Puncta 21.02.22 | Senin Biasa VII/C | Markus 9: 14-29
The Power of Praying.
SEORANG ibu dengan pakaian lusuh dan kumuh masuk ke toko swalayan. Ia minta diijinkan untuk hutang kepada pemilik toko. “Suamiku sedang sakit parah dan aku harus menghidupi 5 anak yang kelaparan,” katanya memelas. Namun si pemilik toko tetap tidak mau menolong.
“Orang belanja harus bayar, anda tidak ada uang, juga jaminan. Maaf saya gak bisa bantu.”
“Saya akan bayar apa yang dibutuhkan ibu ini,” kata seorang bapak yang sejak tadi antri sambil memperhatikan percakapan.
Si pemilik toko merasa malu. Harga dirinya terusik.
“Tak usah pak. Saya akan memberinya gratis. Silahkan ibu menulis apa keperluanmu, dan letakkan kertas daftar kebutuhan di atas timbangan.”
Ibu itu menulis sesuatu di kertas. Ia meletakkannya di timbangan. Jarum timbangan meluncur ke bawah.
Ibu itu meletakkan semua barang yang dibutuhkan. Namun jarum timbangan belum juga naik menjadi seimbang.
Pemilik toko itu penasaran. Ia membuka kertas dan membaca tulisan si ibu. Ia kaget dan tidak percaya.
Tulisan itu berbunyi, “Ya Tuhan, Engkaulah yang tahu kebutuhanku. Kuserahkan semuanya ke dalam tangan-Mu.”
Ibu itu berterimakasih karena diberi gratis. Ia pulang ke rumahnya dengan banyak barang belanjaan.
Si pemilik toko masih belum percaya dengan tulisan di kertas itu.
Dia kemudian memeriksa timbangannya. Ia baru tahu dan kaget, ternyata timbangannya rusak.
Para murid tidak dapat mengusir roh yang mengganggu seorang anak.
“Mengapa kami tidak dapat mengusir roh itu?” Jawab Yesus, “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa.”
Kekuatan doa memang sangat luar biasa. Kita masih ingat lagu Nikita yang berjudul “Di doa ibuku, namaku disebut?”
Ya, doa seorang ibu yang sedang susah dan mendamba akan didengarkan Allah.
Sepatah doa juga harus disertai dengan percaya. Yesus menegaskan, “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya.”
Iman dan doa membuka jalan Allah untuk berkarya. Allah bisa menggunakan jalan dan cara apa saja untuk menolong kita. Bahkan yang tidak masuk akal sekali pun.
Bisa jadi kita sering berdoa, tetapi kurang percaya. Beban penderitaan yang sangat berat sering melemahkan iman kita.
Kita menjadi ragu dan kurang percaya. “Benarkah Tuhan akan menolong saya?”
Permohonan orangtua yang anaknya kerasukan roh itu juga sering kita alami. “Tuhan tolonglah aku yang kurang percaya ini.”
Mari kita berdoa agar Tuhan menambahkan iman kepercayaan kita yang masih lemah ini.
Ombak tinggi di Parangkusuma.
Bergulung-gulung masuk ke sawah.
Jangan pernah lupa selalu berdoa.
Agar iman kita semakin bertambah.
Cawas, doa menembus awan….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
Puncta 20.02.22 || Minggu Biasa VII || Lukas 6: 27-38
Kualitas Anak Allah; Murah Hati.
AVUL Pakir Jainulabdeen Abdul Kalam atau yang biasanya disebut dengan APJ Abdul Kalam merupakan Presiden India ke 11 dari tahun 2002-2007.
Beliau cerita: Suatu hari ibu menyiapkan makan malam setelah sehari bekerja keras. Ia menghidangkan sabzi (sayuran dengan rempah dan kari) dan roti gosong.
Ayahku makan dengan enak dan tidak menunjukkan reaksi kecewa atau marah. Aku mendengar ibu meminta maaf karena roti gosong.
Aku tidak pernah lupa apa yang dikatakan ayahku, “Sayang, sesekali aku juga menyukai roti gosong.”
Sebelum tidur aku bertanya pada ayah, apa ayah benar-benar menyukai roti gosong?
Ayah memelukku dan berbisik, “Ibumu telah bekerja berat sepanjang hari. Roti gosong tidak pernah menyakiti siapapun. Kata-kata kasarlah yang akan menyakiti.
Kau tahu nak, hidup ini penuh ketidak-sempurnaan. Ayah pun bukan lelaki sempurna dan belajar menerima ketidaksempurnaan.
Hidup ini singkat, jagalah tutur kata dan tingkah laku kita, jangan sampai menyakiti orang-orang di sekitar kita.”
Aku tidur dalam pelukan mimpi yang sangat indah.
Dalam Injil hari ini, Yesus mengingatkan kita sebagai anak-anak Allah. Kualitas anak Allah ya meniru sikap Allah sendiri, yaitu murah hati.
Yesus bertanya, “Kalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka.”
Kualitas anak Allah berbeda dengan orang berdosa. Mereka hanya mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka; yang sepaham, seide, seagama, sealiran, satu budaya, satu bahasa.
Anak Allah harus bisa mengasihi semua orang bahkan yang tidak sealiran, seagama, juga yang berbuat jahat sekalipun.
“Kalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian.”
Orang serumah saja kadang berbeda pendapat – lihat contoh keluarga Abdul Kalam di atas – apalagi di suatu masyarakat atau bangsa.
Silang pendapat, beda cara pandang adalah hal biasa. Jangan mudah marah dan berlaku kasar, yang justru menyakiti.
Tetaplah mengasihi dan berlaku baik.
“Hidup ini hanya sebentar,’ kata ayah Abdul Kalam. “Jangan menyakiti orag-orang tercinta.”
Kualitas anak Allah nampak bagaimana kita bersikap terhadap mereka yang memusuhi, menentang, melawan dan berada di seberang kita.
Sikap Daud terhadap Saul dapat menjadi teladan bagi kita. Kendati Saul berbuat jahat dan ingin melenyapkan Daud, tetapi Daud tetap mengasihi dan menghormati Saul. Daud memandang Saul sebagai orang yang diurapi, dipilih Allah.
Mari kita membangun sikap hidup sebagai anak-anak Allah. Kita perlu memiliki cara pandang bagaimana Allah memandang kita.
Allah kita itu baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.
Hendaklah kita murah hati sebagaimana Bapa murah hati adanya.
Lihat lava gugur dari kawah,
Meluncur jauh ke arah Muntilan.
Berlakulah sebagai anak Allah,
Berani mengasihi tanpa membedakan.
Cawas, mari murah hati….
Rm. A.Joko Purwanto, Pr
Puncta 19.02.22 || Sabtu Biasa VI/C || Markus 9: 2-13
Mandalika yang Eksotik.
SEBELUM menjajal sirkuit Mandalika, Lombok, para pembalap MotoGP disuguhi pemandangan eksotik di sekitar arena balap.
Marques mencicipi air kelapa muda yang segar sambil mengagumi pantai yang biru.
Sementara Quartararo berenang, para rider lain ada yang berjemur di pasir putih, bersepeda, bermain volley pantai.
Bastianini yang baru pertama kali ke Indonesia mengeksplorasi pemandangan indah di Lombok dengan menulis status di instagramnya, “Troppo bello” (Sangat indah).
Miguel Oliveira menulis, “What a place. Can’t wait to ride the track.”
Mereka terkagum-kagum dengan keindahan alam Lombok. Mereka mencicipi kegembiraan dan sukacita sebelum menjajal sirkuit Mandalika.
Perjuangan yang sesungguhnya adalah memenangkan pole position di race utama dan meraih juara.
Ini hanya sesi latihan, menjajal track sebelum mereka nanti tampil berlomba di bulan Maret.
Mereka tidak boleh terlena oleh keindahan dan kesenangan. Mereka harus turun dan berjuang di perlombaan yang sesungguhnya.
Setelah Yesus berbicara tentang penderitaan-Nya, Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes naik ke gunung yang tinggi.
Yesus berubah rupa di depan mereka. Yesus menunjukkan keilahian-Nya.
Petrus sangat gembira melihat pemandangan itu. “Rabi, betapa bahagianya kami berada di sini.”
Kalau zaman itu ada medsos, mungkin Petrus dan teman-temannya akan mengunggah status di laman mereka.
Mungkin komen mereka; “Wonderful moment” atau “Amazing.”
Mereka diajak mencicipi kemuliaan Yesus di atas gunung.
Pesan yang paling penting adalah sabda Allah yang berkata, “Inilah Anak-Ku yang terkasih, dengarkanlah Dia.”
Kita diajak mendengarkan dan mengikuti-Nya.
Mengikuti Yesus berarti siap turun gunung dan berani memanggul salib. Inilah perjuangan yang sesungguhnya.
Seperti para pembalap yang tidak boleh terlena pada keindahan alam Lombok, tapi siap berjuang dalam perlombaan.
Begitu pula kita, para murid tidak boleh terlena pada peristiwa rohani di atas gunung, namun berani turun dan terjun di dunia nyata untuk berjuang memanggul salib.
Seperti para nabi, Elia, Yohanes Pembaptis dan juga Yesus yang ditolak, dicemooh, disingkirkan, bahkan dibunuh, kita dipanggil mendengarkan mereka dan siap memanggul salib kita.
Inilah perlombaan sesungguhnya. Kita harus berani terjun di dalamnya. Mari kita siap berlomba memanggul salib kita setiap hari.
Berakit-rakit dahulu
Berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang ke Taiwan.
Cawas, dengarkah Dia….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
Puncta 18.02.22 || Jum’at Biasa VI/C || Markus 8: 34-9:1
The Mission ala Kalimantan.
BEBERAPA hari kemarin daerah Simpang Hulu, Ketapang diguyur hujan berhari-hari. Balai Berkuak dikepung banjir. Pak Gio di Simpangdua juga mengabarkan air merendam sampai setinggi dada orang dewasa. Banyak akses jalan terputus dan hancur tak bisa dilalui.
Romo-romo yang bertugas di Botong berjibaku menembus jalan-jalan tikus di hutan karena jalan yang biasa dilewati putus terendam banjir.
Melihat video perjuangan Romo Wawan SJ dan Rm. Mardi SJ membuat hati bangga, berkobar dan haru.
Mereka berjuang menembus jalan setapak di hutan, jalan licin berlumpur, meniti jembatan darurat hanya dari sebatang papan kayu.
Motor bisa terperosok ke sungai. Perjuangan yang berat dan melelahkan. Seperti adegan Film The Mission.
Kalau direnung-renungkan, untuk apa semua ini? Kenapa harus susah-susah, menantang medan yang sulit, pergi ke tempat terpencil, jauh dari hingar bingar keramaian kota?
Apa yang mendasari perjuangan dan keberanian mereka sampai melakukan hal “se-gila” ini?
Kita dibantu menjawab pertanyaan di atas dari perikope Injil hari ini. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya, dan mengikut Aku.
Karena barang siapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkan nyawanya.”
Ya mereka adalah Sarekat Jesus. Mereka siap menyangkal diri dan memanggul salib. Itulah motivasi dasar dari semua perjuangan ini.
Kita semua disebut sahabat-sahabat Jesus, sudahkah kita ikut memanggul salib dan berani menyangkal diri?
Para misionaris ini sedang mempertaruhkan nyawanya demi mewartakan Injil. Apa yang mereka kejar? Kenikmatan harta dunia? Bukan, mereka ingin menyelamatkan jiwa-jiwa. Itu yang lebih penting daripada memperoleh seluruh dunia.
Beban salib yang berat, jika ditanggung bersama, apalagi diterima dengan sukacita akan menjadi ringan. Rm. Mardi ikut merasakan beban yang dialami umat. Ia menyatu dengan umat dan menjalani dengan sukacita.
Komentarnya di WAG menunjukkan kedalaman hidup rohani yang “menep”(mengendap). Ia menulis, “Jalani saja Padre….umat merasakan hal yang sama (hidup yang berat), dan bisa saling mendorong dan memanggul beban bersama sambil tetap tersenyum.”
Apakah kita sudah mampu memanggul beban hidup sambil tersenyum? Apakah kita punya empati dengan umat yang sedang memanggul salib berat?
Apakah kita berani menyangkal diri dan ikut membantu memanggul salib mereka?
Menyangkal diri dan memanggul salib itulah syarat untuk mengikuti Dia.
Wayang itu dulu sarana siar agama.
Kok mau dimusnahkan begitu saja.
Apalah artinya memiliki seluruh dunia.
Jika kehilangan cinta orang-orang di dekat kita?
Cawas, kejar saja cinta, jangan dunia….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
Puncta 17.02.22 || Kamis Biasa VI/C || Markus 8: 27-33
Sungguh Kenalkah Kita?
Pembicaraan di meja makan itu topiknya tentang perkawinan. Awalnya mereka hanya mengeluhkan anak laki-laki yang belum juga mau menikah. Padahal banyak cewek-cewek yang mengejarnya.
Ada yang sudah punya rumah, mobil bahkan perusahaan. Tapi pemuda ini belum juga tertarik menentukan pilihan.
“Kan harus mengenal karakter pribadinya ya Romo, tidak asal seneng dari sisi lahiriahnya saja.” kata cowok itu memberi alasan.
“Om dulu kenal tante hanya tiga bulan lho. Kenalan pun melalui teman. Tapi kami sama-sama berkomitmen untuk setia seumur hidup. Puji Tuhan sudah berjalan puluhan tahun gak ada masalah. Anak muda sekarang mah beda, banyak yang dipikirkan.” Kata pamannya.
“Kami ini lho Romo,” kata mamanya menimpali. “Tiada hari tanpa beda pendapat dengan suami. Semakin dekat, makin mengenal, semakin banyak misterinya juga. Kami sudah lama menikah, tetapi selalu ada hal-hal baru yang kadang tidak bisa kami pahami.”
Itulah misteri relasi suami istri yang tak mungkin tersingkap secara sempurna.
Relasi Yesus dengan para murid juga ada romantikanya sendiri.
Dalam perjalanan, Yesus ingin menguji sejauh mana pengenalan para murid tentang Diri-Nya.
Maka Dia bertanya; “Kata orang siapakah Aku ini?”
“Ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia, ada pula yang mengatakan; seorang dari para nabi,” jawab mereka.
Yesus bertanya lebih pribadi. “Tetapi menurut kamu, siapakah Aku ini?”
Petrus langsung menjawab, “Engkaulah Mesias.”
Apa yang disampaikan Petrus benar. Namun masih perlu dipastikan lagi isi rumusan itu.
Makanya Yesus melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang hal itu.
Ketika Yesus mengajarkan bahwa Anak Manusia harus menderita, ditolak para tua-tua, lalu dibunuh dan bangkit, Petrus menarik Yesus dan menegur-Nya.
Petrus tidak mau Yesus mengajarkan begitu.
Dari sini jelas bahwa Petrus tidak mengenal sungguh apa arti Mesias yang dimaksudkannya. Ada beda pendapat Mesias menurut Yesus dan Mesias menurut Petrus. Ada yang tidak nyambung.
Disinilah dinamika relasi yang terus menerus dimurnikan. Begitu pun dalam romantika suami istri di keluarga.
Semakin lama semakin dekat semakin mengenal, tetapi juga ada hal-hal baru yang belum diketahui juga. Kadang ada beda pendapat yang menimbulkan kemarahan.
Yesus marah kepada Petrus karena beda pemahaman.
“Enyahlah Iblis. Sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
Beda pendapat yang sangat mendasar tentang perutusan Yesus. Maka Yesus memarahi Petrus yang barusan menyebut Yesus adalah Mesias.
“Kalau istri sudah tertidur di samping saya, saya sering memandangi wajahnya. Saya selalu bersyukur diberi wanita hebat nan luar biasa, yang mengenal dan mau hidup dengan saya, walau sering saya membuatnya marah dan menjengkelkan. Untung selama ini saya tidak pernah membentaknya dengan kata kasar, apalagi memukulnya. Maturnuwun Gusti, Engkau memberi istri yang baik hati.” Kata suami dalam hati seraya mencium kening istrinya.
Kita harus lebih memikirkan kehendak Allah daripada kehendak sendiri.
Pergi ke Jogja harus melewati Mlati,
Dari jalan Kaliurang naik ke Merapi.
Cinta kadangkala susah dipahami,
Katanya mengenal namun tidak mengerti.
Cawas, berusaha lebih memahami,,,
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
The playlist identified with the request's playlistId
parameter cannot be found.