by giasinta | Feb 14, 2021 | Artikel
Oleh: Tripleway
Bulan Februari bagi pasangan muda biasa identik dengan cokelat, hadiah dan ungkapan cinta. Ketiga hal tersebut menjadi nuansa ikonik di bulan Februari karena di bulan ini terdapat perayaan yang diadakan setiap tanggal 14 Februari di seluruh dunia termasuk Indonesia yaitu Hari Valentine. Terdapat beberapa versi sejarah yang mencatat awal mula dari perayaan Hari Valentine ini salah satunya adalah sejarahnya yang berasal dari kisah legenda Santo Valentine.
Ilustrasi Valentine. Sumber: Freepik.
Sejarah Hari Valentine
Kisah Santo Valentine ini disebut legenda karena tidak terdapat catatan rinci yang dapat memverifikasi kebenaran dari kisah atau sejarah ini. Legenda ini menceritakan bahwa Valentine dipukuli dan berakhir dipancung pada tanggal 14 Februari 278 Masehi. Bentuk eksekusi ini merupakan sebuah hukuman karena Imam Valentine dianggap menentang kebijakan seorang Kaisar bernama Claudius II. Dikutip dari Detik.com, Claudius II dikenal kejam setelah membuat Roma terlibat dalam berbagai pertempuran berdarah. Roma harus selalu menang dalam peperangan sehingga Sang Kaisar harus menunjukkan memiliki tentara yang kuat. Sayangnya, hal tersebut ternyata sulit untuk diwujudkan karena menurut Sang Kaisar, bala tentaranya enggan pergi ke medan perang karena terikat pada istri atau kekasih mereka. Untuk mengatasinya Claudius II melarang semua bentuk pernikahan serta pertunangan yang ada pada Roma.
Santo Valentine. Sumber: Pinterest.
Imam Valentine ini justru menentang kebijakan tersebut dengan berusaha secara diam-diam menikahkan pasangan muda. Tindakan ini diketahui oleh Kaisar sehingga Imam Valentine ditahan serta dihukum lalu tubuhnya dipukul hingga dipancung. Hukuman ini menjadikan sebuah tanda sebagai peringatan atau perayaan yang dilakukan setiap tanggal 14 Februari. Sejarah Valentine yang sebenarnya ini memang lebih banyak dipercaya sebab legenda yang beredar menyebutkan bahwa Valentine meninggalkan catatan perpisahan untuk putri penjaga penjara yang menjadi temannya. Catatan bertuliskan ‘From Your Valentine’ ini menjadi populer dan banyak menginspirasi. Atas jasanya, Valentine dinobatkan sebagai orang suci hingga disebut sebagai Santo Valentine.
Tradisi Valentine Gereja dan Fratelli Tutti
Paus Fransiskus. Sumber: Komkat KWI
Hari Valentine, biasanya juga dikenal dengan hari kasih sayang oleh sebagian orang. Dalam Gereja Katolik, kasih sayang merupakan pokok ajaran yang diajarkan oleh Yesus Kristus kepada para pengikutnya. “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. (TB Yoh 13:34). Selain dari kitab suci dan ajaran Yesus sendiri, Gereja Katolik juga memiliki sebuah dokumen yang disebut “Fratelli Tutti”. Dokumen yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus pada tanggal 03 Oktober 2020 ini berisi tentang persaudaraan universal dalam cara hidup Fransiskus Assisi yang memperlakukan segenap makhluk sebagai saudara dan saudari. Terdapat beberapa poin yang patut diperhatikan di dalam dokumen ini yaitu:
- Ensklik ini dimulai dengan penekanan bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga manusia, anak dari satu Pencipta, berada dalam perahu yang sama, dan karenanya kita perlu menyadari bahwa dunia yang terglobalisasi dan saling berhubungan ini hanya bisa diselamatkan oleh kerja sama kita semua.
- Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Hidup Bersama atau Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar pada Februari 2019 menjadi salah satu inspirasi ensklik ini, yang dikutip berkali-kali.
- Salah stau konteks lahirnya ensiklik adalah pandemi Covid-19 yang menurut Paus Fransiskus “meletup secara tak terduga” saat dia “menulis ensiklik”. Ia menyatakan, keadaan darurat kesehatan global akibat pandemi telah membantu menunjukkan bahwa “tidak ada yang dapat menghadapi kehidupan dalam isolasi” dan bahwa waktunya telah benar-benar datang untuk “bermimpi, kemudian, sebagai satu keluarga manusia” di mana kita semua adalah “saudara dan saudari “(7- 8).
Dari beberapa poin tersebut dapat dilihat bahwa terdapat kemiripan permenungan antara perayaan Hari Valentine dan dokumen Fratelli Tutti. Kedua hal tersebut sama-sama menyoroti hal yang sama yaitu tentang cinta kasih. Sebagai orang Katolik, di perayaan Hari Valentine ini kita hendaknya memberikan cinta kasih bukan hanya kepada orang-orang yang kita cintai tetapi kita harus berusaha juga memberikan cinta kasih kepada semua orang seperti cara hidup Fransiskus Assisi yang menjadi dasar dari dokumen Fratelli Tutti.
Hari Valentine di Tengah Masa Pandemi
Cinta kasih yang dapat diberikan kepada semua orang pada Hari Valentine pada tahun ini sedikit berbeda jika dibandingkan Hari Valentine yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini kita sama-sama berada dalam perjuangan di dalam penderitaan pandemi Covid-19. Meskipun dalam masa pandemi, bukan berarti kita lalu berhenti untuk berbagi kasih dengan orang lain. Justru dalam masa pandemi kita dituntut untuk semakin menyadari bahwa “tidak ada yang dapat menghadapi kehidupan dalam isolasi” dan bahwa waktunya telah benar-benar datang untuk “bermimpi, kemudian, sebagai satu keluarga manusia” di mana kita semua adalah “saudara dan saudari “ (Fratelli Tutti, 2020, 7- 8).
Lalu, bagaimana cara kita untuk berbagi kasih di masa pandemi? Jika kita melihat kondisi yang terjadi sekarang ini, terdapat segelintir orang yang menganggap bahwa orang yang terkena Covid-19 patut diasingkan dan dijauhi. Bahkan terdapat beberapa kasus yang menolak para jenazah korban Covid-19 untuk dimakamkan di suatu daerah. Tentunya hal-hal yang terjadi tersebut sangat bertentangan dengan nilai kasih yang diajarkan oleh Yesus.
Sebagai seorang pengikut Kristus, sudah sepatutnya kita memperhatikan saudara-saudari yang tertimpa kemalangan, misalnya dengan cara memberikan bantuan makanan bagi orang yang terpaksa melakukan isolasi di rumah, dan tetap memberikan mereka perhatian dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Selain itu, dengan taat memakai masker pun kita sebenarnya sudah ikut serta dalam pengamalan kasih kepada sesama karena dengan memakai masker kita dapat memutus rantai penyebaran Covid-19 ini sehingga tidak menyebar dan menambah jumlah penderitanya.
Perayaan Valentine tahun ini memiliki banyak perjuangan dan hambatan. Tetapi justru karena hambatan dan perjuangan tersebut, kita menjadi bisa belajar bahwa kasih itu harus diberikan tanpa syarat kepada semua orang. Mari jadikan Valentine tahun ini sebagai moment pengingat bagi kita untuk terus memberikan kasih kepada semua orang karena kasih itu universal dan diberikan tanpa syarat.
Sumber:
Karya Kepausan Indonesia
Komkat KWI
Detik.com
Katolisitas
Congkasae
by giasinta | Dec 1, 2020 | Artikel
Oleh: Polycarpus
Memperingati peristiwa kelahiran Yesus Sang Putera, Gereja dan seluruh umatnya tentu harus melakukan persiapan. Persiapan inilah yang kita kenal dengan Masa Adven. Kata ‘Adven’ berasal dari bahasa Latin ‘Adventus’ yang artinya ‘Datang’. Ada dua pengertian kata ‘Adven’. Pertama, menantikan kedatangan Yesus yang dirayakan pada Hari Raya Natal. Kedua, menantikan kedatangan Yesus yang ke dua (parousia) pada akhir zaman. Pengertian ini menandakan Gereja yang berziarah menuju kepenuhannya pada akhir zaman pada saat kedatangan Kristus yang kedua kalinya.
Masa Adven dimulai pada hari Minggu terdekat sebelum Pesta St. Andreas (Rasul) pada setiap 30 November. Masa Adven ini berlangsung selama empat minggu persiapan dan empat hari Minggu. Namun, biasanya minggu terakhir Adven terpotong dengan tibanya Masa Raya Natal. Sulit menentukan awal mula adanya Masa Adven.
Ilustrasi Kelahiran Yesus. Sumber: bmvkatedralbogor.org
Sejarah Penentuan Masa Adven
Pada abad ke-4, bermula dari Perancis, Masa Adven merupakan masa persiapan menyambut Hari Raya Epifani, hari di mana para calon dibaptis menjadi warga Gereja dengan penekanan pada doa dan puasa selama tiga minggu. Kemudian diperpanjang menjadi 40 hari. Sedangkan di Roma Masa Adven belum ada hingga abad keenam. Paus St Gelasius I (wafat tahun 496) merupakan Paus pertama yang menerapkan Liturgi Adven selama 5 hari Minggu. Kemudian pada tahun 1073-1085, Paus St Gregorius VII mengubah jumlah hari minggu dalam Masa Adven menjadi empat hari minggu hingga sekarang. Sekitar abad ke-9, Gereja menetapkan Minggu Adven Pertama sebagai awal tahun penanggalan liturgi Gereja.
Memang sejarah Adven kurang bisa dijelaskan secara rinci, namun makna Masa Adven tetap terfokus pada kedatangan Kristus. Pada masa ini, Kristus sangat-sangat dinantikan kedatangan-Nya di tengah-tengah umat-Nya. Maka, kata ‘Adven’ harus kita maknai sungguh, yakni ‘dulu, sekarang dan di waktu yang akan datang’.
Asal Usul Lingkaran Adven
Selama Masa Adven, kita sering melihat di dekat altar terdapat ‘Lingkaran Adven’ yang terdiri dari empat lilin, yaitu tiga lilin berwarna ungu dan satu lilin berwarna merah muda. Lilin-lilin itu melambangkan keempat minggu dalam Masa Adven. Setiap minggu, sebatang lilin Adven dinyalakan.
Pemilihan warna-warna lilin ini bukan tanpa alasan. Lilin ungu melambangkan pertobatan. Lilin merah muda dinyalakan pada Hari Minggu Adven III yang disebut Minggu ‘Gaudete’ (dalam bahasa Latin berarti sukacita). Warna merah muda dibuat dengan mencampurkan warna ungu dengan putih. Artinya, seolah-olah sukacita yang kita alami pada Hari Natal (yang dilambangkan dengan warna putih) sudah tidak tertahankan lagi dalam masa pertobatan ini (ungu).
Ilustrasi Lilin Adven. Sumber: ikatolik.com
Pada Hari Natal, keempat lilin digantikan dengan lilin-lilin putih. Lingkaran Adven atau Adven wreath biasanya dibuat dari daun-daun segar berwarna hijau. Hal ini diadaptasi dari kebiasaan orang Jerman sebelum Kekristenan berkembang. Sering beberapa dari kita bertanya-tanya, “Mengapa berbentuk lingkaran?”. Jawabannya adalah karena bentuk lingkaran tidak memiliki awal dan akhir. Lingkaran melambangkan Tuhan yang abadi, tanpa awal dan akhir.
Makna Setiap Minggu dalam Masa Adven
Setiap minggu dalam Masa Adven, memiliki arti khusus. Sebagai umat Kristiani, kita diajak untuk merenung dengan tema dan ujub tertentu. Minggu Adven I ditandai dengan sebatang lilin ungu yang memiliki arti tidak hanya pertobatan namun juga berarti harapan. Umat menantikan Yesus Kristus dengan penuh harapan dan sukacita. Lilin pertama yang dinyalakan disebut Lilin Nabi yang mengingatkan bahwa para nabi mewartakan kedatangan Yesus sebagai Mesias.
Minggu Adven II mempunyai arti kesetiaan dan cinta. Ini mengingatkan kita untuk tetap setia mempersiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan. Lilin kedua disebut Lilin Betlehem yang berarti Yesus Kristus Sang Juru Selamat akan lahir di dalam hati kita. Minggu Adven III memiliki arti sukacita yang ditandai dengan dua lilin ungu dan satu lilin merah jambu. Kita bersukacita untuk menyambut kelahiran Yesus. Lilin ketiga disebut Lilin Gembala karena kabar sukacita kelahiran Yesus pertama kali diberitahukan kepada orang-orang yang rendah hati dan tulus.
Minggu Adven IV ditandai dengan tiga lilin ungu dan satu lilin merah muda. Minggu keempat memiliki arti perdamaian. Lilin keempat disebut Lilin Para Malaikat yang melambangkan kebahagiaan dan sukacita menyambut kedatangan Yesus Kristus, Sang Juru Selamat.
Dari semua yang kita ketahui tentang persiapan menyambut lahirnya Yesus Kristus Sang Juru Selamat atau Masa Adven, sudah sepatutnya kita mempersiapkannya dengan sungguh dan dengan sepenuh hati. Pertobatan dan penyesalan yang kita lakukan sebelum memasuki Masa Adven akan membuat hati kita siap dan layak untuk menerima rahmat keselamatan dari Tuhan.
Sumber:
Katolisitas.org <https://www.katolisitas.org/seputar-adven-dan-natal/>
PGI.or.id <https://pgi.or.id/asal-mula-masa-adven/>
Katolikpedia.id <https://katolikpedia.id/masa-adven-agama-katolik/>
by giasinta | Oct 19, 2020 | Artikel
Reporter: Maria Fransiska
Dalam Gereja Katolik, beatifikasi (dari bahasa Latin “beatus”, yang berbahagia) adalah suatu pengakuan atau pernyataan yang diberikan oleh Gereja terhadap orang yang telah meninggal bahwa orang tersebut adalah orang yang berbahagia. Beatifikasi diberikan kepada orang yang dianggap telah bekerja sangat keras untuk kebaikan atau memiliki keistimewaan secara spiritual. Seseorang yang mendapat beatifikasi diberi gelar beato untuk laki-laki dan beata untuk perempuan. Proses ini merupakan tahap ketiga dari empat tahapan dalam proses kanonisasi yang biasanya dilakukan setelah mendapat gelar venerabilis (yang pantas dihormati) sebelum mendapat gelar santo atau santa.
Carlo Acutis tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Katolik. Acutis yang diberi gelar Beato pada 10 Oktober ini tercatat sebagai remaja yang memberikan pengabdian besar dalam Ekaristi dan menjadi milenial pertama yang diberkati dengan gelar Beato. Dilansir dari Kompas.com, Carlo Acutis dikenal juga sebagai “Santo Pelindung Internet” meskipun sebelumnya sudah ada satu, akademisi abad ke-7, Isidore de Seville. Mari kita mengenali lebih dalam tentang sosok Carlo Acutis.
Hidup Ekaristis
Acutis lahir pada tanggal 3 Mei 1991, di London, Inggris, tempat orang tuanya bekerja. Beberapa bulan kemudian, orang tuanya, Andrea Acutis dan Antonia Salzano, memutuskan untuk pindah ke Milan saat ia berusia 5 bulan. Acutis yang dibaptis ketika bayi ini belum pernah diajarkan iman Katolik oleh keluarganya. Walaupun begitu, saat masih balita dan belum bersekolah Acutis sudah menunjukan cintanya kepada gereja. Ibu Acutis bercerita bahwa sejak kecil, setiap melewati gedung-gedung gereja di Milan, Acutis akan meminta ibunya untuk masuk melihat Yesus dan meminta ibunya meletakan bunga di bawah kaki Bunda Maria. Disinilah awal di mana Acutis menyentuh hati ibunya untuk kembali mempelajari iman katolik dengan mengikuti kursus teologi.
Beato Carlo Acutis. Sumber: Kompas.com
Pada usianya yang ke-7 tahun, Acutis menerima Komuni Pertama di Biara St. Ambrogio ad Nemus. Sejak saat itu, Acutis berusaha menghadiri setiap misa di gereja. Acutis tidak hanya mengikuti misa hari Minggu, tetapi ia juga tidak pernah absen mengikuti misa harian. Ia juga rajin melakukan pengakuan dosa setiap minggunya. Tindakan Acutis yang rajin mengikuti ekaristi membuat hati keluarganya tergerak untuk kembali ke gereja dan rajin mengikuti misa harian. Antonia Salzano, Ibu Acutis terus terang berkata bahwa sebelum Acutis mempengaruhinya untuk mencintai Ekaristi, ia hanya misa tiga kali, yaitu pada saat dilahirkan, saat mendapat komuni pertama, dan saat menikah. Acutis rajin mengikuti Ekaristi bukan berasal dari desakan keluarganya melainkan keinginan dirinya sendiri.
Kekuatan Acutis berasal dari Ekaristi dan Bunda Maria. Sejak remaja, Acutis rutin berdoa Rosario setiap hari dan di samping devosi ke santo-santa. Ia sering menghabiskan waktu di ruang adorasi. Ia pernah berkata, “Ketika kita sering terpapar matahari kulit kita akan menjadi coklat. Ketika kita menempatkan diri di depan Ekaristi, kita akan menjadi orang suci,”.
Internet sebagai Sarana Pewartaan
Acutis dikenang sebagai anak yang periang dan suka membela teman-temannya yang di-bully, terutama anak-anak disabilitas. Ketika orang tua seorang temannya akan bercerai, Acutis juga melakukan upaya khusus yaitu membawa temannya itu ke dalam keluarganya. Layaknya anak remaja lain, Acutis juga suka bermain sepak bola dan video games. Walaupun ia senang bermain play station tetapi ia bisa mengontrol diri untuk bermain hanya satu jam di setiap pekan. Acutis juga menunjukan kegemarannya dalam hal membaca dan mempelajari ilmu komputer. Pada saat usianya yang ke-8 tahun, Acutis sudah memiliki bakat besar sebagai programmer. Hal yang menarik di sini bukanlah dari talentanya saja, tetapi juga perjalanannya menggunakan talenta tersebut sebagai sarana menjadi misionaris internet.
Acutis prihatin melihat umat Kristiani yang makin menjauh dari Gereja dan sakramen. Ia ingin merangkul mereka kembali, menemukan iman dan keperayaan mereka terhadap Gereja Katolik. Acutis lalu membuat riset mendalam tentang mukjizat Ekaristi di seluruh dunia sejak awal kekristenan sampai masa sekarang dan mendokumentasikannya sejak usia 11 tahun. Hasil dari riset tersebut kemudian diterbitkan di website-nya yang mulai dirintis pada usianya ke-14 tahun. Ia menyatakan di website-nya “Semakin kita sering menerima Ekaristi, semakin kita menyerupai Yesus, sehingga kita akan mengecap rasa surga di bumi ini.”. Acutis juga pernah mempopulerkan istilah “Ekaristi adalah jalan tol ke surga.”.
Menghayati Penderitaan
Ketika ia tidak sedang menulis program komputer atau bermain sepak bola, Acutis dikenal di lingkungannya karena kebaikannya terhadap mereka yang hidup di pinggiran. Ia menjadi sukarelawan di dapur umum di Milan. Ibunya juga berkata “Dengan tabungannya, ia membeli kantong tidur untuk para tunawisma dan di malam hari ia membawakan mereka minuman panas.”
Beato Carlo Acutis. Sumber: Twitter Infobae America
Saat usianya yang ke-15, Acutis didiagnosis menderita leukemia. Ia mempersembahkan penderitaannya untuk Paus Benediktus XVI dan Gereja di mana ia mengatakan “Aku mempersembahkan semua penderitaan yang harus aku derita untuk Tuhan, untuk Paus, dan Gereja.” Carlo Acutis menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 12 Oktober 2006 dan dimakamkan di Assisi sesuai permintaannya.
Ditetapkan sebagai Beato, Teladan bagi Milenial
Proses Acutis untuk mendapat gelar suci dimulai pada tahun 2013. Ia ditetapkan sebagai “Yang Mulia” pada tahun 2018. Untuk diterima sebagai Beato, diperlukan suatu mukjizat yang terjadi dan diakui resmi oleh Vatikan. Mukjizat yang mengantar Acutis menjadi Beato adalah mukjizat penyembuhan seorang anak kecil di Brazil yang menderita penyakit kanker pankreas yang jarang terjadi di dunia pada tahun 2013. Pada 14 November 2019, Dewan Medis yang memproses kanonisasi menyimpulkan memang benar terjadi mukjizat penyembuhan lewat perantaraan doa Acutis.
Setelah memenuhi syarat menjadi Beato, akhirnya pada tanggal 10 Oktober 2020 Carlo Acutis dinobatkan sebagai Beato atau yang berbahagia. Paus Fransiskus menjadikan Acutis sebagai teladan bagi para milenial dengan menulis bahwa Acutis mampu menggunakan internet dan teknologi untuk menyebarkan injil. “Memang benar bahwa dunia digital dapat membuat Anda menghadapi risiko ketergantungan, apatis, dan (hanya) kesenangan sesaat. Namun, jangan lupa bahwa ada anak muda, bahkan ada yang menunjukkan kreativitas bahkan jenius. Itulah yang terjadi pada Beato Carlo Acutis,” tulis Paus pada tahun 2018.
Paus melanjutkan, “Carlo sangat menyadari bahwa seluruh perangkat komunikasi, periklanan, dan jejaring sosial dapat digunakan untuk membuai kita, membuat kita kecanduan konsumerisme dan membeli barang terbaru di pasar, terobsesi dengan waktu luang, terjebak dalam hal-hal negatif. Namun, dia tahu bagaimana menggunakan teknologi komunikasi baru untuk menyebarkan Injil, untuk mengomunikasikan nilai-nilai dan keindahan.”
Pesan untuk Kaum Muda
Kita pun sebagai umat Kristiani dapat belajar dari keteladanan hidup Beato Carlo Acutis. Di tengah pengaruh dunia yang begitu mengikat ternyata roh kudus masih bekerja di dalam diri kita jika kita membuka hati untuk kehadiran-Nya dan taat menjalankan ajaran-Nya. Beato Carlo Acutis menjadi bukti nyata bahwa di era sekarang masih ada anak muda yang tekun menjalankan ajaran Yesus dan menggunakan kemajuan teknologi untuk memberitakan injil. Harapannya, generasi muda Katolik juga semakin semangat mengikuti kristus serta berusaha menggunakan teknologi dengan bijak dan menjadikannya sebagai sarana untuk berbagi kebaikan.
Referensi:
Wikipedia
Kompas.com
by giasinta | Jun 19, 2020 | Artikel, Misa
Oleh: Giasinta Berlianti
Pada Minggu (14/6) Gereja St. Maria Assumpta Babarsari mengadakan Misa Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus melalui live streaming YouTube. Misa ini dipimpin oleh Romo Robertus Tri Widodo, Pr. Romo yang akrab disapa dengan Romo Tri ini ketika homili mengungkapkan bahwa biasanya pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, anak-anak di Paroki Babarsari menerima komuni pertama. “Tetapi karena pandemi, penerimaan komuni pertama belum dapat dilaksanakan. Kita semua berharap supaya pandemi ini segera berakhir agar semua umat, bukan hanya yang menerima komuni pertama, dapat hadir untuk menyambut Tubuh Kristus,” ujarnya.
Pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Tuhan Yesus bersabda “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum daarah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan, dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yohanes 6:53-58). Romo Tri mengatakan bahwa jika kita mendengarkan kutipan injil tersebut, berarti kita diundang untuk makan dan minum darah-Nya. “Rasanya memang ngeri ya, kayak film horor. Tetapi, makna sesungguhnya adalah bagaimana kita semua memahami peristiwa ini sebagai iman yang luar biasa sebagai murid Kristus,” lanjut Romo Tri.
Ketika misa berlangsung, umat biasanya mempersembahkan uang, hasil bumi, dan lainnya untuk gereja. “Tetapi sebenarnya, seharusnya kita mempersembahkan semua, baik suka, duka, maupun pengharapan. Semua itu disatukan dengan kurban salib di altar-Nya yang kudus,” kata Romo Tri. Menurutnya, pada saat itulah terjadi peristiwa iman yang luar biasa. “Dalam konsekrasi, roti dan anggur yang dipersembahkan akan berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus,” lanjutnya. Peristiwa itu memberikan makna bagaimana korban Kristus dihadirkan ulang, supaya roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. “Roti itu sejatinya Tubuh Kristus sungguhan. Ketika minum anggur, karena konsekrasi itu berubah menjadi Darah Kristus,” tegas Romo Tri.
Romo Tri juga mengungkapkan bahwa setiap kita sebagai manusia disucikan dan mengalami keselamatan. Ekaristi menjadi perayaan keselamatan bagi setiap manusia yang percaya pada Kristus. “Maka, kita semua diundang untuk mensyukuri ekaristi yang bisa kita rayakan setiap hari, meskipun secara streaming atau virtual,” ujarnya. Menurutnya, setiap umat di masa pandemi pasti berharap bahwa meski secara virtual, esesnsi ekaristi tidak berkurang. “Tuhan memberikan kita kehidupan kekal, membangkitkan kita di akhir zaman, dan melindungi hidup kita,” tambah Romo Tri.
Sebagai manusia, kita semua diundang untuk menyadari pula bahwa ekaristi bukanlah makanan biasa. “Ekaristi adalah pengorbanan Kristus untuk mengalami keselamatan. Oleh karena itu, baiklah kita bersehati dengan Yesus,” ujar Romo Tri. Romo Tri mengatakan bahwa buah ekaristi sama dengan hidup baru. “Maka, aneh rasanya bila orang beriman tidak mau bersatu dengan gerejanya,” tambahnya. Terakhir, Romo Tri mengajak semua umat untuk merayakan ekaristi di masa pandemi ini dengan iman dan penuh rasa syukur.
by giasinta | May 11, 2020 | Artikel
Wawancara dengan Mgr. Robertus Rubiyatmoko
Oleh: Florence Elisabeth
Sakramen rekonsiliasi merupakan nama lain dari sakramen tobat. Dalam Kanon 959 tertulis bahwa dalam sakramen tobat umat beriman mengakukan dosa-dosanya kepada pelayan yang legitim atau sah, menyesalinya serta berniat memperbaiki diri, lewat absolusi yang diberikan oleh pelayan itu, memperoleh ampun dari Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukannya sesudah baptis, dan sekaligus diperdamaikan kembali dengan Gereja yang mereka lukai dengan berdosa. Bapa Uskup menegaskan bahwa Sakramen tobat adalah sakramen dengan peniten (orang yang bertobat) mengaku dosa yang sudah dilakukan kepada pelayan yang legitim atau sah, yakni kepada imam yang telah ditahbiskan secara sah dan telah mendapatkan fakultas/kewenangan dari Uskup Diosesan untuk mendengarkan pengakuan dosa.
Dalam Kanon 959 tertulis bahwa pengampunan Tuhan melalui sakramen tobat hanya akan diberikan jika kita melakukan penyesalan yang serius yakni sikap untuk bertobat meninggalkan dosa dan memperbaiki diri lagi supaya kita lebih dekat dengan Tuhan. Harus ada tekad dan niat untuk mau memperbaiki diri. “Jika kita tidak mengalami penyesalan maka pengampunan itu tidak akan diberikan kepada kita,” kata Bapa Uskup.
Lalu apa yang kita terima setelah mengaku dosa? Menurut Bapa Uskup, melalui absolusi, kita sebagai yang mengaku dosa menerima pengampunan Allah dari semua dosa yang pernah dilakukannya sesudah dibaptis dan belum dilakukan. Dengan demikian, kita akan mengalami pendamaian kembali dengan Allah. Pendamaian ini membawa serta pemulihan atas semua hak dan kewajibannya sebagai anggota gereja, termasuk menyambut komuni kudus.
“Ini adalah konteks sakramen tobat termasuk rahmat yang terima dalam pengakuan dosa ini,” ujarnya. Lalu bagaimana perayaannya? Dalam Kanon 960 ditegaskan bahwa pengakuan pribadi dan utuh serta absolusi merupakan cara biasa satu-satunya dengan orang beriman yang sadar akan dosa beratnya diperdamaikan kembali dengan Allah dan Gereja; hanya ketidakmungkinan fisik atau moril saja membebaskannya dari pengakuan semacam itu, dalam hal rekonsiliasi dapat diperoleh juga dengan cara lain. Bapa Uskup mengajarkan bahwa pengakuan dosa umum yang dianjurkan gereja adalah datang pada Imam dan mengaku dosa disertai penyesalan yang mendalam. Kemudian, Imam memberikan absolusi dan penitensi atas dosa kita. Dengan cara seperti itu jelas tandanya bahwa kita telah diampuni dan dibebaskan kembali dari dosa. “Terdapat pengecualian jika tidak mungkin dilakukan karena kondisi tertentu dimungkinkan mendapat pengampunan dosa dengan cara lain,” kata Bapa Uskup.
Menurutnya, dalam Surat Edaran Uskup tanggal 16 Maret 2020 yaitu mengenai pengakuan dosa melalui absolusi umum yakni pengakuan dosa secara massal, romo memberikan abosuli atau pengampunan secara umum tanpa didahului pengakuan dosa secara pribadi. Absolusi umum hanya dapat diberikan sejauh tuntutan Kanon 962 terpenuhi, yakni pertama-tama ada penyesalan atas semua dosa sehingga masing-masing berdisposisi atau memiliki kondisi batin yang layak. Kedua, secara personal membangun semanagat total yang sejati dengan memperbaiki diri dengan tidak mengulang perbuatan dosanya. Ketiga, berniat untuk sesegera mungkin mengakukan dosa-dosa berat satu per satu pada saatnya yang tepat setelahnya.
Lalu, bagaimana jika kita tidak mungkin lagi untuk mengaku dosa dan menerima absolusi umum dalam keadaan pandemi Covid-19 dan diharuskan untuk jaga jarak? Mungkinkah kita menerima pengampunan dari Tuhan secara langsung? “Dalam tradisi Gereja sangat dimungkinkan kita menerima pengampunan dalam kondisi seperti ini, yaitu dengan tobat batin,” kata Bapa Uskup.
Tobat batin adalah penyesalan yang sungguh-sungguh serius dan mendalam atas semua dosa yang telah dilakukan merupakan salah satu langkah konkret untuk mendapatkan pengampunan Tuhan (lih. KGK 1431). Bapa Uskup mengatakan bahwa pertama, tobat batin sempurna mengandaikan adanya penyesalan yang sungguh-sungguh. Kedua, tekad dan kehendak serius untuk memperbaiki diri. Ketiga, tekad dan kehendak untuk sesegera mungkin menghadap seorang imam dan mengakukan dosa-dosanya.
Ketika kita tidak bertemu dengan romo untuk menerima sakramen tobat secara pribadi dan ada kemungkinan menerima absolusi umum, inilah saatnya kita datang langsung kepada Allah. Berbicara langsung kepada Allah Bapa di surga dan mohon pengampunan. Bapa Uskup menyatakan bahwa dalam tobat batin harus ada penyeselan yang mendalam dengan berbagai cara. Pertama, ibadat pribadi atau bersama di tengah keluarga dengan ada katakesete tertentu sehingga ada penyesalan dan tekad yang serius untuk berbaik kepada Allah. Kedua, mengaku dosa dengan mendoakan doa tobat, membuat penitensi secara bersama-sama, misalnya Doa Rosario, Doa Bapa Kami, dan Doa Salam Maria. Ketiga, mohon pengampunan Tuhan.
Lalu, untuk OMK, bolehkah kita mengaku dosa dengan telepon atau video call? “Secara prinsip mengaku dosa dengan telepon atau video call tidak boleh karena pertama, pengakuan dosa mengandaikan kehadiran fisik guna menampakkan sisi sakramentalilas. Kedua, kewajiban menjaga rahasia sakramental pengakuan dosa sebagaimana diatur dalam Kanon 983 dilanggar yaitu segala sesuatu, termasuk pengakuan dosa yang sudah diunggah di jaringan media sosial tetapakan tersimpan disana dan dapat diunduh atau diakses oleh siapapun yang mampu. Dengan cara ini kerahasiaan sakramental (sigillum sacramenti) tidak terjamin dan dapat menimbulkan masalah pastoral dan sosial,” jelas Bapa Uskup.
“Apakah kerahasiaanya terjamin jika kita mengaku dosa kepada romo?” ujar salah satu OMK. Bapa Uskup mejawab bahwa setiap romo yang mempunyai informasi dari pengaku dosa itu tidak boleh membawa rahasia tersebut keluar atau memberitahu ke semua orang. Bahkan, jika romo membocorkan rahasia pengakuan dosa tersebut maka terdapat hukuman yaitu ekskomunikasi. Dengan demikian, tidak hanya seorang romo yang menjaga rahasia pengakuan dosa. Umat juga harus menjaga rahasia pengakuan dosa yang secara tidak sengaja terdengar dari seseorang yang mengaku dosa. Maka, kita harus benar-benar menjaga kerahasiaan dosa kita.
Bapa Uskup mengajak kita semua untuk membangun sesal tobat yang serius dan sejati. Kemudian jika memungkinkan, hendaknya kita datang kepada romo, mengaku dosa secara langsung. Namun, jika tidak memungkinkan, kita dapat memperoleh absolusi umum dengan datang langsung kepada Allah Bapa dan mohon pengampunan-Nya. Ini persis yang dianjurkan oleh Paus Fransiskus dalam homilinya pada 20 Maret 2020, “Datanglah, bicara langsung dan Allah Bapa akan mengampuni dengan sentuhan,”. Terakhir, Bapa Uskup juga mengimbau agar kita semua harus tetap ceria, tetap gembira, dan jangan lupa untuk selalu bahagia (Flo/Gia).