Puncta 18.06.21 / Jum’at Biasa XI / Matius 6: 19-23

 

“Kematian Pandawa Lima”

SETELAH perang Baratayuda, Pandawa memerintah di Hastinapura. Lama-lama mereka jenuh dengan kemuliaan istana. Oleh Begawan Abiyasa, mereka disarankan hidup mengembara di alam bebas, menjadi manusia merdeka. Ada seekor anjing setia mengikuti mereka.

Ketika menyusuri padang gurun, Drupadi mati lemas. Ini dikarenakan semasa hidup ia berlaku tidak adil, lebih mengasihi Arjuna daripada yang lain. Lalu Sadewa mati. Semasa hidupnya ia merasa paling pintar sendiri. Lalu Nakula juga mati. Ia sombong karena merasa paling tampan.

Arjuna juga mati. Ia takabur dengan kemampuan dirinya dalam olah senjata. Ia merasa paling bisa. Bima juga tumbang dan mati. Ia merasa paling kuat, suka mencari kenikmatan dan tidak tahu tata krama.

Ketika ajal menjemput Yudistira, ia minta agar anjing sahabatnya diijinkan naik ke surga. Dewa tidak mengabulkan. Namun Yudistira tidak mau jika anjingnya tidak bersama dia.

Karena ketulusan dan kebaikan hati Yudistira itu, si anjing setia berubah menjadi dewa Dharma dan bersabda, “Hai makhluk budiman, kebaikan hatimu kau bawa sampai akhir. Semua manusia kau sayangi, bahkan musuh pun kau kasihi. Kebaikan hatimu itulah yang akan mengantarmu ke surga.”

Dalam kotbah di bukit, Yesus berkata, Janganlah kalian mengumpulkan harta di bumi; ngengat dan karat akan merusakkannya, dan pencuri akan membongkar dan mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga. Karena dimana hartamu berada, di situ pula hatimu berada.”

Harta di surga bukan barang-barang duniawi, bukan prestasi, bukan kekuasaan. Adik-adik Yudistira itu mengandalkan hal-hal duniawi. Sadewa mengagungkan kepintaran. Nakula menyombongkan ketampanan, Arjuna mengandalkan ketrampilan, Bima memburu kekuatan. Semua akan hancur dan ditinggalkan.

Yudistira melakukan darma kebaikan kepada semua makhluk, bahkan anjing pun disayangi dan diperlakukan dengan baik. Dengan darma, Yudistira mengumpulkan harta di surga. Dengan menjunjung nilai-nilai kebaikan bagi semua makhluk, Yudistira menjadi cermin bagi kita agar tidak mengejar harta, tahta dan kenikmatan sementara.

Marilah kita melakukan darma kebaikan agar memperoleh kebahagiaan kekal di surga.

Mendung tebal menutupi matahari.
Bunga-bunga pun layu tidak berseri.
Semua manusia di dunia akan mati.
Hanya dharma bakti akan menyertai.

Cawas, merpati putih terbang….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 17.06.21 / Kamis Biasa XI / Matius 6: 7-15

 

“Belajar Mengampuni; Kisah Kim Phuc”

KISAH mengerikan dialami Phan Thi Kim Phuc pada 8 Juni 1972 di desa Trang Bang, Vietnam. Pesawat menjatuhkan bom napalm dan Kim Phuc yang waktu itu berusia 9 tahun berjalan dengan tangis pilu dan telanjang karena tubuhnya terbakar.

Fotonya menjadi foto ikonic perang Vietnam. Tetapi trauma dan dendamnya juga melekat tak bisa terhapus. Setiap melihat foto dirinya, ia marah, sakit hati dan benci pada siapa pun.

Ia protes, “I don’t like my picture. why he took my picture when I was in agony, naked, so ugly?” Karena luka bakar itu ia sangat menderita. Bukan hanya fisik tetapi juga mentalnya

Sepuluh tahun sesudah kejadian, Ia menemukan dan membaca Kitab Suci di perpustakaan Saigon. Lalu Kim Phuc dibaptis pada Hari Natal 1982. Iman akan Kristus mengubah seluruh hidupnya.

Sejak itu ia mengampuni dan mendoakan musuh-musuhnya, mereka yang membuatnya menderita. “Since I have Faith, my enemies list became my prayer list. Wow.. Kim, you pray your enemies. It means you love. Forgiveness set my heart free. I forgive everyone who caused my suffering. Even the pilot, commander, people controlling me.”

Yesus mengubah dan menyembuhkan Kim Phuc dari luka fisik dan batinnya.

Hari ini dalam Injil Yesus mengajarkan doa Bapa Kami. Doa yang sederhana tetapi daya berkatnya luar biasa. Dalam doa itu Yesus mengajarkan kepada kita untuk berani mengampuni.

“Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.”

Yesus menambahkan, “Jikalau kalian mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kalian juga.”

Itulah yang telah dialami Kim Phuc. Ketika dia berani mengampuni dan mendoakan musuh-musuhnya, hatinya terasa dibebaskan dari beban yang berat. “Forgiveness set my heart free.”

Ia mengampuni orang-orang yang membuatnya menderita sengsara; para pilot yang menjatuhkan bom di desanya, para tentara dan komandan, mereka yang menindas rakyat kecil.

Dengan pengampunan dan kasih, Kim Phuc menjalani hidupnya dengan bahagia. Ia menolong banyak anak korban perang. Ia mendampingi mereka yang punya trauma dan ketakutan. Ia mendirikan sekolah dan rumah sakit serta panti asuhan khusus korban perang. Ia yakin pengampunan akan membawa kesembuhan lahir batin.

Mari kita belajar menerima rasa sakit dan mau mengampuni. Karena dengan mengampuni, kita juga akan diampuni Bapa di surga.

Kasihmu sebening embun pagi.
Berkilau disinari matahari.
Mari kita berani mengampuni.
Agar terkikis segala sakit hati.

Cawas, indahnya mengampuni….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 16.06.21 / Rabu Biasa XI / Matius 6: 1-6.16-18

 

“Ingat HM Damsyik, Ingat Datuk Maringgih”

KITA semua kenal pemain sinetron yang total dalam memainkan watak. Dalam sinetron Baratayuda versi India, kita kenal tokoh Sangkuni yang bikin jengkel, marah, benci para pemirsanya. Praneet Bhaat, pemeran Sangkuni adalah aktor ganteng yang dipuja banyak gadis di seluruh dunia.

Dunia sinetron Indonesia juga punya tokoh HM Damsyik yang piawai memainkan peran Datuk Maringgih dalam sinetron Siti Nurbaya. Ingat Damsyik orang langsung ingat Datuk Maringgih. Peran itu sangat melekat pada diri Damsyik. Ia bangga dengan trade mark itu. Jarang ada aktor yang lekat dengan tokoh yang diperankan. Walaupun semua orang tahu kehidupan sehari-harinya sangat jauh dari tokoh antagonis Datuk Maringgih.

Dalam perikope ini Yesus menyebut kata munafik sebanyak tiga kali. “Apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang-orang munafik. Apabila kalian berdoa, janganlan berdoa seperti orang munafik. Apabila kalian berpuasa, janganlah muram mukamu, seperti orang munafik.”

Dalam Bahasa Yunani munafik diterjemahkan dari kata Hupokrithes (Hypocrite, Inggris) yang artinya seorang pemain drama. Munafik bisa diartikan seorang yang bermuka dua, suka berpura-pura, berbohong, antara perkataan dan perbuatan tidak sesuai.

Dalam Injil tindakan kemunafikan itu dilakukan dengan pameran kesalehan. Pamer memberi sedekah supaya dilihat orang. Pamer berdoa di rumah ibadah atau di tempat umum, biar dilihat orang. Bila berpuasa, mukanya dibuat ‘memelas’ biar dilihat dan dikasihani orang. Mempertontonkan kehidupan baik agar dipandang dan dipuji sebagai orang saleh, suci, taat beribadah. Tetapi kehidupan sejatinya jauh dari yang dipamerkan.

Yesus meminta kita jika berbuat baik tidak perlu dipertontonkan. Jika memberi sedekah, janganlah tangan kirimu tahu apa yang dilakukan tangan kananmu. Jika berdoa, masuklah ke dalam kamarmu. Jika berpuasa, hiduplah seperti biasa supaya jangan dilihat orang. Hanya Bapa di surga yang tahu segalanya.

Mari kita belajar tulus. Sekurang-kurangnya tidak perlu marah atau sakit hati kalau tidak dipuji, tidak perlu “ngambek atau merajuk” kalau niat baik kita tidak dihargai.

Katanya puasa nasi.
Tapi tiap hari makan bakmi.
Mari kita belajar rendah hati.
Tidak perlu “gila sensasi”

Cawas, lembayung senja….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 15.06.21 / Selasa Biasa XI / Matius 5: 43-48

 

“Mengasihi Musuh?”

SUN TZU adalah seorang jendral dari kekaisaran Wu yang hidup pada 544 – 496 SM. Ia dikenal sebagai ahli strategi perang, selain juga seorang filsuf yang terkenal.

Pemikirannya masih banyak dipakai dalam kepemimpinan, managemen dan aneka macam startegi bisnis sampai sekarang. Sun Tzu banyak dikenal karena tulisannya yang berjudul The Art of War.

Di antara ungkapan-ungkapan yang terkenal antara lain; “Untuk mengetahui siapa musuhmu, kamu harus menjadi seperti mereka. Jaga temanmu agar tetap dekat dan jagalah musuhmu agar lebih dekat lagi.”

Seorang kaisar Cina menggunakan strategi Sun Tzu. Sang Kaisar mengatakan bahwa ia ingin melenyap semua musuh-musuhnya.

Berapa hari kemudian orang-orang menyaksikan bahwa kaisar itu duduk, makan, dan bersenda gurau dengan musuh-musuhnya.

Bawahannya menjadi heran dan bertanya, “Paduka, bukankah paduka mengatakan bahwa paduka ingin melenyapkan semua musuh?”

Kaisar itu menjawab, “Itu benar. Saya sudah melenyapkan musuh-musuh itu. Saya menjadikan mereka sahabat saya.”

Sedikit mirip dengan strategi Sun Tzu, Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya untuk mengasihi musuh-musuh.

“Kalian telah mendengar bahwa disabdakan, ‘Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.’ Tetapi Aku berkata kepadamu, ‘Kasihilah musuh-musuhmu, dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”

Yang membedakan ajaran Yesus adalah motivasinya. Kalau Sun Tzu ingin mencari kemenangan. Yesus ingin agar murid-murid-Nya menjadi sempurna seperti Bapa di surga sempurna adanya.

Kita tidak mengalahkan musuh tetapi mengasihi musuh. Menang dan kalah itu kedudukannya tidak sejajar. Yang menang di atas, yang kalah di bawah. Kalau mengasihi itu menjadi sejajar, sama sederajat. Tidak ada atas bawah.

Dengan mengasihi musuh kita disebut anak-anak Allah. Hal itu tidak mudah. Menerima orang yang tidak seide dengan kita saja sulit, apalagi mengasihi orang yang membenci kita.

Kalau kita tidak mampu mengasihi musuh, maka jangan buat orang lain menjadi musuh. Tuntutan Yesus memang berat. Apakah anda masih mau mengikuti-Nya?

Beli pecel kembang turi.
Lima ribu harga sebungkus.
Mari kita saling mengasihi.
Itulah tanda murid-murid Yesus.

Cawas, merepih alam….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 14.06.21 / Senin Biasa XI / Matius 5: 38-42

 

“The Golden Rule: Mengasihi”

DALAM Kitab Perjanjian Lama (Keluaran, Imamat dan Ulangan) sudah tertulis hukum pembalasan “mata ganti mata, gigi ganti gigi”.

Dalam codex Hamurabi (1780 SM) di Kerajaan Babilonia hukum pembalasan ini sudah menjadi undang-undang.

Hukum pembalasan (Latin: lex talionis) adalah asas bahwa orang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka yang sama oleh pihak yang dirugikan, atau menurut interpretasi yang lebih halus korban harus menerima ganti rugi yang setimpal.

Maksud di balik asas tersebut adalah untuk membatasi kompensasi pada nilai kerugian. Orang tidak boleh membalas sesuka hati, sewenang-wenang

Dalam PL ada 9 contoh (nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak, patah ganti patah) yang bisa dibalaskan.

Dalam perikope ini Yesus hanya menyebut dua sebagai contohnya, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”

Hukum pembalasan diganti menjadi hukum cintakasih. Yesus berkata, “Kalian mendengar, bahwa dahulu disabdakan, ‘Mata ganti mata, gigi ganti gigi.’ TETAPI Aku berkata kepadamu, ‘Janganlah kalian melawan orang yang berbuat jahat kepadamu. Sebaliknya, bila orang menampar pipi kananmu, berikanlah pipi kirimu.”

Kata TETAPI sengaja saya beri huruf besar dan tebal karena kata itu menunjukkan arti sebaliknya dari epigram sebelumnya.

Dengan ajaran kasih, Yesus mengubah aturan dunia. Ada tiga tahap perubahan. Pada awalnya prinsip “asu gedhe menang kerahe”. Yang besar, kuat, dia yang menang. Ini prinsip sewenang-wenang, chaos, kacau.

Keadaban manusia mulai memikirkan asas “keadilan.” Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Kompensasi dibatasi sejauh apa yang dihilangkan. Namun asas kedua ini masih mengandung unsur balas dendam.

Yesus mengubah balas dendam dengan cintakasih. Asas ketiga; mengasihi adalah asas yang paling luhur. Kasih terwujud dalam pengampunan, tidak membalas tetapi memberi lebih yang diminta atau dituntut. “Berikanlah kepada orang apa yang dimintanya.”

Dunia yang diwarnai oleh egoisme, hitungan ekonomis “untung rugi” seringkali sulit menerapkan asas cintakasih.

Yang penting aku untung, aku senang, aku kaya, aku enak. “bodo amat orang lain mau susah, sengsara, menderita.” Emang Gue pikirin…?

Sikap apatis ini membuat orang tidak mau peduli dengan keadaan sosial, membiarkan masalah. Ia tak mau mengampuni sebagai wujud kasih.

Mengampuni bukan tindakan hina atau rendah. Justru pengampunan itu sesuatu yang luhur dan bermartabat. Bersediakah kita untuk mengampuni sebagai wujud kasih?

Nonton sinetron bareng teman.
Pengin nangis tapi gengsi.
Jangan suka balas dendam.
Hati-hati tensinya tinggi.

Cawas, salam sehat dan waras….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr