The Mission ala Kalimantan.

BEBERAPA hari kemarin daerah Simpang Hulu, Ketapang diguyur hujan berhari-hari. Balai Berkuak dikepung banjir. Pak Gio di Simpangdua juga mengabarkan air merendam sampai setinggi dada orang dewasa. Banyak akses jalan terputus dan hancur tak bisa dilalui.

Romo-romo yang bertugas di Botong berjibaku menembus jalan-jalan tikus di hutan karena jalan yang biasa dilewati putus terendam banjir.

Melihat video perjuangan Romo Wawan SJ dan Rm. Mardi SJ membuat hati bangga, berkobar dan haru.

Mereka berjuang menembus jalan setapak di hutan, jalan licin berlumpur, meniti jembatan darurat hanya dari sebatang papan kayu.

Motor bisa terperosok ke sungai. Perjuangan yang berat dan melelahkan. Seperti adegan Film The Mission.

Kalau direnung-renungkan, untuk apa semua ini? Kenapa harus susah-susah, menantang medan yang sulit, pergi ke tempat terpencil, jauh dari hingar bingar keramaian kota?

Apa yang mendasari perjuangan dan keberanian mereka sampai melakukan hal “se-gila” ini?

Kita dibantu menjawab pertanyaan di atas dari perikope Injil hari ini. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya, dan mengikut Aku.

Karena barang siapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkan nyawanya.”

Ya mereka adalah Sarekat Jesus. Mereka siap menyangkal diri dan memanggul salib. Itulah motivasi dasar dari semua perjuangan ini.

Kita semua disebut sahabat-sahabat Jesus, sudahkah kita ikut memanggul salib dan berani menyangkal diri?

Para misionaris ini sedang mempertaruhkan nyawanya demi mewartakan Injil. Apa yang mereka kejar? Kenikmatan harta dunia? Bukan, mereka ingin menyelamatkan jiwa-jiwa. Itu yang lebih penting daripada memperoleh seluruh dunia.

Beban salib yang berat, jika ditanggung bersama, apalagi diterima dengan sukacita akan menjadi ringan. Rm. Mardi ikut merasakan beban yang dialami umat. Ia menyatu dengan umat dan menjalani dengan sukacita.

Komentarnya di WAG menunjukkan kedalaman hidup rohani yang “menep”(mengendap). Ia menulis, “Jalani saja Padre….umat merasakan hal yang sama (hidup yang berat), dan bisa saling mendorong dan memanggul beban bersama sambil tetap tersenyum.”

Apakah kita sudah mampu memanggul beban hidup sambil tersenyum? Apakah kita punya empati dengan umat yang sedang memanggul salib berat?

Apakah kita berani menyangkal diri dan ikut membantu memanggul salib mereka?

Menyangkal diri dan memanggul salib itulah syarat untuk mengikuti Dia.

Wayang itu dulu sarana siar agama.
Kok mau dimusnahkan begitu saja.
Apalah artinya memiliki seluruh dunia.
Jika kehilangan cinta orang-orang di dekat kita?

Cawas, kejar saja cinta, jangan dunia….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr