“Paraban” atau Nama Panggilan.

SETIAP orang hidup dalam suatu komunitas. Kelompok yang akrab erat bisa terbentuk menjadi satu keluarga.

Saking akrabnya kita memberi julukan atau nama panggilan kepada teman-teman kita. Orang menyebutnya nama “Paraban.”

Di Seminari Menengah kami tinggal bersama dalam suatu asrama selama empat tahun. Kami menjalani kehidupan dari bangun pagi sampai tidur malam selalu bersama.

Teman-teman itu yang awalnya tidak saling kenal lalu menjadi akrab dan berubah menjadi saudara yang sangat dekat.

Saking eratnya lalu muncul nama-nama julukan atau nama panggilan.

Teman yang suaranya menggelegar dijuluki “Bledheg.”

Teman yang badannya gempal dan hitam dijuluki “Holmes.”

Ada julukan “Jaran” karena larinya kencang. Ada sebutan “Cecak Garing” karena badannya kurus kering.

Yang banyak jerawat sebutannya “Kukul.”

Ada pula yang dipanggil Singkong, Gethuk, Paijo, mBak Sri, Cakil, Bemo Cilik, Bemo Gede atau sebutan tempat asalnya, Edi Klepu, Edy Boro, Hari Dampit, Bambang Baciro.

Ketika acara reuni, kita menyebut nama “paraban” atau panggilan itu dan langsung ingat kembali orang yang dimaksud.

Sebutan atau penggilan itu menunjukkan hubungan yang akrab dan pengenalan secara pribadi yang mendalam. Nama paraban menunjukkan kedekatan hubungan dan penerimaan diri apa adanya.

Maria Magdalena bersedih karena merasa kehilangan orang yang disayanginya. Ia bingung karena jenasah Yesus tidak ada di makam.

Dalam kebingungan, kesedihan dan keputus-asaan, dia mengambil kesimpulan salah. Ia menduga orang yang berdiri itu adalah penjaga makam yang mengambil jenasah gurunya.

Padahal yang berdiri di situ adalah Yesus. Namun karena pikiran dan hati kacau, ia tidak mengenali-Nya.

Seperti teman lama yang tidak pernah bertemu tidak mengenali wajahnya.

Namun setelah disebutkan nama “paraban” atau panggilan akrabnya, orang itu baru mengenal. Suasana menjadi akrab mesra dan dekat, riang gembira.

Ketika Yesus menyebut namanya, “Maria,” barulah perempuan itu mengenal suara gurunya.

Sapaan dengan tekanan dan ciri tertentu mengingatkan kembali akan hubungan pribadi yang istimewa.

Maria mengenal suara itu. Ia menjawab, “Rabuni.”

Ketika namanya disebut, Maria mengenal suara itu. Ia menjadi akrab dan dekat. Ia ingin memeluk-Nya.

Tetapi Yesus berpesan, “Janganlah engkau memegang Aku, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa Aku sekarang akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.”

Maria kemudian bersaksi dan berkata kepada murid-murid-Nya, “Aku telah melihat Tuhan.”

Yesus menghendaki sukacita Paskah tidak boleh hanya dinikmati sendiri, tetapi mesti diwartakan, dibagikan kepada orang lain.

Kita tidak boleh berhenti pada perasaan sentimental tetapi kita diutus untuk suatu tugas pewartaan.

Pertanyaan refleksi, seberapa dekat hubungan kita dengan Yesus? Apakah kita bisa mengenal sapaan sayang-Nya pada kita?

Tergerakkah hati kita untuk bersaksi? Mari kita bercermin dari pengalaman Maria Magdalena ini.

Nama paraban nama kesayangan,
Lucu-lucu namun menggemaskan.
Tugas kita semua setelah kebangkitan,
Berani bersaksi dalam tugas perutusan.

Cawas, mari kita bersaksi ……
Rm. A. Joko Purwanto, Pr