Puncta 22.03.21 / Yohanes 8: 1-11 / Hakim Yang Adil

 

CUACA sangat dingin di New York pada tahun 1930. Kemiskinan dan kelaparan melanda dimana-mana. Seorang nenek tua yang miskin tidak punya roti untuk cucunya yang kelaparan.

Anaknya sakit dan tidak punya pekerjaan yang tetap. Ia harus menanggung hidup keluarga karena suaminya pergi meninggalkannya. Tak ada roti yang bisa dimakan. Dengan terpaksa ia mencuri roti di sebuah toko.

Penjaga toko mengetahui dan melaporkannya kepada jaksa kota. Jaksa menuntut dengan hukuman berat dengan maksud memberi rasa jera pada masyarakat. Nenek tua itu diadili karena perbuatannya mencuri.

Hakim Florello Laguardia mengadili perkara itu. “Maafkan saya, nenek tua. Saya harus menghukum anda, karena semua warga sama di hadapan hukum. Anda harus membayar denda sebesar 10 dollar. Jika tidak mampu membayar, harus diganti hukuman kurungan satu tahun penjara.”

Nenek tua itu bersimpuh di lantai dan memohon dengan iba. Ia menangis meratapi nasibnya. Melihat itu, sang hakim tergerak oleh belas kasihan. Ia kemudian melepaskan topinya dan mengeluarkan uang dari dompetnya dan memasukkannya ke dalam topi hakim.

“Atas nama pengadilan, saya juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar 50 sen, sebab anda semua menetap di kota ini, dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya.”

Palu diketuk hakim. Topi hakim diedarkan agar semua pengunjung membayar denda.

Akhirnya wanita tua itu keluar ruangan dengan membawa uang 47 dollar dan 50 sen, termasuk dari jaksa dan penjaga toko yang sedikit malu karena telah menuntut nenek tua itu.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa seorang wanita yang ketahuan berbuat zinah. Mereka minta pendapat Yesus tentang hal ini. Mereka mau mencobai Yesus bagaimana memutus perkara ini.

Dengan bijak dan cerdik Yesus berkata, “Barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu pergilah mereka seorang demi seorang meninggalkan wanita itu.

Kepada perempuan itu, Yesus juga mengambil sikap, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Pengampunan itulah tanda kasih Allah yang terbesar. Allah lebih mengasihi manusia yang bertobat. Seperti Gembala yang mencari domba yang hilang, begitulah Allah lebih mencari manusia bertobat untuk diselamatkan.

Memetik bunga sekuntum demi sekuntum,
Dirasakan harumnya dicium dengan hidung.
Mari kita lebih mengasihi daripada menghukum,
Kasih dan pengampunan adalah sifat Allah yang agung.

Cawas, mengampuni lebih dahsyat…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

.

Puncta 21.03.21 / Minggu Prapaskah V / Yohanes 12: 20-33

 

“Ivan Fernandes dan Abel Mutai”

KISAH inspiratif ini terjadi pada lomba Maraton Burlada Navarre di Spanyol 2012. Lomba itu diikuti oleh pelari asal Spanyol, Ivan Fernandes dan Abel Mutai, peraih perunggu kategori 3000 meter Olimpiade London. Mutai melesat jauh di depan hampir mencapai finish. Fernandes berada di belakangnya.

Tiba-tiba Mutai berhenti, ia bingung dengan tanda-tanda arah menuju garis finish. Fernandes paham akan situasi ini. Ia berteriak agar Mutai terus berlari.

Namun pelari asal Kenya itu tidak paham Bahasa Spanyol yang diucapkan Fernandes. Akhirnya Fernandes mendorong Mutai untuk berlari di depannya sampai menembus garis finish.

Para wartawan heran dan mencecar pertanyaan kepada Fernandes, “Mengapa anda melakukan itu? Bukankah anda bisa membiarkan dan menyalibnya sehingga anda juara?”

Ivan menjawab: “Impian saya adalah suatu hari nanti, kita dapat hidup bersama dan memiliki moral yang baik di dalam masyarakat”.

“Tetapi anda bisa menang dan menyabet medali emas?” Dengan senyum Ivan menjawab: “Tapi apa manfaat dari kemenangan saya? Apa kehormatan dari medali itu? Apa yang akan ibu saya pikirkan dan katakan tentang kemenangan saya”.

Ketika Yesus tahu orang-orang Yunani datang diantar oleh Filipus dan Andreas kepada-Nya, Ia justru berkata, “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika mati, ia akan menghasilkan buah banyak.”

Yesus tidak gila pujian atau hormat. Ia tidak membanggakan diri telah berhasil membuat orang-orang Yunani percaya dan datang kepada-Nya.

Tetapi Ia bersyukur karena telah memuliakan Bapa-Nya. “Sekarang jiwa-Ku terharu, dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu.”

Ivan Fernandes itu tidak ingin menang dengan cara yang konyol, memanfaatkan kebodohan orang lain. Ia menjunjung nilai etik berolahraga. Moral dan sportivitas tertanam dalam lebih sekedar mengejar medali.

Seperti biji gandum yang mati, agar menghasilkan buah banyak. Ivan mau mengalah, agar nilai-nilai moral ditanam dan berbuah banyak di tengah masyarakat.

Yesus mengejar bukan kemuliaan dunia, tetapi memilih salib, ditinggikan dari bumi, agar semua orang ditarik datang kepada-Nya untuk diselamatkan.

“Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi baragsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.”

Ivan tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia tidak mengejar piala untuk dirinya sendiri. Ia merelakan kemenangannya bagi pelari Kenya itu. Tetapi tindakan Ivan itu akan dikenang dunia sampai ke hidup yang kekal.

Semalaman bicara soal pribadi,
Tentang berkorban dan mencintai.
Kemenangan itu bukan soal medali,
Tetapi sebuah integritas dan harga diri.

Cawas, empat kali medali…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.03.21 / Yohanes 7: 40-53 / Konspirasi Kaum Sakit Hati

 

KETIKA Semar ingin membangun Kahyangan, terjadi pro dan kontra. Awalnya hanya sedikit yang mendukung. Banyak pihak menentang keinginan Semar. Kresna, Baladewa dan pihak Kurawa yang disetir oleh Pandita Durna memprovokasi untuk tidak setuju.

Mereka melawan Semar dan anak-anaknya. Bahkan genderang perang ditabuh, supaya anak-anak Pandawa dan Kurawa menangkap Semar biang keroknya.

Hanya Ontosena yang mampu melihat kebenaran. Dengan hati bening dan pikiran jernih dia mengakui bahwa Semar benar. Ontosena tahu bahwa yang dibangun Semar bukan soal tempat, tetapi moral manusia agar hidup damai aman tentram.

Ontosena tidak mau terprovokasi. Ia justru berjuang di belakang Semar dan anak-anaknya. Ontosena berprinsip, benar adalah benar dan salah adalah salah. Tidak bisa yang benar disalahkan atau yang salah dibenarkan.

Kehadiran Yesus menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat. Ada yang mengakui bahwa Yesus adalah Mesias. Ada pula yang percaya bahwa Dia adalah seorang nabi besar.

Tetapi imam-imam kepala dan orang-orang Farisi tidak mau menerima Dia. Mereka memprovokasi orang banyak dan menyuruh penjaga-penjaga untuk menangkap-Nya.

Tetapi para penjaga itu justru melihat siapa Yesus sesungguhnya. Hati kecil mereka meyakini Yesus utusan Allah. “Belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu.”

Imam-imam Kepala berusaha menyingkirkan Yesus karena mereka takut kehilangan pengikut. Kedudukan mereka terancam. Mulai banyak yang percaya dan menyeberang. Misalnya Nikodemus.

Keberadaan Yesus adalah ancaman, maka mereka berusaha melenyapkan-Nya. Dicari cara bagaimana menjatuhkan-Nya.

Muncul konspirasi untuk menjatuhkan Yesus. Pebisnis Bait Suci yang ditertibkan pasti tidak suka. Imam-imam kepala dan organisasi kaum saleh di Bait Suci merasa geram karena previlegi dan pundi-pundinya dibongkar.

Para anggota dewan Sanhedrin tidak bisa leluasa bermain kuasa karena pegawai pajaknya ada yang menjadi murid Yesus.

Kelompok sakit hati membuat konspirasi. Begitulah juga yang dialami Yeremia dalam bacaan pertama. Ada pemufakatan jahat menjatuhkan Yesus dan Yeremia.

Berjuang demi kebenaran selalu berhadapan dengan ancaman. Siapkah kita jika harus menghadapinya?

Jika malam tiada nampak bulan,
Pasti sebentar lagi akan muncul bintang.
Bila kita berjuang untuk kebenaran,
Akan banyak kerikil tajam yang menghadang.

Cawas, tetap sabar dan tawakal…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 19.03.21 / HR. St. Yusuf, Suami Maria / Matius 1:16.18-21.24a

 

“Yusuf Sebagai Role Model”

PADA Tanggal 8 Desember 2020, Paus Fransiskus mengeluarkan Surat Apostolik yang berjudul Patris Corde (Dengan Hati Seorang Bapa) untuk menandai dimulainya Tahun Santo Yusuf pada 2021.

Hari ini kita merayakan SantoYusuf. Pada hari ini kita bisa merenungkan keutamaan-keutamaan Santo Yusuf melalui Surat Apostolik Paus.

Paus menyebut ada 7 keutamaan Santo Yusuf yang pantas kita tiru: Pertama, St. Yusuf adalah bapa yang penuh kasih. Ia mendedikasikan seluruh hidupnya demi Maria dan Yesus. Kedua, St. Yusuf adalah bapa yang lembut dan penuh cinta. Ia menjaga Yesus yang tumbuh dalam keluarga yang penuh kehangatan dan cinta. Sebagai ayah, ia bersikap lembut dan hangat.

Ketiga, St. Yusuf adalah pribadi yang taat kepada kehendak Allah. Maria punya “fiat voluntas tua.” Demikian juga Yusuf menjalani “fiat” demi kehendak Allah. Yusuf mendidik Yesus dengan ketaatan. Sedemikian sehingga di Taman Getsemani, Yesus pun berani berkata, “Bukan kehendak-Ku, tetapi kehendak-Mulah yang terjadi.”

Keempat, St. Yusuf seorang figur yang siap menerima. Ia menerima Maria apa adanya dan menjaganya dengan setia. Ia menghormati perempuan. Ia bukan tipe orang yang melecehkan dan memandang rendah, apalagi melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Kelima, St. Yusuf adalah bapa yang berani dan kreatif. Ia tipe pria bertanggungjawab. Ia tidak lari dari kesulitan, tetapi menjadi pelindung aman bagi keluarga. Saat tidak ada penginapan di Betlehem, ia membuat palungan bagi Yesus. Saat diancam Herodes, ia menjaga dan melindungi keluarga kecilnya.

Keenam, Ia adalah seorang bapa pekerja. Ia seorang tukang kayu, pekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ia diangkat menjadi pelindung para pekerja. Kita harus menghargai para pekerja-pekerja di sekitar kita.

Ketujuh, St. Yusuf adalah bapa yang tersembunyi. Figur Yusuf adalah gambaran Allah yang tersembunyi. Allah Bapa selalu mengasihi anak-Nya. Tidak banyak narasi tentang Yusuf. Ia sebagai figur di balik layar, seperti Allah yang tidak nampak, namun mengasihi kita manusia.

Mari kita menemukan sifat-sifat St. Yusuf itu dalam diri ayah kita, sehingga kita bisa bersyukur telah dibimbing dan dijaganya.

Merawat bunga yang sedang kuncup.
Ditunggu mekarnya di saat senja.
Kita bersyukur punya Bapa Yusup.
Yang melindungi kita dengan cinta mesra.

Cawas, berharap senantiasa….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 18.03.21 / Yohanes 5: 31-47 / Kesaksian Palsu

 

DALAM persidangan khususnya kasus korupsi, banyak saksi berubah jadi tersangka karena kesaksiannya palsu. Menurut hukum, orang tidak boleh memberi kesaksian palsu atau berbohong. Saksi adalah orang yang mengetahui, mengalami atau mengerti tentang suatu perkara hukum.

Sehubungan dengan korupsi, KPK tidak menganggap enteng kesaksian palsu yang diberikan seorang saksi. Hukuman atas kebohongan itu cukup berat. Kita masih ingat kasus Muhtar Ependy, yang menjadi saksi kasus Akil Mohtar dulu. Ia dinilai memberi keterangan palsu kepada hakim. Ia dijatuhi hukuman pidana lima tahun penjara dan denda Rp. 200 juta.

Yesus berpolemik dengan orang-orang Yahudi tentang kesaksian Yohanes. Ia adalah seorang nabi. Ia memberi kesaksian tentang Yesus bahwa Dialah yang datang dari Allah. Kesaksian Yohanes itu benar, tetapi orang-orang Yahudi tidak mau percaya.

Karena kedegilan dan kebencian mereka kepada Yesus, maka kesaksian siapa pun –kendati itu benar – tidak diterima.

“Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting daripada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu jualah yang sekarang Kukerjakan, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku.”

Kalau tidak mau percaya kepada kesaksian orang, Yesus menunjukkan tindakan-Nya atau karya-karya-Nya yang juga bisa dilihat, dialami, dirasakan oleh banyak orang.

Karya-Nya itu sudah bisa memberi kesaksian dari manakah Dia datang. Tetapi dasar orang bebal, mereka tidak bisa diberi penjelasan.

Ada istilah WTS, “Waton Sulaya” yang artinya asal melawan. Orang tidak berpikir benar atau salah, yang penting lawan.

Orang sudah tidak memakai akal sehat atau nalar lagi. Dijelaskan dengan cara apapun sudah tidak mempan.

Jangan sampai kita “mbeguguk ngutha waton”. Mbeguguk artinya diam tak bergerak atau tak mau beringsut. “ngutha waton” artinya seperti kota berbenteng batu, tak bergeming sedikit pun. Merasa diri paling benar, tak mau disalahkan, tidak mau berubah. “Pokoke aku sing bener dewe.”

Jalan-jalan pakai topi,
Takut kena sinar matahari.
Jangan mau menangnya sendiri,
Kalau kita ingin dihargai.

Cawas, tetap sehat dan semangat….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr