Puncta 16.10.19 Lukas 11:42-46 / Noli Me Tangere

 

Novel karangan Jose Rizal ini menceritakan zaman penjajahan Spanyol di Filipina. Spanyol menggandeng gereja berperan cukup jauh dalam penaklukan dan penjajahan suatu negara.

Novel dibuka dengan kepulangan Don Crisostomo Ibarra dari pendidikan di Madrid. Ibarra adalah putra Don Rafael, yang meninggal di penjara karena membela seorang anak miskin..

Don Rafael, seorang peranakan Spanyol yang kaya, namun tidak disukai oleh penguasa gereja, Pater Damasio, karena tidak pernah melakukan pengakuan dosa sehingga dianggap bukan penganut Katolik yang taat.

Oleh karena itu ketika Don Rafael menyebabkan kematian seorang penjahat secara tidak sengaja, Pater Damasio berusaha keras menjebloskannya dalam penjara.

Demikian besar kekuasaan gereja sehingga pemerintah – walikota, polisi dan sekolah – takluk di bawahnya. Begitu pula seluruh rakyat, karena mereka percaya bahwa menentang atau meragukan para pastor akan membawa mereka ke neraka.

Pater Damasio menjadi representasi Gereja yang punya kekuasaan mutlak. Ia tak bisa disalahkan. Ia memegang kuasa dunia akherat.

Pater Damasio tidak suka ada orang yang menentang kekuasaannya. Ia berusaha keras melenyapkan siapapun yang melawan gereja. Mudah sekali wewenang melayani disalahgunakan oleh petugas gereja.

Penyalahgunaan wewenang ini yang dikritik Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Yesus berkata keras kepada ahli-ahli Taurat,

“Celakalah kalian juga, ahli-ahli Taurat, sebab kalian meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kalian sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jari pun.”

Orang Farisi dan ahli Taurat menggunakan kedudukan mereka untuk mencari hormat dan menindas sesama. Kritikan itu juga ditujukan kepada kita petugas gereja dan pelayan altar.

Ada godaan: mencari hormat dan pujian, mencari keuntungan sendiri, menumpuk harta, pastoral hanya berdasarkan hobby dan kesenangan pribadi.

Marilah kritik Yesus ini kita jadikan bahan refleksi bagi kita semua. Sudahkan kita melayani dengan adil dan penuh kasih kepada sesama?

Menulis surat cinta harus memakai kertas
Diantar pak pos sampai ke beranda
Janganlah hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas
Laksanakan keadilan dan kasih demi keselamatan sesama

Trevi Fountain di Roma,
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 15.10.19 PW. St. Teresia dari Avila, Perawan dan Pujangga Gereja Lukas 11:37-41 / The Three Musketeers

 

KALAU kita melihat films The Three Musketeers, kita akan melihat dua pihak yang saling berlawanan.

Tiga ksatria yang menjadi tokoh utama adalah Portos, Arthos dan Aramis. Mereka adalah orang-orang jujur, berani membela keadilan dan kebenaran, setia pada negara dan berjuang bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Tokoh antagonis adalah Kardinal Richelieu yang hidup dalam pusaran kekuasaan raja. Ia sok suci dan ikut mengatur roda pemerintahan.

Dengan kedok pemimpin agama, dia menguasai dan mendikte raja dan keluarganya. Hidupnya diwarnai kemunafikan karena nafsu kuasa.

Siapa pun yang merongrong kekuasaannya dimusnahkan, termasuk the musketeers, pasukan yang loyal pada negara. Kardinal Richelieu adalah potret kemunafikan kaum Farisi.

Sabda Tuhan hari ini menggambarkan bagaimana dengan keras Yesus mengecam orang-orang Farisi. Kaum Farisi dipandang sebagai kaum munafik.

Mereka menilai orang lain dengan aturan hukum yang detail-detail, tetapi mereka sendiri tak mau melakukannya.

Mereka menganggap diri sebagai penjaga hukum dan moral. Tetapi hidup mereka tak lebih dari kaum Farisi itu.

Mereka merasa diri paling benar dan suka menyalahkan orang lain. Maka ketika Yesus tidak membasuh tangan sebelum makan, mereka gusar dan menyalahkan.

Maka Yesus mengkritik mereka, “Hai orang-orang bodoh, bukankah yang menjadikan bagian luar, Dialah juga yang menjadikan bagian dalam? Maka berikanlah isinya sebagai sedekah dan semuanya akan menjadi bersih bagimu.”

Orang-orang Farisi menekankan hal-hal luarnya saja. Justru yang inti dan penting diabaikan. Mereka menekankan hukum tetapi melalaikan kasih dan keadilan.

Yesus mengecam tindakan taat hukum namun mengabaikan kasih dan keadilan.

Kemunafikan ini masih menjadi virus bagi kita. Ada banyak sikap-sikap munafik yang tumbuh berkembang di tengah kita.

Para petugas-petugas agama mudah terjangkit virus ini. Hati-hatilah karena kita bisa jatuh ke dalam sikap kemunafikan.

Berpiknik ria ke Pulau Bali
Jangan lupa lihat lukisan dan tari-tari
Mari belajar jujur dan rendah hati
Seperti yang Tuhan kehendaki

Pisa di Roma, panorama indah
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 14.10.19 Lukas 11: 29-32 / SMONG 07

 

KETIKA terjadi tzunami Aceh 2004, yang menelan korban ratusan ribu jiwa, orang berpikir Pulau Simeulue akan luluh lantak dan banyak korban.

Secara logika, pulau ini ada di dekat sumber gempa. Pasti gelombang pasang menyapu bersih dan menelan banyak korban.

Tetapi setelah dilakukan perhitungan jumlah korban pada peristiwa Tsunami Aceh, 26 Desember 2004, terdapat data yang mengejutkan.

Tsunami Aceh di Indonesia menelan 220.000 korban jiwa. Namun Kepulauan Simeulue yang pada saat itu menjadi titik epicentrum gempa justru berkali-kali lipat lebih sedikit jumlah korbannya, yakni tiga korban jiwa.

Kearifan lokal yang disebut SMONG menyelamatkan banyak warga. Smong adalah cerita rakyat penghantar tidur yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Dalam kisah itu digambarkan ciri-ciri bencana dan bagaimana cara menyelamatkan diri. Dari anak kecil sampai orangtua tahu kalau ada tzunami, badai, gelombang, angin ribut atau bencana apapun mereka harus berbuat apa.

Mereka sangat peka terhadap tanda-tanda alam. Memori kolektif bencana tahun 1907 diwariskan dan diceritakan kepada anak cucu mereka.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengingatkan kepada orang Yahudi. Mereka meminta tanda. Tetapi tidak akan diberi tanda selain tanda Nabi Yunus.

Yunus datang mengngatkan orang-orang Ninive, mereka percaya dan bertobat. Tetapi angkatan ini tidak mau percaya kepada Anak Manusia yang lebih berkuasa daripada Yunus.

Kehadiran Yunus menjadi tanda pertobatan orang Ninive. Kehadiran Yesus harusnya menjadi tanda bagi orang-orang Yahudi. Tetapi mereka tidak percaya.

Dalam hidup kita ada banyak tanda-tanda alam yang mengingatkan agar kita kembali kepada Tuhan.

Tanda-tanda itu mengingatkan kita supaya percaya kepada Nya. Kita diajak hidup menurut kehendakNya. Syair Mumpung Masih Ada Waktu dari lagu Ebiet G ADE, menyadarkan kita:

Kita pasti ingat tragedi yang memilukan
Kenapa harus mereka yang terpilih menghadap
Tentu ada hikmah yang harus kita petik
Atas nama jiwa mari heningkan cipta

Yesus adalah tanda kehadiran Allah bagi kita. marilah kita percaya kepadaNya.

Memasuki Negara Italy
Pemandangan indah di pinggir jalan
Marilah kita membuka hati
Supaya kita peka melihat tanda zaman

Nice Cote de Azzur
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 13.10.19 Minggu Biasa XXVIII Lukas 11: 27-28 / “Melik Nggendhong Lali”

 

PERIBAHASA Jawa itu mengandung arti orang yang menginginkan sesuatu secara berlebihan sampai lupa segala-galanya.

Ia akan mudah melanggar tata aturan dan norma. Melik berbeda dengan keinginan. Keinginan sama dengan angan-angan, cita-cita.

Melik bersifat lebih keras, haus akan hasrat, dan jika sudah terpaksa, orang yang punya melik akan melakukan cara apapun.

Tidak heran, jika sudah sampai taraf melik, jika hasrat tersebut sulit tercapai, orang yang ber-melik akan menganggap tidak ada salahnya untuk mencuri.

Bila terpaksa harus merebut, ia juga akan melakukannya. Menghalalkan segala cara.

Siapapun yang punya melik (hasrat berlebihan), pasti hatinya penuh hawa nafsu. Nalar macet, akal buntu, rasa kemanusiaan juga lenyap.

Yang dikejar cuma satu, yaitu bagaimana agar yang diinginkan itu secepatnya dapat diraih. Jika sudah pada posisi demikian, tidak mengherankan bila ia seolah-olah kerasukan setan.

Meminta juga tidak merasa malu, mencuri juga boleh. Segala cara dihalalkan. Toh, yang namanya aturan, batasan, kemanusiaan, hanyalah buatan manusia.

Semua bisa diubah, dibuang, diinjak di bawah telapak kaki. Saat itu, semua menjadi tidak perlu karena yang perlu hanyalah bagaimana hasrat-nya bisa tercapai.

Sepuluh orang itu sakit kusta. Penyakit ini membuat orang disingkiri masyarakat. Mereka dibuang jauh dari perkampungan.

Mereka digolongkan sebagai pendosa, najis untuk bergaul dengan mereka. Satu-satunya keinginan hanyalah sembuh, tahir, bersih dan diterima kembali dalam masyarakat. Itulah hasrat terkuat mereka.

Maka mereka berdiri agak jauh, tidak berani mendekat. Mereka berteriak-teriak minta disembuhkan, “Yesus, Guru, kasihanilah kami.”

Setelah sembuh, hanya satu yang kembali. Itu pun orang asing yakni orang Samaria. Orang kusta itu hanya satu hasratnya yakni sembuh.

Dan setelah sembuh mereka lupa berterimakasih. Inilah sifat manusia; kalau lagi butuh, mengemis pun dilakoni. Tetapi kalau sudah berhasil, lupa berterimakasih.

Kalau musim ujian, bangku gereja penuh dengan orang berdoa, baik anak sekolah maupun orangtuanya. Tetapi setelah selesai ujian, bangku gereja kosong lagi.

Orang asing saja bisa berterimakasih, masak kita yang disebut anak Allah malah lupa berterimakasih.

Dari Lourdes menuju ke Italy
Menyinggahi pantai-pantai yang bersih
Sekecil apapun Tuhan memberi
Sepantasnya kita berterimakasih.

Lourdes, prosesi lilin di malam hari
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 12.10.19 LUKAS 11: 27-28 / Ibu yang Bahagia

 

BEBERAPA orang yang bertamu ke rumah saya sering memuji ibu saya, “Wah ibu hebat nggih, putranipun kalih dados romo.” (Ibu hebat ya, anaknya ada dua yang jadi pastur).

Ibu saya menjawab, “Kula kok malah was sumelang ing manah bu. Inggih yen sedaya lestari. Yen mboten iba nelangsanipun. Kados nanggel beban awrat.”

(Hati saya kok malah takut dan kawatir bu. Ya kalau imamatnya langgeng, kalau tidak kan malah sengsara seperti menanggung beban berat).

Memang ada rasa syukur dan bangga, tetapi orang tidak tahu bagaimana menanggung beban berat itu. Semua ibu akan bangga melihat keberhasilan anak-anaknya.

Ibu akan selalu punya alasan untuk membanggakan kehebatan anak-anaknya. Banyak orang hanya melihat dari sisi luarnya saja.

Seperti seorang wanita yang berseru kepada Yesus, “Berbahagialah ibu yang telah mengandung dan menyusui Engkau!”

Ibu itu melihat kehebatan Yesus. Di balik kesuksesan anak, pastilah ada peran seorang ibu. Tetapi Yesus mengajak kita untuk tidak takabur dengan pujian.

Yesus mengembalikan semua itu kepada kebaikan Allah. “Yang berbahagia adalah mereka yang mendengarkan sabda Allah dan memeliharanya.”

Yesus bukan tidak menghargai ibuNya. Tetapi Yesus menyadarkan kita bahwa semua itu karena campur tangan Allah.

Kita tidak boleh menyombongkan diri dan mengaku-aku bahwa kesuksesan itu berasal dari diri kita sendiri.

Kalau kita mendengarkan sabda Allah dan memeliharanya dalam hidup kita niscaya kebaikan- kebaikanNya akan dianugerahkan kepada kita.

Dengan tidak langsung Yesus mau menyatakan kepada kita, Maria adalah orang yang berbahagia karena ia mendengarkan dan memelihara sabda Allah.

Maria adalah teladan kesetiaan kepada Allah. Kalau kita ingin meneladan ibu yang berbahagia, lihatlah Maria. Ia setia dalam perkataannya, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut sabdaMu itu.”

Burung elang terbang tinggi
Menukik turun hinggap di sawah
Ibu Maria, ibu yang baik hati
Ajarilah kami setia kepada kehendak Allah

Loyola The house of St. Inigo
Rm. A. Joko Purwanto Pr