by editor | Jan 30, 2021 | Renungan
Arjuna dan Buta Cakil
DALAM pertunjukan wayang, ada adegan perang kembang. Perang antara seorang ksatria dan raksasa. Ksatria itu bisa Arjuna atau Abimanyu. Raksasa yang menghadang selalu Buta Cakil.
Raksasa berperawakan kurus kering kerontang kurang gizi, tetapi bicaranya “ceriwis” nyerocos tak bisa berhenti. Giginya “pating cringih” menonjol seperti duri-duri tajam.
Jika berperang gerakannya “pethakilan” dan suaranya “pating cemruwit” seperti anak burung ribut diloloh induknya. Banyak omong, banyak tingkah, merasa paling hebat sendiri.
Sebaliknya Arjuna atau Abimanyu sebagi ksatria bersikap tenang, berwibawa tanpa banyak kata-kata. Kata dan tindak tanduknya diperhitungkan dengan seksama.
Dia tidak bertindak dengan sembarangan, tanpa perhitungan. Tidak banyak mengumbar kata-kata kosong. Sekali bertindak, tuntas semuanya.
Arjuna pernah bertapa di Gua Mintaraga, bergelar Begawan Ciptaning. Cipta artinya membuat, menciptakan, mengadakan. Ning artinya hening, sunyi, tenang. Keheningan menciptakan atau menghasilkan kekuatan penuh wibawa dan kuasa.
Dalam bertindak atau perang melawan kejahatan, Arjuna tidak banyak bertingkah serabutan. Tindakan dan tutur katanya terukur penuh wibawa.
Orang yang bernama Ciptaning semestinya belajar dari Arjuna.
Yesus mengajar di rumah ibadat Kapernaum. Orang-orang takjub mendengar pengajaran-Nya sebab Ia mengajar dengan penuh wibawa, tidak seperti ahli Taurat.
Ia menghadapi orang yang kerasukan setan. Seperti Buta cakil, orang itu berteriak-teriak dan bertingkah polah tidak karuan, menjerit-jerit dan menggoncang-goncangkan orang itu. Yesus menghardik, “Diam, keluarlah daripadanya.” Setan itu takluk.
Mereka semua takjub. Peristiwa itu menjadi buah bibir. “Apa ini? Suatu ajaran baru? Guru ini berkata-kata dengan kuasa. Roh-roh jahat pun Ia perintah dan mereka taat kepada-Nya.”
Orang berwibawa tidak perlu banyak kata-kata. Tetapi sekali berkata, semua tunduk dengan takzimnya.
Kemarin badai taufan dikalahkan, kini roh jahat disikat. Yesus, Engkaulah andalanku.
Tuhan bentengku, perisaiku.
Batu karangku panglimaku.
Tak gentar aku di rumah-Mu.
Aman aku di tangan-Mu.
Cawas, nasi goreng kepala bandeng…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Jan 29, 2021 | Renungan
“TUHAN itu dimana ya romo.” Kata seorang ibu yang datang konseling di kamar tamu. “Suami saya meninggalkan saya ketika anak masih kecil. Saya harus memeliharanya sendiri. Berat romo menjadi single parent. Tapi saya jalani semampu saya.” Ibu itu berkisah sambil “kembeng-kembeng” berkaca-kaca matanya.
“Anak saya tumbuh kurang kasih sayang romo. Dia kehilangan figure seorang ayah. Di sekolah sering berkelahi dengan teman-temannya. Kumpul-kumpul dengan geng anak nakal. Beberapa kali berurusan dengan polisi. Saya sangat sedih romo.” Ia “sesenggukan” menahan tangis.
Anak saya pernah bilang, “biar saya mati dihajar polisi gak papa, biar nanti jadi terkenal, biar bapak saya tahu, nanti dia akan ambil aku di tahanan. Semua ini gara-gara papa gak pernah pulang.” Saya ikut merasakan betapa berat badai yang dihadapi ibu ini.
Belum selesai gelombang yang satu, datang gelombang berikutnya. Ibunya meninggal karena sakit. Usahanya gulung tikar karena pandemi covid. “Romo, saya tidak punya harapan lagi.” Katanya lirih hampir tak bersuara lagi.
“Sebentar ibu,” saya masuk ke kamar mengambil sesuatu. “Ini bisa menjadi harapan,” saya memberinya sebuah rosario. “Apakah ibu pernah berdoa rosario?”
“Tidak sempat romo, tidak ada waktu untuk berdoa.”
Sekarang saatnya untuk berseru minta pertolongan Tuhan. Saya mengajaknya berdoa.
Para murid dan Yesus pergi ke seberang danau dengan perahu. Di tengah danau, mengamuklah taufan yang sangat dasyat. Yesus sedang tidur di buritan. Para murid ketakutan diterjang badai. “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”
Yesus menghardik angin itu dan danau pun tenanglah. “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” kata Yesus.
Kata-kata itu juga tertuju pada kita.
Setiap hari kita ditemani Yesus. Ada salib di rumah kita. Mengapa kita tidak datang kepada-Nya, mengapa kita tidak berseru dan berdoa?
Bahtera itu adalah hidup kita. Yesus ada di dalamnya. Jika badai menerjang bahtera, kita mengandalkan Dia. Yesus berkuasa atas alam semesta. Badai dan taufan tunduk kepada-Nya.
Begitu pun badai kehidupan, Yesus mampu mengatasinya. Jangan pernah lupa, Dia bersama kita.
Bunga wijayakusuma berkembang.
Putih kemilau sangat menakjubkan.
Jika badai kehidupan menerjang.
Pegangi salib, dia sumber kekuatan.
Cawas, sedang galau….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Jan 29, 2021 | Renungan
Kerajaan Allah Itu Hidup.
“Eee.. iba senenge kanca tani yen nyawang tandurane
nyambut gawe awak sayah seneng atine
Parine lemu-lemu palawija lan uga sak wernane
katon subur, kabeh tuwuh kang sarwa tinandur
Panyuwunku tinebehna saking sambikala
sih ing gusti mugi-mugi lestari widada
sayuk rukun rame-rame gotong-royong kang dadi semboyane
kanca tani saka guru tumrap negarane”
(Betapa bahagia para petani melihat tanaman padinya. Kerja keras badan lelah namun senang hatinya. Padinya subur-subur. Begitu pun palawija dan jenis lainnya. Semua kelihatan subur apa saja yang ditanamnya. Permohonanku dijauhkan dari segala marabahaya. Berkat Tuhan semoga lestari semuanya. Hidup bersama dengan rukun dan gotong royong itulah semboyannya. Petani adalah pilar bagi negaranya)
LAGU Campursari berjudul “Kanca Tani” dari Manthous itu mengalun bikin adem di hati. Rasanya sungguh membahagiakan melihat tanaman padi yang hijau subur. Namun tanaman padi itu harus dijaga karena ada banyak hama.
“Gak bisa tidur romo, setiap malam di sawah menjaga padi yang baru tumbuh. Hama tikus merajalela menyerbu tanaman.” Kata Pak Tarno yang punya beberapa petak sawah. Adik saya di rumah juga harus mengganti tanaman padinya yang baru berumur sebulan karena diserang ribuan keong emas.
Kita hanya menanam. Tuhan yang menumbuhkan dan melestarikan. Jika itu rejeki kita, Tuhan yang akan menjaganya dari segala mara bahaya. Tuhan sudah menghitung rejeki kita. Itulah keyakinan para petani.
Hari ini Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang Kerajaan Allah. “Kerajaan Allah itu seumpama orang yang menaburkan benih di tanah.”
Juga seperti biji sesawi yang ditaburkan orang. Biji itu akan tumbuh menjadi besar dan bercabang-cabang.
Allah itu berkarya tanpa kita sadari. Ia memberi hidup dan pertumbuhan. Kehidupan itulah tanda Allah yang hadir.
Para petani biasanya peka terhadap Allah karena mereka dekat dengan kehidupan. Mari kita membuka hati agar bisa mengenali kehadiran Allah dalam hidup kita.
Gunung Merapi nampak perkasa.
Memuntahkan berjuta juta lava.
Allah nyata hadir di tengah kita.
Mari kita sujud mengakui kuasa-Nya.
Cawas, kain berbunga-bunga….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
*Ada* *pesan* *sponsor* dari lagu Didi Kempot :
Sewu kuta uwis tak liwati
Sewu like tak golekki
Ayo kabeh pada nganggo driji
Nunul Klik di sini …..
https://www.instagram.com/p/CJqLzgTFly1/?igshid=gmqnrljqw0xp
(Jangan lupa di klik)
by editor | Jan 29, 2021 | Renungan
Ukuran Seorang Tukang Jahit
SEORANG penjahit terkenal, Roshan Melwani sering diminta untuk membuatkan pakaian orang-orang top. Ia mengukur dengan teliti desain dan polanya. Apa yang dihasilkannya sangat disukai banyak orang. Pelanggannya bukan orang biasa, tetapi orang-orang hebat, mulai dari artis top sampai presiden.
Dia punya sebuah trik atau prinsip dalam menggeluti pekerjaannya. “Berikan apa yang konsumen inginkan.” Ukurannya bukan apa yang dia suka, tetapi apa yang dimaui konsumennya. Ia ingin memuaskan pelanggannya.
Ia membuat ukuran demi kepuasan pelanggan. Karena dia sangat menghargai konsumennya, maka hasil karyanya disukai banyak orang dan dihargai tinggi. Ia mengukur bukan berdasarkan penilaiannya sendiri, melainkan apa yang diingini kustomernya.
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya dalam pengajaran-Nya, “Camkanlah apa yang kamu dengar. Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan dikenakan pula padamu, malah akan ditambah lagi.”
Kalau kita menilai atau mengukur orang lain dari segi kedisiplinannya, ukuran disiplin itu juga akan diukurkan atau diterapkan pada kita, bahkan mereka bisa menuntut lebih. Begitu pula kalau kita menuntut orang lain jujur, maka nilai kejujuran itu akan dituntut dari kita juga.
Prinsip moralnya adalah apa yang kamu kehendaki orang lain perbuat bagimu, perbuatlah juga demikian untukmu. Jangan sampai kita hanya seperti “tong kosong berbunyi nyaring.” Banyak ngomong menuntut orang lain berbuat demikian, tetapi kita tak pernah melakukannya.
Seperti Roshan itu, kalau kita ingin dihargai, maka hargailah keinginan atau harapan pelangganmu. Ukuran apa yang kita cantolkan kepada seseorang, begitu pun ukuran itu akan dipakaikan kepada kita.
Taplak meja berbentuk segitiga.
Gambarnya aneka jenis bunga.
Kalau kita mengukur dan menilai sesama.
Nilai itu akan diterapkan pada kita.
Cawas, bunga mekar….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Jan 26, 2021 | Renungan
AWAL-AWAL tugas di Nanga Tayap, saya diajak oleh OMK untuk mendampingi camping. Jangan membayangkan sebuah tempat wisata dengan tenda-tenda yang siap dengan segala peralatan serba enak. Mereka memilih sebuah tempat lapang di pinggir Sungai Tigal, di tengah kawasan hutan.
Pak Lengkeng, Juki dan OMK dewasa mendirikan tenda dari terpal, begitu pun alasnya. Apa pun yang ada di hutan dipakai untuk membuat tempat berteduh.
Ketika mau misa pembukaan, Juki punya ide kreatif. Karena tanah datarnya sempit, mereka duduk di pinggir sungai. Juki dan Lengkeng membuat altar di sungai yang dangkal. Mereka menumpuk batu-batu dan di atasnya diberi papan. Bu Dora dan Asih mengalasi altar dengan kain. Ada yang memotong kayu, dibuat salib dan ditancapkan di samping altar. Sangat eksotik.
Para OMK duduk tanpa alas di tanah yang datar. Saya memimpin misa di pinggir sungai yang dangkal. Airnya jernih mengalir deras setinggi mata kaki.
Setelah misa kami berpesta makan buah nangka, hasil buruan Pak Lengkeng di tengah hutan. Buahnya besar-besar dan sangat manis. Mungkin sisa-sisa para monyet di hutan.
Yesus mengajar di tepi danau Galilea. Datanglah orang yang sangat besar jumlahnya mengerumuni Dia. Para murid yang nelayan itu punya ide kreatif. Yesus disuruh duduk di sebuah perahu dan orang-orang ada di pinggir danau. Yesus leluasa mengajar banyak hal tanpa didesak-desak orang banyak.
Yesus berbicara dengan perumpamaan. Kali ini seorang penabur menaburkan benih. Ada yang jatuh di pinggir jalan, ada yang di tanah berbatu, ada yang di semak berduri, dan sebagian di tanah yang subur.
Benih itu adalah sabda Allah. Tanah itu adalah para pendengarnya. Tanah yang baik akan menghasilkan buah berlipat-lipat. Tanah yang tidak baik tidak menghasilkan secara maksimal.
Kalau kita ini diumpamakan sebagai tanah, lalu tanah macam apakah kita ini? Berbatu-batu atau penuh semak duri, atau tanah yang subur? Jika tanah subur, seberapa besarkah hasilnya? Jika belum menghasilkan buah, apa yang harus kita lakukan?
Silahkan direnungkan sendiri.
Kain sutera bersegita ungu.
Menghiasi di atas meja rapat.
Tuhan menaburkan benih baru.
Berharap hasilnya berlipat-lipat.
Cawas, bermain double….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr