Puncta 13.06.21 / Minggu Biasa XI / Markus 4: 26-34

 

“Kesabaran Adalah Emas”

DASRATH Manjhi membelah gunung untuk membuat jalan menuju rumah sakit. Kerja “gila” itu dilakukan selama 22 tahun. Ia melakukan sendiri dan hanya menggunakan palu dan linggis. Ia berhasil memotong jarak dari 55 km menjadi 15 km menuju rumah sakit.

Sekarang semua orang di desa Gehlor, Bihar, India memanfaatkan jalan itu. Banyak orang sakit bisa diselamatkan karena kerja keras, kesabaran dan ketekunan seorang Manjhi.

Menggapai sebuah impian yang baik membutuhkan perjuangan. Membangun keluarga yang bahagia juga butuh waktu yang lama. Menempuh cita-cita yang tinggi butuh kesabaran dan perjuangan.

Seperti seorang petani yang ingin panenannya berhasil, ia harus kerja keras, mulai memilih benih yang baik, tanah yang subur, memelihara dengan sabar dan berpasrah pada pemeliharaan Tuhan.

Yesus menampilkan dua perumpamaan tentang benih yang ditabur dan biji sesawi. Kerajaan Allah seperti benih yang ditabur. Ia bertumbuh pelan-pelan tanpa disadari. Pada akhirnya buahnya berlipat ganda.

Kita bisa belajar menjalani hidup dari kedua perumpamaan ini. Pertama, hidup itu ada di tangan Allah. Yang berkuasa adalah Allah. Kita seperti benih yang ditaburkan. Kita diajak terbuka dan pasrah pada cara kerja Allah.

Kedua, biji sesawi (Mustard seeds) itu sangat kecil, tetapi bisa tumbuh menjadi pohon yang besar. Segala sesuatu dimulai dari yang kecil, sederhana. Dengan kesabaran, hal-hal kecil akan berbuah menjadi besar.

Ketiga, pertumbuhan benih itu butuh waktu. Para petani itu menunggu dengan sabar dan tawakal. Sikap sabar dalam hidup itu perlu. Orang tidak boleh tergesa-gesa mencari hasil.

Budaya instant jadi godaan di zaman modern. Sabar dalam proses, tekun dalam usaha, rajin dalam bertindak jadi modal mencapai keberhasilan.

Keempat, pohon sesawi yang sudah besar akan menjadi tempat bernaung dan bersarang burung-burung. Keberhasilan hidup kita bukan untuk diri sendiri, tetapi bisa dibagikan untuk orang lain.

Jika kita sudah berhasil, jangan lupa diri, tapi ingatlah orang lain. Berikan dirimu untuk menjadi sarang dan naungan yang aman bagi yang lain.

Walau tidak ada bulan purnama,
Langit tetap indah karena bintang kejora.
Jangan pernah putus asa dan kecewa.
Kesabaran akan menuai hasilnya.

Cawas, menjaga asa….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 12.06.21 / PW. Hati Suci St. Perawan Maria / Matius 5:33-37

 

“Aja Lamis”

Aja sok gampang janji wong manis yen ta amung lamis.
Becik aluwung prasaja nimas ora agawe cuwa.
Akeh tulada kang demen cidra uripe rekasa.
milih sawiji endi kang suci tanggung bisa mukti.

(Jangan mudah berjanji kalau ternyata hanya pura-pura.
Lebih baik terbuka saja tidak akan bikin kecewa.
Banyak contoh orang yang ingkar, hidupnya sengsara.
Pilihlah satu mana yang suci dijamin hidupmu bahagia)

LAGU yang dinyanyikan Waljinah ini sarat dengan nasehat yang baik. Intinya agar kita tidak mudah bersumpah palsu. Senang janji-janji tetapi tidak pernah ditepati.

Didi Kempot juga menulis lagu dengan judul “Janji Palsu”.

Sebagian liriknya berbunyi:
Ning nyatane kabeh kuwi palsu. Wis ra padha sing kok ucapke mring aku
Awakku nganti kuru amarga janjimu kabeh kuwi janji palsu.
Yen kowe tresna ning apa nglarani aku. Yen kowe setya ning apa ngapusi aku. Yen kowe seneng ning apa lali janjimu. Yen kowe temen ning apa ninggalke aku.

Yesus mengingatkan agar kita tidak mudah mengucapkan janji-janji, entah demi langit, demi bumi, demi surga atau demi apapun. Yang paling penting adalah apa yang diucapkan mulut dapat dilakukan dalam tindakan.

Kualitas diri akan terlihat jika perkataan dan perbuatan itu sama.

Yesus berkata, “Jika ya, hendaklah kalian katakan; ya, jika tidak, hendaklah kalian katakan; tidak.” Yesus ingin kita mengatakan kebenaran.

Jangan sampai kita berdusta yang seharusnya ya dikatakan tidak. Malah yang tidak dikatakan ya. Jika demikian, hidup menjadi kacau.

Marilah kita belajar jujur pada diri kita sendiri. Jika kita berani jujur pada diri sendiri, kiranya kita tidak akan berani bersumpah palsu atau mengumbar janji pada orang lain.

Membeli bubur di pasar pagi hari.
Berani jujur tanda kedewasaan diri.

Cawas, lebih baik diam diri…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 11.06.21 / HR. Hati Yesus Yang Mahakudus / Yohanes 19: 31-37

 

“Hati Yang Luka”

Berulang kali aku mencoba selalu untuk mengalah.
Demi keutuhan kita berdua walau kadang sakit.
Lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu.
Sering kau lakukan bila kau marah menutupi salahmu.
Samakah aku bagai burung di sana yang dijual orang?
Hingga sesukamu kau lakukan itu, kau sakiti aku.

SYAIR lagu Betharia Sonata ini menggambarkan hati seorang istri yang luka karena disakiti oleh suaminya. Suami yang membagi cinta, suka marah, menampar pipi dan mengingkari janji setia sungguh membuat hati sang istri menderita.

Begitu pun Allah, dalam bacaan pertama Allah menunjukkan kasih setia-Nya kepada Israel. Allah selalu setia tetapi Israel sering mengingkari Allah.

Hosea disuruh mengambil Gomer, si pelacur untuk dijadikan istrinya. Itu adalah lambang Allah yang mengasihi Israel, yang sering melacurkan diri dengan alah-alah lain.

“Hati-Ku berbalik dari segala murka. Belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala, tidak akan membinasakan Efraim lagi.” Allah sungguh mengasihi umat-Nya dan setia pada janji-Nya.

Puncak kasih Allah itu nyata dengan mengutus Yesus Putera Tunggal-Nya. Sabda, karya, tindakan Yesus menunjukkan Allah yang mengasihi tanpa batas. Ia menuntaskan kasih-Nya melalui wafat-Nya di kayu salib.

Hati Yesus ditikam oleh tombak menjadi lambang cinta-Nya yang total dikurbankan sampai mati.

Hati Yesus yang luka menunjukkan empathy dan belarasa-Nya dengan kedukaan dan penderitaan kita. Yesus tidak hanya menangisi dosa kita, tetapi Dia juga merasakan ditikam hati-Nya yang paling dalam. Sakit hati Yesus merasakan penderitaan kita.

Hanya orang yang pernah mengalami penderitaan bisa mengerti dan memahami apa artinya menderita. Yesus mengalami derita yang paling dalam. Bukan hanya derita fisik, tetapi Dia juga dikhianati, ditinggalkan murid-murid-Nya. Ia sangat mengerti penderitaan kita.

Jika kita sekarang sedang luka, sakit, menanggung derita, mari kita berlindung di bawah hati-Nya yang maha kudus. Mari kita datang kepada Dia yang mengerti derita dan beban hidup kita.

Hati Yesus yang Mahakudus, jadikanlah hatiku seperti hati-Mu.

Wangi mawar tak harum selamanya.
Indah dipandang hanya sesaat saja.
Jika beban hidup sedang mendera,
Hati Yesus terbuka merangkul kita.

Cawas, kuketuk hatimu….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 10.06.21 / Kamis Biasa X / Matius 5:20-26

 

“Belajar dari Nelson Mandela”

AFRIKA Selatan tercabik-cabik oleh politik apartheid, perbedaan warna kulit. Ketika Nelson Mandela menjadi presiden pertama dari kaum Kulit Hitam, ia berpikir keras bagaimana menghapus sistem apartheid di negaranya dan membangun nasionalisme.

Ia mendapat celah. Olahraga Rugby. Usaha ini tidak mudah. Waktu itu Rugby adalah olahraga untuk kulit putih. Sementara kaum kulit hitam tidak menyukai jenis olehraga ini. Waktu itu Rugby jadi simbol rasisme di Afrika Selatan.

Cara berpikir Mandela ada di atas kaumnya. Ia ingin tim nasional Springbok bisa menjadi tali pemersatu nasionalisme Afrika Selatan. Kaum kulit hitam ingin springbok dibubarkan. Tetapi Mandela kukuh mempertahankannya.

Ia memberi motivasi kepada Francoise Pienaar, kapten Springbok untuk menjadi role model bagi timnya. Mandela memberi semangat mereka agar menjadi tim yang kuat. Mereka berkeliling ke seluruh negeri dan mengajak kaum muda mencintai rugby.

Pertandingan demi pertandingan akhirnya dimenangkan oleh Springbok. Dan pada puncaknya adalah final piala dunia rugby. Afrika Selatan bisa mengalahkan Selandia Baru pada tahun 1995.

Seluruh rakyat Afrika Selatan bersatu. Tidak ada lagi pembedaan warna kulit. Mandela mampu menyembuhkan luka masa lalu yakni sistem apartheid yang memecah belah rakyat.

Yesus berkata, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kalian tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”

Kendati tidak nampak, sistem pembedaan itu juga ada di sekitar kita. Beda agama, warna kulit, etnis, budaya, daerah dan gender. Kalau kita tidak punya kualitas hidup yang lebih, kita tidak akan diakui. Kalau cara hidup kita hanya standar-standar pada umumnya, kita tidak akan terpilih. Contoh buruknya, orang Kristen, jadi pejabat tinggi, ikut-ikutan korupsi. Hancuuur deh….

Yesus menuntut para murid-Nya untuk bersikap “magis.” Cara berpikir, bertindak, bersikap, ambil keputusan, buat kebijakan harus “lebih” daripada orang pada umumnya. Kalau tidak, kita tidak akan diperhitungkan. Kita tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.

Nelson Mandela sudah membuktikan. Ayo tunjukkan semangat “magis” dalam hidupmu.

Belajarlah cara berpikir seorang Nelson Mandela.
Menghapus warna kulit di Afrika Selatan.
Jangan merasa cukup sama dengan umumnya.
Kamu hanya akan jadi budak tak diperhitungkan.

Cawas, semangat “magis”…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 09.06.21 / Rabu Biasa X / Matius 5:17-19

 

Menggenapi, Bukan “Ganep-Ganep”

Ada pepatah mengatakan, “Timun wungkuk jaga imbuh.” Artinya timun yang buruk disiapkan untuk menggenapi timbangan supaya tepat ukuran.

Para pedagang di pasar biasa menyiapkan timun-timun yang bungkuk (buruk) untuk tambah-tambah jika timbangan belum seimbang.

Apakah menggenapi seperti itu yang dimaksud Yesus dalam kutipan Injil ini? Pasti bukan.

Pertama, Yesus tidak bisa disamakan dengan timun bungkuk. Kedatangan Yesus bukan sekedar “tambah-tambah” tetapi kedatangan-Nya untuk menyempurnakan Hukum Taurat.

Yesus berkata, “Janganlah kalian menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”

Kita bisa bertanya, apa yang belum genap di dalam kitab Taurat? Kitab Taurat adalah kitab yang berisi perintah atau larangan-larangan bagi Bangsa Israel. Karena itu perintah, maka yang belum ada adalah pelaksanaannya. Yesus datang untuk melaksanakan dan mengajarkannya.

Misalnya, kepada pemuda kaya yang berkata, “Semuanya itu (Hukum Taurat) telah kuturuti, apa yang masih kurang?” Yesus menjawab, “Pergilah, juallah segala milikmu, dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.”

Mengikuti Yesus adalah cara bagaimana Dia telah dengan sempurna melaksanakan hukum Taurat.

Dalam kisah perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, Yesus bertanya kepada pemimpin Yahudi, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Menggenapi berarti melaksanakan hukum tertulis itu dengan perbuatan kasih. Yesus adalah hukum kasih Allah yang hidup. Dialah penggenapan hukum Taurat. Mari kita mengikuti Dia.

Orang marah matanya merah menyala.
Orang bahagia senyumnya mengembang dimana-mana.
Teladan adalah pelajaran hidup yang nyata.
Mari kita mengasihi dengan tindakan sesungguhnya.

Cawas, sehat dan semangat…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr