah seorang pendoa, mistikus, suka mati raga dan puasa. Ia mampu melihat roh, setan dan malaikat.
Namun ia menyadari diri sebagai pendosa yang tidak pantas di hadapan Allah. Ia hanyalah alat Tuhan untuk menyapa dan mempertobatkan manusia.
Paus Benediktus XVI berkata, “Padre Pio sungguh-sungguh seorang yang berjiwa besar. Ia adalah salah satu dari orang-orang yang luar biasa yang diutus Allah ke dunia untuk mempertobatkan manusia.” Ia digelari santo oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 16 Juni 2002 di Vatikan.
Yesus mengutus keduabelas murid-Nya, lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka untuk menguasai setan-setan dan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit. Kita tidak bisa seperti Padre Pio yang mampu melihat malaikat dan mengusir setan. Tetapi kita bisa meniru teladannya yang sabar, rendah hati dan taat menerima semua penderitaan.
Kita masing-masing pernah mengalami penderitaan. Dan kita bisa meniru cara Padre Pio menghadapi penderitaan, bukan hanya fisik tetapi juga psikis. Bagaimana ia ditolak, dan disingkirkan oleh teman maupun atasan.
Yesus berkata kepada murid-Nya, “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan.” Hal itu dihayati oleh Padre Pio dengan setia. Ia hanya mengandalkan kuasa Allah saja. Dilarang misa, dia bisa. Dilarang melayani umat, dia taat. Dilarang melayani pengakuan, dia jalan. Hanya boleh misa pribadi, dia jalani.
Sebagai seorang imam, misa adalah bekal atau tongkat dalam bekerja. Seperti petani harus punya cangkul. Tanpa cangkul di tangan, petani tak mungkin bekerja. Kuasa atau iurisdiksi untuk melayani ditarik oleh pimpinannya. Ia hanya taat dan tunduk dengan rendah hati.
“Jangan membawa apa-apa” itu artinya hanya mengandalkan Tuhan semata. Dibutuhkan kerendahan hati tanpa syarat. Kerendahan hati dan ketaatan total seperti Padre Pio itulah yang bisa kita teladani bagi hidup kita sekarang.
Beli kacamata biru di toko.
Dipakainya pada malam hari.
Teladan suci Padre Pio.
Taat setia dan rendah hati.
Cawas, menanam pohung di kebun kita…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 21, 2020 | Renungan
Roberto Malgesini adalah imam Katolik keuskupan Como, dekat Milan. Ia setiap hari memberi makan kepada orang-orang miskin dan imigran di kota Como. Kebiasaan ini sudah berlangsung selama sepuluh tahun. Ia berkeliling dengan tas ransel penuh dengan bungkusan makanan bagi para gelandangan.
Imigran dari berbagai negara Afrika Utara dan Eropa Timur dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda membanjiri Italia. Pastor berusia 51 tahun ini menolong mereka. Pagi hari ia berkeliling ke sudut-sudut jalan, alun-alun kota untuk membagi makanan. Sore hari ia membagikan baju hangat dan selimut.
Tanggal 15 September 2020 saat dia sedang membagikan makanan di Piazza Sant Rocco, tiba-tiba ia ditusuk bertubi-tubi oleh seorang imigran yang selalu ditolongnya. Ia wafat dalam pelayanan kasih. Ia dimakamkan hari sabtu, 19 September kemarin.
Kematian Don Roberto menyatukan umat Katolik dan Muslim di Italia. Mereka sangat kehilangan seorang pastor yang melayani orang miskin dan imigran tanpa membedakan agama, etnis, bangsa dan kebudayaan.
Seorang imigran di Piazza Sant Rocco mengatakan, “Kami sangat kehilangan dia. Don Roberto sudah seperti bapa kami di Piazza ini.”
Paus Fransiskus mengatakan, “Saya berdukacita atas wafatnya Don Roberto. Saya bersyukur atas teladannya, yaitu kemartirannya. Ia adalah saksi cinta pada kaum termiskin. Mari kita berdoa bagi Don Roberto Malgesini dan semua…yang melayani kaum papa.”
Wafatnya Don Roberto memang tragis, tetapi penuh makna di tengah maraknya kebencian atas nama etnis dan agama. Ia mengasihi tanpa membeda-bedakan. Ia memberi tanpa pamrih. Ia menjadi cahaya di tengah dunia yang dipenuhi ujaran kebencian.
Benarlah sabda Yesus hari ini, ”Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka yang mendengarkan sabda Allah dan melaksanakannya.” Don Roberto menghayati imannya kepada Yesus. Ia melaksanakan sabda Yesus untuk mencintai orang miskin. Ia mencintai orang-orang kecil, menderita dan tersingkir yakni para imigran.
Kasih yang diajarkan Yesus mengatasi kasih persaudaraan. Kasih untuk semua insan manusia tanpa membeda-bedakan.
Terimakasih Don Roberto, engkau telah menjadi teladan bagi kami, bagaimana menterjemahkan kasih Yesus kepada orang-orang kecil, miskin dan tersingkir. Kasihmu melampaui batas-batas agama, etnis, suku, bangsa dan budaya. Semoga engkau bahagia di Surga bersama Kristus, junjungan kita.
Masker baru ukuran jumbo.
Bisa dipakai untuk berdua.
Terimakasih Don Roberto.
Kasihmu tulus untuk sesama.
Cawas, pameran masker
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr