Arjuna dan Buta Cakil

DALAM pertunjukan wayang, ada adegan perang kembang. Perang antara seorang ksatria dan raksasa. Ksatria itu bisa Arjuna atau Abimanyu. Raksasa yang menghadang selalu Buta Cakil.

Raksasa berperawakan kurus kering kerontang kurang gizi, tetapi bicaranya “ceriwis” nyerocos tak bisa berhenti. Giginya “pating cringih” menonjol seperti duri-duri tajam.

Jika berperang gerakannya “pethakilan” dan suaranya “pating cemruwit” seperti anak burung ribut diloloh induknya. Banyak omong, banyak tingkah, merasa paling hebat sendiri.

Sebaliknya Arjuna atau Abimanyu sebagi ksatria bersikap tenang, berwibawa tanpa banyak kata-kata. Kata dan tindak tanduknya diperhitungkan dengan seksama.

Dia tidak bertindak dengan sembarangan, tanpa perhitungan. Tidak banyak mengumbar kata-kata kosong. Sekali bertindak, tuntas semuanya.

Arjuna pernah bertapa di Gua Mintaraga, bergelar Begawan Ciptaning. Cipta artinya membuat, menciptakan, mengadakan. Ning artinya hening, sunyi, tenang. Keheningan menciptakan atau menghasilkan kekuatan penuh wibawa dan kuasa.

Dalam bertindak atau perang melawan kejahatan, Arjuna tidak banyak bertingkah serabutan. Tindakan dan tutur katanya terukur penuh wibawa.

Orang yang bernama Ciptaning semestinya belajar dari Arjuna.

Yesus mengajar di rumah ibadat Kapernaum. Orang-orang takjub mendengar pengajaran-Nya sebab Ia mengajar dengan penuh wibawa, tidak seperti ahli Taurat.

Ia menghadapi orang yang kerasukan setan. Seperti Buta cakil, orang itu berteriak-teriak dan bertingkah polah tidak karuan, menjerit-jerit dan menggoncang-goncangkan orang itu. Yesus menghardik, “Diam, keluarlah daripadanya.” Setan itu takluk.

Mereka semua takjub. Peristiwa itu menjadi buah bibir. “Apa ini? Suatu ajaran baru? Guru ini berkata-kata dengan kuasa. Roh-roh jahat pun Ia perintah dan mereka taat kepada-Nya.”

Orang berwibawa tidak perlu banyak kata-kata. Tetapi sekali berkata, semua tunduk dengan takzimnya.

Kemarin badai taufan dikalahkan, kini roh jahat disikat. Yesus, Engkaulah andalanku.

Tuhan bentengku, perisaiku.
Batu karangku panglimaku.
Tak gentar aku di rumah-Mu.
Aman aku di tangan-Mu.

Cawas, nasi goreng kepala bandeng…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr