Reporter: Maria Fransiska

Dalam Gereja Katolik, beatifikasi (dari bahasa Latin “beatus”, yang berbahagia) adalah suatu pengakuan atau pernyataan yang diberikan oleh Gereja terhadap orang yang telah meninggal bahwa orang tersebut adalah orang yang berbahagia. Beatifikasi diberikan kepada orang yang dianggap telah bekerja sangat keras untuk kebaikan atau memiliki keistimewaan secara spiritual. Seseorang yang mendapat beatifikasi diberi gelar beato untuk laki-laki dan beata untuk perempuan. Proses ini merupakan tahap ketiga dari empat tahapan dalam proses kanonisasi yang biasanya dilakukan setelah mendapat gelar venerabilis (yang pantas dihormati) sebelum mendapat gelar santo atau santa.

Carlo Acutis tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Katolik. Acutis yang diberi gelar Beato pada 10 Oktober ini tercatat sebagai remaja yang memberikan pengabdian besar dalam Ekaristi dan menjadi milenial pertama yang diberkati dengan gelar Beato. Dilansir dari Kompas.com, Carlo Acutis dikenal juga sebagai “Santo Pelindung Internet” meskipun sebelumnya sudah ada satu, akademisi abad ke-7, Isidore de Seville. Mari kita mengenali lebih dalam tentang sosok Carlo Acutis.

Hidup Ekaristis

Acutis lahir pada tanggal 3 Mei 1991, di London, Inggris, tempat orang tuanya bekerja. Beberapa bulan kemudian, orang tuanya, Andrea Acutis dan Antonia Salzano, memutuskan untuk pindah ke Milan saat ia berusia 5 bulan. Acutis yang  dibaptis ketika bayi ini belum pernah diajarkan iman Katolik oleh keluarganya. Walaupun begitu, saat masih balita dan belum bersekolah  Acutis sudah menunjukan cintanya kepada gereja. Ibu Acutis bercerita bahwa sejak kecil, setiap melewati gedung-gedung gereja di Milan, Acutis akan meminta ibunya untuk masuk  melihat Yesus dan meminta ibunya meletakan bunga di bawah kaki Bunda Maria. Disinilah awal di mana Acutis menyentuh hati ibunya untuk kembali mempelajari iman katolik dengan mengikuti kursus teologi.

Beato Carlo Acutis. Sumber: Kompas.com

Pada usianya yang ke-7 tahun, Acutis menerima Komuni Pertama di Biara St. Ambrogio ad Nemus. Sejak saat itu, Acutis berusaha menghadiri setiap misa di gereja. Acutis tidak hanya mengikuti misa hari Minggu, tetapi ia juga tidak pernah absen mengikuti misa harian. Ia juga rajin melakukan pengakuan dosa setiap minggunya. Tindakan Acutis yang rajin mengikuti ekaristi membuat hati keluarganya tergerak untuk kembali ke gereja dan rajin mengikuti misa harian. Antonia Salzano, Ibu Acutis terus terang berkata bahwa sebelum Acutis mempengaruhinya untuk mencintai Ekaristi, ia hanya misa tiga kali, yaitu pada saat dilahirkan, saat mendapat komuni pertama, dan saat menikah. Acutis rajin mengikuti Ekaristi bukan berasal dari desakan keluarganya melainkan keinginan dirinya sendiri.

Kekuatan Acutis berasal dari Ekaristi dan Bunda Maria. Sejak remaja, Acutis rutin berdoa Rosario setiap hari dan di samping devosi ke santo-santa. Ia sering menghabiskan waktu di ruang adorasi. Ia pernah berkata, “Ketika kita sering terpapar matahari kulit kita akan menjadi coklat. Ketika kita menempatkan diri di depan Ekaristi, kita akan menjadi orang suci,”.

Internet sebagai Sarana Pewartaan

Acutis dikenang sebagai anak yang periang dan suka membela teman-temannya yang di-bully, terutama anak-anak disabilitas. Ketika orang tua seorang temannya akan bercerai, Acutis juga melakukan upaya khusus yaitu membawa temannya itu ke dalam keluarganya. Layaknya anak remaja lain, Acutis juga suka bermain sepak bola dan video games. Walaupun ia senang bermain play station tetapi ia bisa mengontrol diri untuk bermain hanya satu jam di setiap pekan. Acutis juga menunjukan kegemarannya dalam hal membaca dan mempelajari ilmu komputer. Pada saat usianya yang ke-8 tahun, Acutis sudah memiliki bakat besar sebagai programmer. Hal yang menarik di sini bukanlah dari talentanya saja, tetapi juga perjalanannya menggunakan talenta tersebut sebagai sarana menjadi misionaris internet.

Acutis prihatin melihat umat Kristiani yang makin menjauh dari Gereja dan sakramen. Ia ingin merangkul mereka kembali, menemukan iman dan keperayaan mereka terhadap Gereja Katolik. Acutis lalu membuat riset mendalam tentang mukjizat Ekaristi di seluruh dunia sejak awal kekristenan sampai masa sekarang dan mendokumentasikannya sejak usia 11 tahun. Hasil dari riset tersebut kemudian diterbitkan di website-nya yang mulai dirintis pada usianya ke-14 tahun. Ia menyatakan di website-nya “Semakin kita sering menerima Ekaristi, semakin kita menyerupai Yesus, sehingga kita akan mengecap rasa surga di bumi ini.”. Acutis juga pernah mempopulerkan istilah “Ekaristi adalah jalan tol ke surga.”.

Menghayati Penderitaan

Ketika ia tidak sedang menulis program komputer atau bermain sepak bola, Acutis dikenal di lingkungannya karena kebaikannya terhadap mereka yang hidup di pinggiran. Ia menjadi sukarelawan di dapur umum di Milan. Ibunya juga berkata “Dengan tabungannya, ia membeli kantong tidur untuk para tunawisma dan di malam hari ia membawakan mereka minuman panas.”

Beato Carlo Acutis. Sumber: Twitter Infobae America

Saat usianya yang ke-15, Acutis didiagnosis menderita leukemia. Ia mempersembahkan penderitaannya untuk Paus Benediktus XVI dan Gereja di mana ia mengatakan “Aku mempersembahkan semua penderitaan yang harus aku derita untuk Tuhan, untuk Paus, dan Gereja.” Carlo Acutis menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 12 Oktober 2006 dan dimakamkan di Assisi sesuai permintaannya.

Ditetapkan sebagai Beato, Teladan bagi Milenial

Proses Acutis untuk mendapat gelar suci dimulai pada tahun 2013. Ia ditetapkan sebagai “Yang Mulia” pada tahun 2018. Untuk diterima sebagai Beato, diperlukan suatu mukjizat yang terjadi dan diakui resmi oleh Vatikan. Mukjizat yang mengantar Acutis menjadi Beato adalah mukjizat penyembuhan seorang anak kecil di Brazil yang menderita penyakit kanker pankreas yang jarang terjadi di dunia pada tahun 2013. Pada 14 November 2019, Dewan Medis yang memproses kanonisasi menyimpulkan memang benar terjadi mukjizat penyembuhan lewat perantaraan doa Acutis.

Setelah memenuhi syarat menjadi Beato, akhirnya pada tanggal 10 Oktober 2020 Carlo Acutis dinobatkan sebagai Beato atau yang berbahagia. Paus Fransiskus menjadikan Acutis sebagai teladan bagi para milenial dengan menulis bahwa Acutis mampu menggunakan internet dan teknologi untuk menyebarkan injil. “Memang benar bahwa dunia digital dapat membuat Anda menghadapi risiko ketergantungan, apatis, dan (hanya) kesenangan sesaat. Namun, jangan lupa bahwa ada anak muda, bahkan ada yang menunjukkan kreativitas bahkan jenius. Itulah yang terjadi pada Beato Carlo Acutis,” tulis Paus pada tahun 2018.

Paus melanjutkan, “Carlo sangat menyadari bahwa seluruh perangkat komunikasi, periklanan, dan jejaring sosial dapat digunakan untuk membuai kita, membuat kita kecanduan konsumerisme dan membeli barang terbaru di pasar, terobsesi dengan waktu luang, terjebak dalam hal-hal negatif. Namun, dia tahu bagaimana menggunakan teknologi komunikasi baru untuk menyebarkan Injil, untuk mengomunikasikan nilai-nilai dan keindahan.”

Pesan untuk Kaum Muda

Kita pun sebagai umat Kristiani dapat belajar dari keteladanan hidup Beato Carlo Acutis. Di tengah pengaruh dunia yang begitu mengikat ternyata roh kudus masih bekerja di dalam diri kita jika kita membuka hati untuk kehadiran-Nya dan taat menjalankan ajaran-Nya. Beato Carlo Acutis menjadi bukti nyata bahwa di era sekarang masih ada anak muda yang tekun menjalankan ajaran Yesus dan menggunakan kemajuan teknologi untuk memberitakan injil. Harapannya, generasi muda Katolik juga semakin semangat mengikuti kristus serta berusaha menggunakan teknologi dengan bijak dan menjadikannya sebagai sarana untuk berbagi kebaikan.

Referensi:

Wikipedia
Kompas.com