by editor | Dec 26, 2020 | Renungan
“Merayakan Kemartiran”
KELAHIRAN dan kematian itu hanya beda tipis banget, seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Kemarin kita baru saja bersuka ria merayakan kelahiran Sang Juru selamat. Dengan penuh kegembiraan kita merayakan kedatangan bayi Yesus.
Semua orang pasti sangat bersukacita dengan kelahiran seorang anak di tengah keluarga. Semua saudara datang untuk berbagi kegembiraan. Lahirnya seorang anak membawa harapan dan sukacita.
Belum habis kegembiraan kita, hari ini kita merayakan kemartiran Santo Stefanus. Kematian memang sebuah kenyataan yang menyedihkan. Tetapi orang beriman percaya bahwa kematian adalah awal kehidupan dalam Tuhan. Kematian adalah awal kehidupan baru.
Dalam Doa Syukur Agung dikatakan bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan; bahwa suatu kediaman abadi telah tersedia bagi kami di surga bila pengembaraan kami di dunia ini berakhir.
Kalau kita bersukacita atas kelahiran, mengapa kita harus bersedih menghadapi kematian? Kemartiran Santo Stefanus membuat kita bisa merayakan kematian. Mengapa bisa demikian? Karena dia mengikuti atau meneladani Yesus yang mati di salib.
Stefanus mati karena iman. Ia dibawa ke pengadilan dan disana dia bersaksi tentang kebangkitan Yesus. Orang-orang tidak menerima kesaksiannya dan menyeretnya ke luar kota. Dia dirajam. Namun Stefanus justru mendoakan mereka dan menyerahkan nyawanya kepada Tuhan. Ia mengikuti bagaimana Yesus mati di kayu salib.
Jika hidup kita mampu meneladan cara hidup Yesus, bahkan sampai kematian-Nya, maka kematian itu bukan sesuatu yang harus diratapi, tetapi justru dirayakan. Karena dengan demikian, kita telah lahir kembali sebagai anak-anak Allah.
Mari kita meneladan martir Stefanus, berani mengikuti jalan Tuhan.
Pergi ke ladang untuk memetik anggur.
Dikumpulkan di keranjang seikat demi seikat.
Santo Stefanus membuat iman gereja menjadi subur.
Dia membela iman sampai akhir hayat.
Cawas, tetap semangat…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 24, 2020 | Renungan
“Menangkal Berita Hoax; Belajar dari Para Gembala dan Maria”
BERITA palsu atau Hoax bertebaran di media sosial berupa tulisan,foto atau video. Semua orang selalu punya rasa ingin cepat-cepat tahu berita penting. Entah itu berita palsu atau benar. Orang merasa paling hebat kalau bisa menjadi sumber berita pertama.
Para psikolog sepakat bahwa berita hoax berdampak pada kesehatan mental seperti post traumatic stress syndrome (PSTD). Dampaknya seperti timbul kecemasan, ketakutan, rasa kawatir berlebihan sampai pada tindak kekerasan. Kadang orang harus menjalani terapi penyembuhan karena terpengaruh dampak buruk tadi.
Orang yang tidak berusaha mengkonfirmasi atau mencari tahu sumber berita menunjukkan gejala fisik dan mental yang kurang sehat. Orang yang tidak gemar cari tahu kebenaran berita biasanya punya respons yang tidak baik, menutup diri dan negatif thinking. Kemudian muncul stress dan detak jantung tidak normal.
Bagaimana cara menghindari berita hoax? Pertama, harus curiga dari mana sumber berita. Apakah sumber berita dapat dipercaya? Kedua, belajar menilai berita, apakah berita itu masuk akal? Ketiga, periksa kapan berita itu muncul? Kadang terjadi berita kadaluwarsa dirilis lagi untuk memprovokasi suasana. Keempat, tanya pada ahlinya. Datang langsung kepada sumber pertama atau tanya pada ahli yang tahu masalahnya.
Setelah mendengar berita tentang kelahiran penyelamat dunia, para gembala langsung pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana. Mereka mencari tahu sumber peristiwanya di Betlehem. Mereka datang langsung dimana peristiwa itu terjadi.
Ketika mereka berjumpa dengan Maria, Yusuf dan Yesus yang terbaring di dalam palungan, mereka bersukacita dan percaya, karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat; semuanya sesuai dengan apa yang dikatakan kepada mereka. Ini bukan hoax tetapi kenyataan. Pinter kan gembala-gembala itu?
Dari Maria, kita belajar untuk tidak cepat-cepat menyebarkan berita, seandainya pun berita itu menguntungkan atau mengembirakan. Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hati dan merenungkannya. Maria tidak tergoda untuk segera menyebarkan berita kepada orang lain.
Kadang jari kita ini gatal kalau ada berita baru pengin cepat-cepat memencet tombol HP. Lihatlah Maria yang bijaksana itu.
Tak ada lagi Nokia atau Blackberry.
Semua pegang smartphone dengan 4G.
Dari Maria kita belajar menguasai diri.
Tidak mudah “baper” dan terprovokasi.
Cawas, sederhana tapi gembira….
Rm.Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 24, 2020 | Renungan
“Tidak Ada Tempat Bagi Mereka”
AWAL Desember kemarin Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo , yang biasa disapa Pak Rudy mengatakan rumah sakit di Solo sudah penuh untuk menampung pasien covid. Rudy mengusulkan agar membuka Asrama Haji Donohudan untuk berjaga-jaga melonjaknya pasien covid. Jika perlu Solo Techno Park bisa dipakai.
Banyak rumah sakit sudah tidak mampu lagi menerima rujukan pasien covid karena keterbatasan tempat. Maka pemda-pemda menyiapkan opsi-opsi lain untuk menampung pasien yang sakit. Bahkan ada yang membikin tenda-tenda darurat di luar rumah sakit supaya bisa menolong para penderita.
Menurut Rudy, karantina mandiri di rumah tidak bisa memutus penularan covid karena mereka masih berinteraksi dengan keluarga.
Tidak ada tempat lagi bagi mereka, karena penyebaran covid belum selesai. Sementara banyak rumah sakit sudah penuh. Harus dicari cara bagaimana para pasien baru dapat ditampung dan ditolong.
Maria dan Yusuf mengalami hal serupa. Mereka mencari tempat untuk melahirkan bayinya. Tetapi mereka ditolak. Tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Maria melahirkan anaknya di kandang. Bayi Yesus itu dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan.
Kelahiran Yesus ini mau menunjukkan solidaritas Allah kepada manusia. Seperti para pasien covid yang ditolak karena sudah tidak ada tempat lagi di rumah sakit. Begitu pula Yesus ditolak karena tidak ada tempat di rumah penginapan.
Allah berbelarasa dengan mereka yang paling menderita. Allah turut serta mengalami penderitaan manusia yang ditolak. Allah ikut merasakan kesedihan, penolakan, keterbatasan, kemiskinan kita.
Dalam diri saudara-saudara yang menderita itulah kita melihat Yesus yang lahir di tengah-tengah kita.
Memperingati Natal berarti merayakan solidaritas atau belarasa Allah kepada manusia. Perayaan Natal tidak boleh berhenti pada upacara liturgis.
Natal yang sesungguhnya adalah ketika kita mau berbelarasa dengan mereka yang menderita. Kita mau peduli dengan penderitaan sesama.
Di masa pandemi ini, mari kita bangun kepedulian terhadap mereka yang menderita. Allah disebut Emanuel karena Ia beserta kita, khususnya yang menderita. Mari kita peduli, mari berbelarasa.
Berlayar jauh di atas kapal.
Menuju ke Pulau Dewata.
Selamat Hari Raya Natal.
Emanuel,Tuhan beserta kita.
Cawas, Natalmu… Natalku… Natal kita
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 23, 2020 | Renungan
It’s hard to be away from the one you love. And the day seemed slowly drifting by.
But my darling I’d be home in your arms were I belong
So I’m sending you this poem from my heart.
Dream of me when you’re lonely. Dream of me when you’re sad
‘Cause darling I want you only. You’re the nicest, nicest love I’ve ever had.
Lagu Mac & Katty Kisson itu dinyanyikan oleh tapol di barak Savana Jaya dengan gitar tuanya. Lagu itu menggambarkan kerinduannya kepada keluarga, rumah dan sanak-saudaranya di Jawa yang telah ditinggalkan puluhan tahun. Ia bersama ribuan orang ditangkap dan dibuang di Pulau Buru pada akhir 1969. Mereka dituduh tanpa diadili sebelumnya. Mereka dianggap ikut terlibat dalam kudeta partai terlarang tahun 1965.
Penyiksaan dan penderitaan baik fisik maupun mental mereka alami di barak-barak penahanan. Kerja paksa membangun bendungan, jalan, membuka hutan belantara menjadi ladang dan persawahan mereka kerjakan tiap hari. Ada banyak yang mati di pulau pembuangan itu.
Rindu akan pembebasan itulah yang mereka jalani. Rindu menjadi manusia merdeka tanpa embel-embel yang membelunggu. Cap dan stigmatisasi sebagai ET adalah penjara seumur hidup. Mereka seperti orang kusta yang dijauhi masyarakat.
Tanggal 15 November 1978 para tapol ini dikumpulkan di lapangan Desa Savana Jaya. Ada pengumuman bahwa mereka dibebaskan dari tahanan. Kebebasan itu ternyata tidak semudah yang dihadapi.
Kembali dari keterasingan ke bumi beradab. Ternyata lebih menyakitkan dari derita panjang. Itulah yang disuarakan Ebiet G Ade dalam lagu “Kalian Dengarkan Keluhanku.”
Mimpi tentang kebebasan itu hanya mereka simpan sendiri. Mereka hanya berharap suatu saat nanti akan ada pembersihan diri dan pemulihan nama baik. Mereka seperti burung di dalam sangkar yang ingin dibebaskan. Terbang merdeka melintasi langit biru. Bebas menjadi manusia merdeka, keluar dari belenggu itulah mimpinya.
Suasana pembebasan itulah yang nampak dari kidung Zakharia. Allah telah datang mengunjungi dan membebaskan umat-Nya dari belenggu dosa. Allah melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua lawan yang membenci kita. Ia datang untuk menyinari kita yang diam dalam lembah kegelapan dan mengarahkan kita menuju damai sejahtera.
Yohanes datang untuk mempersiapkan Sang Juru Selamat yang membebaskan. Itulah kabar sukacita pada perayaan kelahiran Sang Kristus, Tuhan.
Mari kita bersukacita. Mari kita sambut kelahiran Sang Pembebas.
Ada mangkok-mangkok besar.
Tempat bakso rasa bawang.
Malaikat datang bawa kabar.
Juruselamat lahir bawa terang.
Cawas, semangkok…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 22, 2020 | Renungan
ROMEO pernah bertanya kepada Juliet kekasihnya, “Apalah arti sebuah nama?” Mawar akan tetap harum semerbak walaupun diberi nama yang lain. Nama seseorang menunjukkan karakter dan identitasnya. Bagi banyak orangtua, memberi nama kepada anak mengungkapkan doa dan harapan untuk masa depannya. Nama adalah cita-cita sekaligus doa orangtua.
Ada orangtua yang memberi nama anaknya dengan awalan huruf “A” . Dia berharap agar anaknya selalu berada di abjad terdepan. Misalnya; Alexander, Anton, Aditya, Anna, Agata, Anastasya. Dia ingin anaknya berani, tidak minder, berjiwa pemimpin, siap berada di depan.
Lain lagi orangtua yang memberi nama anaknya sesuai dengan pribadi-pribadi yang diidolakan. Misalnya; Messi, Ronaldo, Valentino Rosi atau Maradona. Bahkan ada seorang bapak yang terlanjur getol memuja penyanyi Dolly Parton, yang melantunkan lagu “You Are.” Ia menamai anaknya demikian kendati yang lahir adalah anak laki-laki. Sudah idola!!
Mungkin bapak itu ingin menumpahkan cita-cita dan harapan pada anaknya seperti dalam lirik lagu “You Are.” Namun untuk memudahkan dia mengingat lagunya, maka anaknya diberi nama seperti penyanyinya.
Arti sebuah nama anak memiliki maksud tersendiri. Hal tersebut akan berpengaruh pada kepribadian dan kehidupan yang dijalaninya. Secara psikologis, hal tersebut tidak hanya digunakan sebagai tanda pengenal saja, namun akan berpengaruh pada kepribadian dalam kehidupannya. Nama menjelaskan hakekat seseorang, identitas pribadi dan arti kehidupannya.
Yohanes berarti anugerah dari Tuhan. Anak itu tidak diberi nama Zakharia sebagaimana nama ayahnya, sesuai adat Yahudi waktu itu. Elisabet, ibunya berkata, “Jangan, ia harus dinamai Yohanes.” Semua orang heran dan tertegun karena tidak lazim memberi nama seperti itu. Mereka berkata, “Menjadi apakah anak ini nanti?” Yohanes menjadi anugerah dari Tuhan, bagi kedua orangtuanya dan juga bagi siapa pun yang menerima pewartaannya.
Nama memiliki arti bagi kehidupan seseorang. Apakah anda memahami arti nama anda? Apakah anda mulai memahami rencana Tuhan dalam nama anda itu?
Dolly Parton mendesah menyanyikan “You Are”.
Liriknya sangat bagus menyentuh di dada.
Tuhan pasti punya rencana dengan nama kita.
Nama adalah harapan dan cita-cita-Nya.
Cawas, jurus mangkok terbang…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr