Puncta 12.04.22 || Selasa Pekan Suci || Yohanes 13:21-33.36-38

 

Separuh Jiwaku Pergi.

KETIKA ditinggalkan Krisdayanti, istrinya, Anang menuliskan pengkhianatan itu dalam sebuah lagu berjudul “Separuh Jiwaku Pergi.”

Isi syair itu antara lain berbunyi:

Separuh jiwaku pergi. Memang indah semua. Tapi berakhir luka.
Kau main hati dengan sadarmu. Kau tinggal aku. Benar ‘ku mencintaimu
Tapi tak begini. Kau khianati hati ini. Kau curangi aku.

Kisah pengkhianatan tidak hanya dalam keluarga, namun hampir bisa dijumpai di mana saja.

Dalam dunia bisnis, militer, politik, persahabatan, bahkan nelikung pacar teman sendiri itu juga sebuah tindakan pengkhianatan.

William Shakespeare mengisahkan pengkhianatan Brutus kepada Julius Ceasar.

Kita mengenal semboyan “Veni, Vidi, Vici” berasal dari Julius Caesar. Berkat kemenangan menaklukkan Pompei, Caesar mengangkat dirinya menjadi Dictator Perpetuo atau Raja Roma seumur hidup.

Anggota senat Roma tidak senang. Mereka merencanakan pembunuhan terhadap Caesar.

Pada hari raya Idus Martii, Julius Caesar datang di Teater Pompei. Di situ para senat mengerumuni dan langsung menghujamkan tusukan belati ke tubuh Caesar.

Kata-kata terakhirnya “Et tu Brutus.” (dan engkau juga Brutus) lirih terucap saat melihat sahabatnya, Brutus juga menusukkan belati ke dadanya.

Julius tidak menduga bahwa sahabatnya mengkhianati. Caesar tidak mengetahuinya

Beda dengan Yesus. Kalau Yesus sudah tahu dari awal, bahwa salah satu dari duabelas murid akan mengkhianati-Nya.

Bagaimana perasaan kita jika mengetahui teman kita justru mengkhianati?

Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang diantara kamu akan menyerahkan Aku.”

Yesus tetap konsisten dan menguasai diri-Nya. Ia tidak menunjukkan kemarahan, kebencian dan murka kepada Yudas.

Bahkan Yesus berkata, “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera.”

Kasih-Nya kepada yang mengkhianati tidak berkurang. Yesus masih bisa menasehati para murid-Nya untuk berjaga-jaga.

Waktunya akan segera tiba bahwa Dia tidak akan bersama-sama lagi dengan mereka.

“Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang. Demikian juga Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.”

Mungkin kita pernah dikhianati. “Kaukhianati aku, kau curangi aku.” Lihatlah “Sakitnya tuh di sini.”

Kita bisa belajar bagaimana menghadapinya dari cara Yesus memperlakukan si pengkhianat.

Fokus Yesus adalah menjalankan kehendak Bapa. Bersama dengan Yesus selalu ada belas kasih. Sampai akhir Yesus menawarkan kasih dan pengampunan-Nya pada semua manusia.

Bisakah kita mengampuni kendati sudah dikhianati? Mungkin membutuhkan waktu…..

Embun bening ada di pucuk rerumputan.
Sebening kicau burung di ranting dedaunan.
Hanya belas kasih dan pengampunan,
Yang mampu mengalahkan pengkhianatan.

Cawas, belajar mengampuni….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 11.04.22 || Senin Pekan Suci || Yohanes 12: 1-11

 

Relasi Kasih Bukan Relasi Bisnis.

DALAM kisah Ramayana versi Jawa ada nukilan cerita Anggada membangkang atau membelot.

Anggada adalah kera berbulu merah. Dia dididik oleh Sugriwa bersama dengan pasukan kera lainnya.

Ada persaingan antara Anoman dan Anggada karena keduanya adalah panglima perang Ayodya.

Rama memilih Anoman untuk pergi ke Alengka mencari jejak Sinta. Dia berhasil menjadi duta sampai ketemu Sinta dan memberikan cincin Rama.

Bahkan Anoman berhasil membumihanguskan Alengka dalam lakon Anoman Obong. Anoman punya nama harum di mata Rama.

Untuk menjajal kekuatan Alengka, Rama mengutus Anggada menyelidiki bala tentara Rahwana. Namun sesampai di Alengka, Anggada ditangkap dan dijelaskan siapa dirinya sesungguhnya.

Oleh Rahwana dijelaskan bahwa Anggada adalah anak Subali yang dibunuh oleh Rama dengan panah saat sedang berkelahi dengan Sugriwa.

Ibu Anggada adalah bidadari bernama Dewi Tara, yang punya saudara kembar bernama Dewi Tari, yang kini menjadi istri Rahwana.

Karena diprovokasi Rahwana, Anggada bimbang dan membangkang pada perintah Rama. Ia menjadi benci dan ingin membalas dendam atas kematian ayahnya.

Anggada lupa bahwa selama ini dia dikasihi oleh Rama dengan pangkat dan kehidupan yang baik di Ayodya.

Ada aneka macam tipe sahabat. Dalam Injil dikisahkan bagaimana Yesus sangat mengasihi Marta, Maria da Lazarus. Begitu pula mereka sangat mengasihi Yesus.

Ketika Yesus berada di rumah Lazarus, Maria meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal.

Namun tindakan itu diprotes oleh Yudas Iskariot. “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”

Komentar Yudas itu kelihatannya saleh dan baik. Tetapi ternyata tersembunyi niat jahat, karena dia tidak memikirkan orang-orang miskin, melainkan dia seorang pencuri kas kelompok.

Sahabat yang tulus ikhlas nampak dari tindakannya. Maria tanpa meyanyangkan minyak yang mahal menghormati Yesus. Ia menyeka kaki Yesus dengan rambutnya.

Karena merasa dikasihi, ia melakukan apa pun kepada Yesus.

Berbeda dengan Yudas, ia mengambil kesempatan untuk keuntungan diri sendiri. Relasinya bukan berdasar kasih, tetapi keuntungan, kemanfaatan.

Relasi kasih berbeda dengan relasi bisnis. Yang diperhitungkan hanya untung rugi.

Bagaimanakah hubungan kita dengan Yesus? Apakah kita hanya mau dekat Yesus kalau menguntungkan kita? Kita rajin berdoa atau ke gereja kalau sedang membutuhkan-Nya?

Mari belajar seperti Maria. Ia tidak menghitung keuntungan tetapi memberikan yang terbaik kepada Yesus, karena ia mengalami dikasihi sedemikian besar.

Apakah anda merasa dikasihi oleh Yesus?

Pergi ke Sangeh melihat banyak kera,
Mereka berlagak kaya turis menca negara.
Kasih Yesus sungguh tak terhingga,
Kurbankan nyawa untuk yang berdosa.

Cawas, mengasihi tanpa pamrih…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 10.04.22 || Minggu Palma || Lukas 22:14 – 23:56 (Lukas 23:1-49, singkat)

 

Trial by Mob

KETUA Setara Institut, Hendardi pernah mengatakan bahwa putusan hakim terhadap kasus BTP waktu itu bernuansa “trial by mob.”

Di satu sisi hakim mempertimbangkan ketertiban sosial akibat penodaan agama. Di sisi lain hakim tidak melihat sejarah bagaimana peristiwa itu muncul akibat politik identitas yang dijadikan alat untuk kontestasi pilgub waktu itu.

Tekanan massa yang bertubi-tubi dan bergelombang mengakibatkan hakim tidak bisa memutuskan perkara secara obyektif.

Aspek non yuridis yakni tekanan massa lebih menjadi pertimbangan agar tidak terjadi chaos sosial daripada membebaskan seorang yang tidak bersalah.

Sumber putusan yang legitim bukan didasarkan pada perundang-undangan, tetapi kerumunan massa yang mengancam. Inilah yang disebut trial by mob.

Ada hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat sebuah keputusan yakni ”In dubio pro reo” artinya jika hakim ragu dalam suatu hal, maka putusan haruslah berdasar pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa.

Namun tekanan gelombang massa yang terus mendesak sejak awal membuahkan putusan yang tidak adil.

Massa sudah diprovokasi untuk menghukum seseorang. Mereka mengepung gedung pengadilan dengan teriakan-teriakan melalui TOA.

Pada Minggu Palma ini kita mendengarkan kisah passio, sengsara Yesus. Dia diadili oleh pengadilan rakyat yang bengis.

Para imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua bangsa Yahudi menjadi provokatornya.

Pilatus, walinegeri tidak menemukan kesalahan apa pun. Begitu pula Herodes. Mereka ditekan massa rakyat yang berteriak membabi buta.

Pilatus sudah memilih prinsip “in dubio pro reo” yakni dengan memberi hukum cambuk. Tetapi rakyat yang telah diprovokasi terus mendesak, “Salibkan Dia. Salibkan Dia.”

Sampai tiga kali Pilatus bertanya, “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati.”

Tetapi dengan berteriak mereka mendesak dan menuntut, supaya Yesus disalibkan. Akhirnya mereka menang dengan teriakan mereka.

Lalu Pilatus memutuskan supaya tuntutan mereka dikabulkan. Inilah trial by mob.

Marilah kita merenungkan diri. Dimanakah kita dalam situasi krusial seperti itu?

Peran apa yang kita mainkan saat mengadili seseorang? Apakah kita larut dalam kumpulan massa yang mudah terprovokasi?

Apakah kita justru jadi provokator seperti para ahli-ahli kitab suci, tua-tua atau tokoh masyarakat yang mestinya tahu menilai baik buruk, benar salah, namun malah menjerumuskan?

Atau kita adalah Pilatus yang tidak konsisten, bimbang, ragu, takut pada suara orang banyak?

Atau kita adalah murid-murid yang lari ketakutan meninggalkan Yesus menghadapi hinaan, cemoohan, ejekan dan penderitaan seorang diri?

Ada banyak peran yang sedang kita mainkan dalam peziarahan iman mengikuti Yesus.

Ada Simon dari Kirene, Veronika yang mengusap wajah Yesus, wanita-wanita Yerusalem yang menangis, atau Maria yang setia sampai di bawah salib Yesus.

Selama Pekan Suci ini kita diajak merenung secara pribadi. Mungkin kita ikut menjatuhkan putusan yang tidak adil pada orang lain.

Mungkin kita membuat Yesus menderita lewat tindakan dan tutur kata kepada orang-orang di sekitar kita.

Tindakan kitalah yang membuat Yesus tergantung di kayu salib.

Gemuruh sorak sorai Minggu Palma,
Lalu menghukum orang tiada dosa.
Jangan mudah ikut arus amuk massa,
Penyesalan sampai akhir tiada hentinya.

Cawas, palma di tangan, salib menghadang…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 09.04.22 || Sabtu Prapaskah V || Yohanes 11: 45-56

 

Skizofrenia Paranoid

KEPULANGAN Don Chrisostomo Ibarra ke Filipina membuat cemas para penguasa gereja dan penjajah. Pater Damasio, pimpinan agama Katolik merasa kawatir dan berusaha keras menjebloskan Ibarra karena mengancam dominasi kekuasaan gereja.

Begitu besar kuasa gereja sampai pemerintah, walikota, polisi dan sekolah tunduk kepadanya. Ibarra sangat prihatin melihat rakyat dijajah oleh gereja dan negara.

Jalan yang dipilih Ibarra adalah mendidik anak-anak agar terbuka wawasannya. Ia ingin mendirikan sekolah setelah tahu kondisi sekolah yang dikuasai Pater Damasio.

Ia mendengar penjelasan seorang guru sekolah yang menceritakan bahwa anak-anak hanya mendapat pendidikan agama yang tidak banyak berguna – menghafalkan doa-doa dan ayat-ayat Kitab Suci dalam bahasa Latin yang tidak mereka mengerti, dilarang mempelajari bahasa Spanyol atau pelajaran lainnya.

Semua dikontrol oleh gereja. Rakyat dibodohi dan ditakut-takuti. Siapa yang menentang atau melawan agama akan masuk neraka.

Perjuangan Ibarra jelas melawan kuasa gereja dan pemerintah. Hal ini menimbulkan ketakutan berlebihan dalam diri Pater Damasio.

Maka dia berusaha menyingkirkan Ibarra. Ia menyebarkan berita bahwa Ibarra memimpin pemberontakan melawan penjajah. Ibarra dikejar dan diburu untuk dibunuh.

Cerita tadi adalah sebagian dari Novel Noli Me Tangere.

Kehadiran Yesus juga membawa kecemasan bagi pemimpin agama Bangsa Yahudi. Mereka takut rakyat akan percaya dan mengikuti Yesus.

Mereka mengadakan sidang Mahkamah Agama. Mereka mengungkapkan kekawatirannya bahwa Yesus akan menarik semua orang mengikuti-Nya.

Kayafas, seorang Imam Besar memainkan politik kambing hitam.

“Kamu tidak tahu apa-apa, dan kamu tidak insaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa kita ini binasa.”

Sejak saat itu mereka berusaha untuk membunuh Yesus.

Ketakutan membuat seseorang menjadi agresif. Itu yang dialami anggota Mahkamah Agama dan kaum Farisi.

Pernahkah anda mengalami ketakutan? Rasa takut itu makin lama makin bertambah. Rasanya seperti ada yang mau membuntuti, mencelakai, mengancam keselamatan kita.

Inilah gejala gangguan Skizofrenia Paranoid.

Para anggota Mahkamah Agama itu menganggap kehadiran Yesus mengancam dan mengganggu kenyamanan mereka.

Mereka menganggap keselamatan seluruh bangsa terusik. Maka Yesus harus dikurbankan.

Apakah kita suka mencari kambing hitam dalam menyelesaikan suatu masalah yang mengancam hidup kita? Suka menyalahkan dan mengorbankan orang lain demi amannya sendiri?

Pergi ke Pasar Klewer membeli kain,
Untuk Paskahan kita bikin seragam.
Mari kita lihat kebaikan orang lain,
Jangan suka mencari kambing hitam.

Cawas, positif thinking saja….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 08.04.22 || Jum’at Prapaskah V || Yohanes 10: 31-42

 

Syekh Siti Jenar

SALAH satu ajaran yang kontroversial dari Syekh Siti Jenar di zaman para wali adalah konsep Manunggaling Kawula Gusti atau bersatunya hamba (manusia) sebagai ciptaan dengan Tuhan.

Syekh Siti Jenar punya banyak pengikut, salah satunya adalah Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging yang punya murid bernama Joko Tingkir.

“Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku’-nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang menyembah maupun yang disembah. Dengan demikian, hambalah yang berkuasa, dan yang menghukum pun hamba juga.” (Ngabei Ranggasutrasna, dkk, Centhini: Tambangraras Amongraga, Jilid I, 1991:120-123).

Konsep ini dianggap menyimpang terlalu jauh dari ajaran agama. Dalam forum sidang, Syekh Siti Jenar dituduh telah menganggap dirinya sama dengan Tuhan.

Karena melenceng jauh dari ajaran agama, Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya bisa diancam hukuman mati.

Dalam ajarannya ini, para pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan.

Arti dari Manunggaling Kawula Gusti bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.

Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Kitab Suci yang menerangkan tentang kisah penciptaan manusia.

Pada saat mati roh itu akan bersatu dengan Roh Tuhan. Disitulah terjadinya manunggaling kawula Gusti.

Yesus diancam akan dibunuh dengan dilempari batu oleh orang-orang Yahudi karena dianggap menghujat Allah dengan menyamakan diri-Nya dengan Allah.

Yesus berkata, “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?”

Jawab mereka, “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.”

Konsep itu tidak bisa dipahami oleh kaum Yahudi. Kendati Yesus menjelaskan, “Jika Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya pada-Ku. Tetapi jika Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.”

Hati mereka mengeras bagai batu dan tidak mau mengerti penjelasan-Nya. Mereka berusaha membunuh-Nya.

Namun di kalangan murid Yohanes ajaran Yesus diterima. Mereka lebih terbuka dan percaya. “Yohanes memang tidak membuat satu tanda pun, tetapi semua yang pernah dikatakan Yohanes tentang orang ini adalah benar.

Ada pro dan kontra tentang ajaran Yesus. Ada yang menolak, tetapi tidak sedikit yang percaya.

Jika anda termasuk yang percaya, apa alasan yang mendasari kepercayaan anda pada Yesus? Iman harus bisa dipertanggungjawabkan.

Di kebun ada mawar merah,
Mekar berseri sepanjang masa.
Yesus adalah Anak Allah,
Kasih-Nya bukti nyata bagi kita.

Cawas, Kasih-Nya luar biasa….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr