by editor | Dec 2, 2020 | Renungan
SELAMA satu tahun biasanya ada tiga sampai empat kali kursus persiapan perkawinan di Paroki Tayap. Pesertanya bervariasi. Pernah suatu kali ada 48 pasang.
Hal ini bisa terjadi karena ada banyak pasangan yang nikah adat lebih dahulu, baru kemudian membereskan secara gerejani. Kursus perkawinan menjadi syarat agar mereka dapat menikah atau membereskan perkawinannya secara gerejani.
Panitia kursus tidak hanya memberi materi, tetapi juga harus menyediakan makan minum, tempat menginap dan segala keperluan mereka. Tidak hanya makan untuk suami istri, tetapi kadang mereka juga membawa anak-anaknya.
Untung kami punya tim yang kompak. Bagian dapur dan konsumsi dikelola oleh ibu-ibu paroki. Mereka membentuk kelompok masak. Ada kelompok Bu Anang, kelompok Bu Dora, kelompok Mak Felik, kelompok Mamak Mia. Bagian motong babi Pak Paulinus dan Pak Ronsen.
Bagian penyedia air bersih, kayu api dan sarana-sarana Pak Jali dan Pak Redes. Sementara Pak Janjat dan Pak Bosran memberi materi kepada peserta. Masih banyak lagi orang yang terlibat. Selama tiga hari itu, paroki seperti punya gawai besar.
Di tangan Bu Anang, Bu Dora dan Mak Felik, makanan tidak pernah berkekurangan. Semua orang makan dengan kenyang, bahkan kami punya sisa entah makanan maupun juga anggaran. Mereka bisa membawa pulang makanan ke rumah. Asal ada Bu Anang dan Bu Dora, dapur pastoran itu berubah seperti pasar yang ramai.
Dalam sharing dan refleksi kami sering mengucap syukur karena mengalami peristiwa penggandaan roti. Pengalaman Yesus itu nyata dapat kami rasakan dalam pelayanan kepada umat. Mukjijat itu sungguh nyata.
Seperti Yesus, kami juga digerakkan oleh keprihatinan, banyak orang menikah secara adat, tetapi belum mempunyai akte perkawinan karena tidak diresmikan secara agama.
Awalnya seperti para murid, kami juga bingung bagaimana memberi makan begitu banyak orang? Tapi kemudian ada yang berinisiatif, ayo membawa apa saja yang bisa dimasak dari rumah. Ada yang bawa beras, sayur-sayuran, ikan asin, pucuk ubi, rebung, apa pun yang bisa diolah.
Puji Tuhan semua bisa makan kenyang, juga anak-anak mereka tidak kelaparan. Bahkan ada sisa yang bisa dibawa pulang. Kami menyadari peristiwa itu adalah karena campur tangan Tuhan.
Dalam Injil, Yesus mengajak murid-murid-Nya ikut ambil bagian untuk memikirkan orang banyak. Ada yang memberi roti. Ada yang menyumbang ikan. Kalau semua diserahkan kepada Yesus, semuanya akan berkelimpahan. Mari kita belajar berbelas kasih dan berbagi berkat.
Bunga melati bunga selasih.
Tumbuh diantara rerumputan.
Kalau kita mau berbagi kasih.
Kita tidak pernah akan kekurangan.
Cawas, masuk logika…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Dec 1, 2020 | Renungan
“Martir Indonesia”
REDEMPTUS, seorang bruder dan Dionisius, imam Ordo Karmel datang ke Aceh sebagai duta untuk menjalin misi diplomatik dari Wakil Raja Goa, Pedro da Silva kepada Sultan Iskandar Thani, pengganti Iskandar Muda.
Namun orang-orang Belanda menyebar isue bahwa mereka akan menyebarkan agama ke Aceh. Mereka ditangkap dan di penjara.
Dionisius baru ditahbiskan selama satu tahun dan langsung ditugaskan ke Aceh. Di dalam penjara, mereka mengalami penyiksaan yang berat. Hanya satu bulan dipenjara, mereka dibunuh karena mempertahankan iman Katolik.
Redemptus dan Dionisius dibunuh dengan gada dan lehernya digorok dengan kelewang. Jadi ingat kasus pembantaian di Sigi 27 November yang lalu. Redemptus dan Dionisius juga dibunuh 27 November 1638.
Saya jadi ingat Rm. Tarcisius Dewanto SJ, teman di KPP Seminari Mertoyudan yang meninggal dibunuh milisi di Suai Timor Timur pasca referendum. Ia menjadi imam belum genap dua bulan. Karena taat pada pimpinan, ia berangkat ke Suai.
Ketika gereja diserang milisi, ia bermaksud melindungi umat agar tidak ditembaki. Namun ia bersama dua romo lain dibunuh bersama pengungsi di sana.
Saya berharap Romo Dewanto suatu saat diangkat menjadi santo asli Indonesia. Redemptus dan Dionisius adalah orang Portugal yang menjadi martir di Indonesia. Mereka ikut menyuburkan benih iman, begitu pula Rm. Dewanto telah mengorbankan nyawanya untuk kesuburan iman Katolik di Indonesia.
Tak semua orang dapat mengalami kematian yang demikian luhur dengan cara menjadi martir. Dalam situasi sulit, orang dihadapkan pada salib.
Yesus menyebut mereka ini sebagai orang yang berbahagia. “Berbahagialah mata yang melihat apa yang kalian lihat. Sebab banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kalian lihat, namun tidak melihatnya,dan ingin mendengar apa yang kalian dengar, namun tidak mendengarnya,” kata Yesus.
Karena hal-hal itu tersembunyi bagi orang bijak dan pandai, namun dibuka oleh Tuhan untuk orang-orang kecil. Kerendahan hati memungkinkan kita bisa melihat karya-karya agung Tuhan.
Bukan orang hebat, atau orang kuasa, sombong pongah dan angkuh yang dapat melihat karya Allah, tetapi justru orang-orang kecil, sederhana dan rendah hati.
Ikut tertawa melihat Nikita Mirsani.
Ngomongnya lantang serba terbuka.
Jadi orang kecil yang rendah hati.
Karya Allah terbuka di depan mata.
Cawas, desember tiba….
Rm.Alexandre Joko Purwanto, Pr
by giasinta | Dec 1, 2020 | Artikel
Oleh: Polycarpus
Memperingati peristiwa kelahiran Yesus Sang Putera, Gereja dan seluruh umatnya tentu harus melakukan persiapan. Persiapan inilah yang kita kenal dengan Masa Adven. Kata ‘Adven’ berasal dari bahasa Latin ‘Adventus’ yang artinya ‘Datang’. Ada dua pengertian kata ‘Adven’. Pertama, menantikan kedatangan Yesus yang dirayakan pada Hari Raya Natal. Kedua, menantikan kedatangan Yesus yang ke dua (parousia) pada akhir zaman. Pengertian ini menandakan Gereja yang berziarah menuju kepenuhannya pada akhir zaman pada saat kedatangan Kristus yang kedua kalinya.
Masa Adven dimulai pada hari Minggu terdekat sebelum Pesta St. Andreas (Rasul) pada setiap 30 November. Masa Adven ini berlangsung selama empat minggu persiapan dan empat hari Minggu. Namun, biasanya minggu terakhir Adven terpotong dengan tibanya Masa Raya Natal. Sulit menentukan awal mula adanya Masa Adven.
Ilustrasi Kelahiran Yesus. Sumber: bmvkatedralbogor.org
Sejarah Penentuan Masa Adven
Pada abad ke-4, bermula dari Perancis, Masa Adven merupakan masa persiapan menyambut Hari Raya Epifani, hari di mana para calon dibaptis menjadi warga Gereja dengan penekanan pada doa dan puasa selama tiga minggu. Kemudian diperpanjang menjadi 40 hari. Sedangkan di Roma Masa Adven belum ada hingga abad keenam. Paus St Gelasius I (wafat tahun 496) merupakan Paus pertama yang menerapkan Liturgi Adven selama 5 hari Minggu. Kemudian pada tahun 1073-1085, Paus St Gregorius VII mengubah jumlah hari minggu dalam Masa Adven menjadi empat hari minggu hingga sekarang. Sekitar abad ke-9, Gereja menetapkan Minggu Adven Pertama sebagai awal tahun penanggalan liturgi Gereja.
Memang sejarah Adven kurang bisa dijelaskan secara rinci, namun makna Masa Adven tetap terfokus pada kedatangan Kristus. Pada masa ini, Kristus sangat-sangat dinantikan kedatangan-Nya di tengah-tengah umat-Nya. Maka, kata ‘Adven’ harus kita maknai sungguh, yakni ‘dulu, sekarang dan di waktu yang akan datang’.
Asal Usul Lingkaran Adven
Selama Masa Adven, kita sering melihat di dekat altar terdapat ‘Lingkaran Adven’ yang terdiri dari empat lilin, yaitu tiga lilin berwarna ungu dan satu lilin berwarna merah muda. Lilin-lilin itu melambangkan keempat minggu dalam Masa Adven. Setiap minggu, sebatang lilin Adven dinyalakan.
Pemilihan warna-warna lilin ini bukan tanpa alasan. Lilin ungu melambangkan pertobatan. Lilin merah muda dinyalakan pada Hari Minggu Adven III yang disebut Minggu ‘Gaudete’ (dalam bahasa Latin berarti sukacita). Warna merah muda dibuat dengan mencampurkan warna ungu dengan putih. Artinya, seolah-olah sukacita yang kita alami pada Hari Natal (yang dilambangkan dengan warna putih) sudah tidak tertahankan lagi dalam masa pertobatan ini (ungu).
Ilustrasi Lilin Adven. Sumber: ikatolik.com
Pada Hari Natal, keempat lilin digantikan dengan lilin-lilin putih. Lingkaran Adven atau Adven wreath biasanya dibuat dari daun-daun segar berwarna hijau. Hal ini diadaptasi dari kebiasaan orang Jerman sebelum Kekristenan berkembang. Sering beberapa dari kita bertanya-tanya, “Mengapa berbentuk lingkaran?”. Jawabannya adalah karena bentuk lingkaran tidak memiliki awal dan akhir. Lingkaran melambangkan Tuhan yang abadi, tanpa awal dan akhir.
Makna Setiap Minggu dalam Masa Adven
Setiap minggu dalam Masa Adven, memiliki arti khusus. Sebagai umat Kristiani, kita diajak untuk merenung dengan tema dan ujub tertentu. Minggu Adven I ditandai dengan sebatang lilin ungu yang memiliki arti tidak hanya pertobatan namun juga berarti harapan. Umat menantikan Yesus Kristus dengan penuh harapan dan sukacita. Lilin pertama yang dinyalakan disebut Lilin Nabi yang mengingatkan bahwa para nabi mewartakan kedatangan Yesus sebagai Mesias.
Minggu Adven II mempunyai arti kesetiaan dan cinta. Ini mengingatkan kita untuk tetap setia mempersiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan. Lilin kedua disebut Lilin Betlehem yang berarti Yesus Kristus Sang Juru Selamat akan lahir di dalam hati kita. Minggu Adven III memiliki arti sukacita yang ditandai dengan dua lilin ungu dan satu lilin merah jambu. Kita bersukacita untuk menyambut kelahiran Yesus. Lilin ketiga disebut Lilin Gembala karena kabar sukacita kelahiran Yesus pertama kali diberitahukan kepada orang-orang yang rendah hati dan tulus.
Minggu Adven IV ditandai dengan tiga lilin ungu dan satu lilin merah muda. Minggu keempat memiliki arti perdamaian. Lilin keempat disebut Lilin Para Malaikat yang melambangkan kebahagiaan dan sukacita menyambut kedatangan Yesus Kristus, Sang Juru Selamat.
Dari semua yang kita ketahui tentang persiapan menyambut lahirnya Yesus Kristus Sang Juru Selamat atau Masa Adven, sudah sepatutnya kita mempersiapkannya dengan sungguh dan dengan sepenuh hati. Pertobatan dan penyesalan yang kita lakukan sebelum memasuki Masa Adven akan membuat hati kita siap dan layak untuk menerima rahmat keselamatan dari Tuhan.
Sumber:
Katolisitas.org <https://www.katolisitas.org/seputar-adven-dan-natal/>
PGI.or.id <https://pgi.or.id/asal-mula-masa-adven/>
Katolikpedia.id <https://katolikpedia.id/masa-adven-agama-katolik/>