Puncta 21.04.22 || Kamis Oktaf Paskah || Lukas 24: 35-48

 

Kentut; Tidak Terlihat Namun Ada.

SAMPAI sekarang masih ada saja orang yang tidak percaya kalau virus Covid-19 itu sungguh-sungguh ada. Bahkan itu dikotbahkan di mimbar-mimbar oleh orang-orang beragama.

Sampai sekarang masih ada yang menolak untuk divaksin. Mereka dipicu oleh pendapat yang mengatakan bahwa berita tentang virus itu mengada-ada dan dilebih-lebihkan.

Mereka tidak percaya karena tidak bisa melihat virus secara kasat mata. Mereka ingin bukti secara langsung, dapat dilihat dan dirasakan oleh panca indera.

Bahkan ada yang bertanya, ”Apakah covid-19 itu benar-benar ada?” kata dr. Reisa Broto Asmoro, tim Gugus Tugas Covid dalam konperensi pers di BNPB.

Ada anggapan pula yang mengatakan bahwa tidak ada kematian karena covid-19.

“Harus diluruskan. Fakta-fakta kasus kematian karena covid-19 itu ada.” Kata dr. Agus Dwi Susanto, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Banyak orang tidak percaya kalau tidak ada buktinya. Orang harus melihat secara kasat mata, baru dia akan percaya. Kalau tidak, sulit untuk menyadarkannya.

Udara atau angin itu tidak bisa dilihat, tapi orang percaya bahwa ada udara. Kentut itu tidak terlihat tapi bisa menggegerkan banyak orang. Baunya tidak bisa kita lihat tetapi itu ada dan bisa bikin mual seluruh penumpang.

Selain angin/udara, bau, suara, rasa yang tak terlihat, ada juga bakteri, virus, mikro organisme lain yang tidak kasat mata.

Karena keterbatasan kita, sehingga tidak bisa melihat, namun semua itu ada.

Inilah kesulitan kita manusia modern yang selalu menuntut bukti nyata.

Begitu juga dengan kisah kebangkitan. Para murid masih tetap ragu-ragu ketika Yesus tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka.

Mereka menyangka melihat hantu. Maka Yesus menyapa mereka, “Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan di dalam hatimu? Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku.”

Karena mereka belum percaya juga, Yesus makan ikan goreng di depan mereka.

Kalau Yesus minta bunga mawar, melati, kantil atau kemenyan itu bisa diragukan. Ini Dia minta ikan goreng dan makan di depan para murid-Nya!!

Yesus membuktikan bahwa Dia sungguh-sungguh hidup seperti mereka.

Pesan-Nya kepada kita adalah jangan pernah ragu. Percayalah bahwa Yesus hidup. Kendati tidak melihat namun percaya. Inilah iman yang sesungguhnya.

Sebagaimana para murid diajak memahami isi Kitab Suci yang menubuatkan tentang Yesus, kita pun bisa membaca Kitab Suci untuk memahami dan lebih mengenal siapa Yesus yang hidup, berkarya,mati di salib dan bangkit dengan mulia.

Pertanyaan reflektif: Di dunia sekitar kita ini ada banyak hal yang tidak kelihatan namun ada, dan itu kita terima. Apakah anda percaya kendati tidak melihat langsung Yesus yang bangkit?

Pergi ke Penajem lewat Sampit,
Mau melihat Ibu kota Negara.
Tuhan Yesus sungguh bangkit,
Kita tidak melihat namun percaya.

Cawas, aku percaya….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.04.22 || Rabu Oktaf Paskah || Lukas 24: 13-35

 

Teman Perjalanan

WAKTU tugas di Simpangdua, saya jarang turun ke Ketapang lewat Sukadana karena tidak hapal rute jalannya.

Baru dua kali saya melewati di situ. Itupun karena ditemani Romo Made dengan sepeda motor. Jalur ini memang lebih singkat dan dekat.

Saya masih hapal kalau melewati Stasi-stasi Bukang, Banjur, Otong, Merangin. Tetapi sudah tak tahu jalan selepas Lembawang, harus menyeberang pakai kelotok ke Mentaba, lanjut ke Melano, Sukadana, Siduk sampai Ketapang.

Saya lebih suka lewat jalur panjang; Simpangdua- Laur -Sandai –Tayap-Tembelina- Indotani-Pelang- Ketapang.

Jalur ini banyak tempat singgah untuk melepas lelah sambil minum kopi atau juice di Tayap. Kalau mau makan sate kambing ada warung di Sungai Rayak.

Perjalanan panjang itu sangat melelahkan. Kalau hujan banyak genangan berlumpur. Kalau kemarau dihadang oleh debu tebal.

Kalau ada teman dalam perjalanan, rasanya aman dan tenang. Kalau motor rusak, ban kempes atau kehabisan bensin, ada teman yang menolong. Capek dan penat hilang karena ada teman.

Kita bisa saling ngobrol dan menguatkan. Menempuh perjalanan jauh, berat dan melelahkan perlu ada teman. Kita bisa saling berbagi, menolong dan menghibur.

Itulah yang dialami dua murid yang mengadakan perjalanan pulang ke Emaus. Mereka membawa beban kekecewaan yang berat.

Harapan yang selama ini sangat tinggi, jatuh terpuruk sangat dalam. Kesedihan ditinggalkan sang idola atau yang dikasihi menjadi duka yang membekas. Mereka putus asa dan lunglai tak bersemangat. Di dalam Kitab Suci disebut muram, sedih dan lamban hati.

Namun tiba-tiba ada “teman” yang nimbrung dalam perjalanan. Yesus datang. Namun karena sedih dan kecewa yang tak terkira, mata hati mereka tak mampu mengenal-Nya.

Ia menguatkan mereka dengan menerangkan isi Kitab Suci. Bahwa semua itu harus terjadi untuk memenuhi nubuat para nabi. Perbincangan menjadi asyik.

Beban menjadi ringan, tak terasa. Tahu-tahu sudah mendekati kampung.

Mereka mengajak “teman” singgah karena hari sudah petang.

Terjadilah!! Ketika memecah roti untuk makan, mereka baru terbuka hatinya. Mereka melihat Yesus membagi roti. Mereka baru sadar bahwa “teman” perjalanan tadi adalah Tuhan sendiri.

Yesus hadir tanpa mereka sadari. Hati mereka berkobar-kobar. Perjumpaan yang mengubah; dari sedih jadi sukacita; dari lamban jadi semangat, muram jadi berkobar-kobar.

Pertanyaan reflektif: Apakah anda pernah mengalami ditemani Tuhan dalam peziarahan hidup yang sulit dan berat?

Melalui siapakah Tuhan hadir menemani anda? Bagaimana pengalaman itu mengubah hidup anda?

Berjemur diri di panas matahari,
Hanya dinaungi oleh daun-daun jati.
Sungguh bahagia punya teman sejati,
Selalu hadir meringankan beban di hati.

Cawas, Kaulah teman sejati…..
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 19.04.22 || Selasa Oktaf Paskah || Yohanes 20: 11-18

 

“Paraban” atau Nama Panggilan.

SETIAP orang hidup dalam suatu komunitas. Kelompok yang akrab erat bisa terbentuk menjadi satu keluarga.

Saking akrabnya kita memberi julukan atau nama panggilan kepada teman-teman kita. Orang menyebutnya nama “Paraban.”

Di Seminari Menengah kami tinggal bersama dalam suatu asrama selama empat tahun. Kami menjalani kehidupan dari bangun pagi sampai tidur malam selalu bersama.

Teman-teman itu yang awalnya tidak saling kenal lalu menjadi akrab dan berubah menjadi saudara yang sangat dekat.

Saking eratnya lalu muncul nama-nama julukan atau nama panggilan.

Teman yang suaranya menggelegar dijuluki “Bledheg.”

Teman yang badannya gempal dan hitam dijuluki “Holmes.”

Ada julukan “Jaran” karena larinya kencang. Ada sebutan “Cecak Garing” karena badannya kurus kering.

Yang banyak jerawat sebutannya “Kukul.”

Ada pula yang dipanggil Singkong, Gethuk, Paijo, mBak Sri, Cakil, Bemo Cilik, Bemo Gede atau sebutan tempat asalnya, Edi Klepu, Edy Boro, Hari Dampit, Bambang Baciro.

Ketika acara reuni, kita menyebut nama “paraban” atau panggilan itu dan langsung ingat kembali orang yang dimaksud.

Sebutan atau penggilan itu menunjukkan hubungan yang akrab dan pengenalan secara pribadi yang mendalam. Nama paraban menunjukkan kedekatan hubungan dan penerimaan diri apa adanya.

Maria Magdalena bersedih karena merasa kehilangan orang yang disayanginya. Ia bingung karena jenasah Yesus tidak ada di makam.

Dalam kebingungan, kesedihan dan keputus-asaan, dia mengambil kesimpulan salah. Ia menduga orang yang berdiri itu adalah penjaga makam yang mengambil jenasah gurunya.

Padahal yang berdiri di situ adalah Yesus. Namun karena pikiran dan hati kacau, ia tidak mengenali-Nya.

Seperti teman lama yang tidak pernah bertemu tidak mengenali wajahnya.

Namun setelah disebutkan nama “paraban” atau panggilan akrabnya, orang itu baru mengenal. Suasana menjadi akrab mesra dan dekat, riang gembira.

Ketika Yesus menyebut namanya, “Maria,” barulah perempuan itu mengenal suara gurunya.

Sapaan dengan tekanan dan ciri tertentu mengingatkan kembali akan hubungan pribadi yang istimewa.

Maria mengenal suara itu. Ia menjawab, “Rabuni.”

Ketika namanya disebut, Maria mengenal suara itu. Ia menjadi akrab dan dekat. Ia ingin memeluk-Nya.

Tetapi Yesus berpesan, “Janganlah engkau memegang Aku, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa Aku sekarang akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.”

Maria kemudian bersaksi dan berkata kepada murid-murid-Nya, “Aku telah melihat Tuhan.”

Yesus menghendaki sukacita Paskah tidak boleh hanya dinikmati sendiri, tetapi mesti diwartakan, dibagikan kepada orang lain.

Kita tidak boleh berhenti pada perasaan sentimental tetapi kita diutus untuk suatu tugas pewartaan.

Pertanyaan refleksi, seberapa dekat hubungan kita dengan Yesus? Apakah kita bisa mengenal sapaan sayang-Nya pada kita?

Tergerakkah hati kita untuk bersaksi? Mari kita bercermin dari pengalaman Maria Magdalena ini.

Nama paraban nama kesayangan,
Lucu-lucu namun menggemaskan.
Tugas kita semua setelah kebangkitan,
Berani bersaksi dalam tugas perutusan.

Cawas, mari kita bersaksi ……
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 18.04.22 || Senin Oktaf Paskah || Matius 28: 8-15

 

Bouwheer

KITA sering mendengar istilah “Bohir.” Kata itu berasal dari Bahasa Belanda “Bouwheer” yang artinya kontraktor.

Akhir-akhir ini istilah Bohir dihubungkan dengan proyek politik. Pemilik modal yang menggelontorkan sejumlah uang untuk tujuan tertentu.

Bohir juga berarti rentenir politik atau semacam calo yang mendanai seorang kontentan dalam pemilihan. Bohir bisa menentukan menang kalahnya seorang kandidat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pesta demokrasi dalam pemilihan pejabat atau caleg sering muncul politik bagi-bagi uang. Di sinilah peran seorang bohir sangat menentukan.

Rakyat hanya mendapat limapuluh atau seratus ribu, menderitanya bisa bertahun-tahun. Para bohirlah yang akan meraup untung. Jadinya pesta demokrasi menjadi “Pesta Bohir” bukan pesta rakyat.

Para bohir juga bisa membiayai demonstrasi untuk menolak kebijakan atau menyebarkan berita-berita bohong sebagai bentuk perlawanan.

Mereka membuat narasi-narasi negatif yang ingin menjatuhkan lawan politiknya.

Pada zaman Yesus ternyata juga ada kelompok Bohir. Ketika para perempuan pergi ke makam, mereka berjumpa dengan Yesus yang bangkit.

Yesus memberi salam dan berkata, “Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku.”

Para prajurit yang menjaga makam Yesus melaporkan apa yang terjadi kepada imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi.

Mereka mengambil keputusan untuk membuat narasi bohong. Lalu membayar serdadu-serdadu untuk mengatakan bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri jenasah Yesus, ketika para serdadu sedang tidur.

Para bohir ini menjamin mereka jika ada masalah dengan walinegeri. Para Bohir tidak bekerja sendirian. Mereka bergerak dengan teman-teman satu aliran.

Ada imam-imam dari kelompok agama. Ada tokoh tua-tua dari bangsa Yahudi. Mereka juga punya akses ke pejabat pemerintah seperti walinegeri.

Jangan heran ya kalau di sini juga berkeliaran para bohir. Mereka punya agenda politik. Agenda paling dekat adalah 2024. Pengalaman pilkada DKI bisa dicopy paste untuk sebuah nafsu politik.

Kalau tidak hati-hati, NKRI bisa pecah kalau jatuh ke pelukan bohir-bohir politik yang hanya mencari keuntungan pribadi dan kelompok.

Mereka tidak peduli dengan kebenaran. Mereka akan melawan kebenaran. Seperti para imam kepala dan tua-tua Bangsa Yahudi.

Kebenaran bahwa Yesus bangkit dilawan dengan narasi kebohongan. Hal itu terjadi sampai sekarang.

Hari Raya Kebangkitan Tuhan ini mengajak kita juga untuk bangkit melawan narasi kebohongan.

Jangan hanya diam saja. Mereka menggunakan teori Hitler bahwa kebohongan yang disampaikan terus menerus suatu saat akan diterima sebagai kebenaran.

Mari kita terus sebarkan kebenaran. Hanya dengan kebenaran, kita akan damai dan aman.

Matahari muncul hanya sebentar,
Sinarnya redup membawa kehangatan.
Jadilah orang waras dan pintar,
Jangan mudah dibohongi demi kepentingan.

Cawas, Sebarkan kebenaran….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 17.04.22 || Hari Raya Paskah || Yohanes 20: 1-9

 

Belajar Percaya dari Covid-19

MUNCULNYA virus Covid-19 menimbulkan banyak reaksi. Virus ini muncul di Wuhan Cina pertama kali pada akhir 2019. Kemudian tahun 2021 menyebar ke seluruh dunia.

Catatan WHO mengatakan sudah ada 3,9 juta orang meninggal dari 178 juta kasus yang dikonfirmasi.

Reaksi orang beraneka ragam. Ada yang tidak percaya karena virus itu tidak kasat mata. Mereka minta bukti kalau virus ada.

Harus ada bukti kongkrit yang dapat dilihat mata. Lalu mereka menolak keras untuk divaksin.

Ada lagi orang yang masih ragu dan bimbang. Kalau tidak percaya kok banyak korban berjatuhan. Kalau percaya kok tidak bisa membuktikan.

Ada lagi yang membuat cerita bohong tentang konspirasi politiklah, ada yang membuat senjata pemusnah masal atau negara cari untung dengan jualan vaksinlah.

Barulah ketika orang mengalami langsung bagaimana sakit terkena virus, bahkan kemudian ada keluarga yang meninggal, mereka baru yakin bahwa pandemi ini ada nyata di sekitar kita.

Begitulah kiranya dengan peristiwa kebangkitan Yesus. Para murid tidak langsung percaya akan kebangkitan.

Walaupun sebelumnya Yesus pernah mengatakan bahwa Ia akan menderita, ditolak tua-tua dan dibunuh, tetapi akan dibangkitkan Bapa.

Maria Magdalena pergi ke kubur. Ia melihat batu telah terbuka dan jenasah Yesus tidak ada.

Ia lari menjumpai Simon Petrus dan berkata, “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya, dan kami tidak tahu dimana Ia diletakkan.”

Makam kosong! Maria menyimpulkan jenasah Yesus dicuri orang.

Lalu Petrus dan murid lain juga pergi ke kubur. Petrus juga masih ragu. Murid yang lain itu ikut masuk.

Ia melihat makam kosong. Hanya ada kain kafan di tanah dan kain peluh sudah tergulung. Murid yang tidak disebut namanya ini melihat dan percaya.

Waktu itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit dari antara orang mati.

Hanya sebagian kecil orang pada waktu itu yang bisa membaca dan menulis. Bisa dimengerti kalau mereka tidak memahami isi Kitab Suci.

Apalagi waktu Yesus berbicara tentang kebangkitan, mereka malah membicarakan hal lain, siapa yang terbesar di antara mereka.

Jadi butuh proses dan waktu untuk bisa memahami peristiwa kebangkitan.

Seperti kita juga butuh waktu untuk memahami bahwa covid-19 ini sungguh-sungguh ada. Tidak ada iman yang instan.

Lalu seberapa besarkah iman kita kepada Yesus yang bangkit? Apakah kita masih ragu atau sudah yakin bahwa Yesus telah mati dan bangkit untuk keselamatan kita?

Ayo kita tetap maskeran,
Supaya tidak kena penyakit.
Selamat Paskah ya man teman …
Yesus sungguh sudah bangkit.

Cawas, Selamat Paskah bagi anda semua….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 16.04.22 || Sabtu Suci || Markus 16: 1-7

 

La Peste.

ALBERT CAMUS seorang filsuf Perancis menulis novel berjudul “La Peste.” Terjemahan novelnya adalah “Sampar.”

Bencana penyakit pes itu mirip seperti kondisi pandemi virus covid-19 sekarang ini.

Ia menggambarkan perilaku manusia menghadapi pandemi atau bencana yang menakutkan pada akhir abad 14 di Eropa.

Wabah itu menelan korban hampir sepertiga penduduk Eropa waktu itu.

Ketakutan melanda dimana-mana. Kematian seperti orang antri mencari minyak goreng yang tiba-tiba lenyap.

Penggali kubur sampai kelelahan karena keranda datang silih berganti.

Orang dirundung ketakutan yang mencekam akan datangnya malaikat maut.

Ibaratnya, “esuk lara sore pralaya, sore lara esuk mati.” (Pagi sakit sore mati, sore sakit pagi dah masuk peti).

Camus memotret perilaku orang. Ada yang cuek gak mau peduli. Orang tidak mau divaksin, gak mau ikuti prokes.

Ada yang menganggap bencana ini kutukan dari Tuhan. Ada yang menyebarkan hoak, berita bohong penebar ketakutan.

Namun ada pula yang turun tangan membantu seperti dokter Rieux, sang tokoh utama.

Kendati harus kehilangan istri tercinta, namun dia rela mempertaruhkan nyawanya.

Di tengah ketakutan yang mencekam, ada secercah harapan. Novel itu mengajari kita bagaimana menghadapi wabah.

Apakah hanya diam saja, pasrah keadaan? Apakah justru cari kesempatan dalam kesempitan seperti Cottard, Garcia dan Gonzales? Ada yang korupsi alkes, jualan test antigen, tipu-tipu suntikan, dll.

Atau seperti dokter Rieux yang tidak takut menghadapi bencana, tetap menolong orang dan rela berkorban bagi sesamanya.

Suasana pandemi masih kita rasakan sekarang. Namun ada ancaman lain yang juga mengkawatirkan yakni radikalisme, kebencian yang memecah belah warga, politik SARA, kebodohan dan tumbuhnya budaya kematian.

Dalam Injil suasana itu dihadapi para murid. Setelah Yesus disalibkan, para murid tidak terdengar posisinya. Mereka bersembunyi, ketakutan. Mereka mencari aman sendiri.

Namun ada wanita-wanita yang berani melakukan sesuatu. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome. Mereka berani ambil resiko pergi ke makam.

Kendati ada hambatan, ketakutan dan ketidak-jelasan, namun mereka tetap berjalan ke luar.

Keberanian mereka dilengkapi oleh warta penuh kedamaian dari malaikat yang berkata, “Jangan takut.”

Warta malaikat itu menguatkan kita semua, bahwa Allah tidak meninggalkan kita.

Kematian bukan hal yang menakutkan. Yesus mati untuk mengalahkan maut. Ia bangkit dan hidup.

Kita diutus untuk mewartakan kebangkitan-Nya. Warta malaikat itu sekaligus perintah kepada kita untuk tidak takut dan berani bersaksi.

Jangan takut menghadapi apapun. Tuhan telah mengalahkan maut. Ia menang atas kematian dan hidup di tengah kita.

Ada burung perkutut,
Hinggap di pohon cemara.
Jangan pernah takut,
Tuhan slalu bersama kita.

Cawas, selamat Paskah…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr