Trial by Mob

KETUA Setara Institut, Hendardi pernah mengatakan bahwa putusan hakim terhadap kasus BTP waktu itu bernuansa “trial by mob.”

Di satu sisi hakim mempertimbangkan ketertiban sosial akibat penodaan agama. Di sisi lain hakim tidak melihat sejarah bagaimana peristiwa itu muncul akibat politik identitas yang dijadikan alat untuk kontestasi pilgub waktu itu.

Tekanan massa yang bertubi-tubi dan bergelombang mengakibatkan hakim tidak bisa memutuskan perkara secara obyektif.

Aspek non yuridis yakni tekanan massa lebih menjadi pertimbangan agar tidak terjadi chaos sosial daripada membebaskan seorang yang tidak bersalah.

Sumber putusan yang legitim bukan didasarkan pada perundang-undangan, tetapi kerumunan massa yang mengancam. Inilah yang disebut trial by mob.

Ada hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat sebuah keputusan yakni ”In dubio pro reo” artinya jika hakim ragu dalam suatu hal, maka putusan haruslah berdasar pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa.

Namun tekanan gelombang massa yang terus mendesak sejak awal membuahkan putusan yang tidak adil.

Massa sudah diprovokasi untuk menghukum seseorang. Mereka mengepung gedung pengadilan dengan teriakan-teriakan melalui TOA.

Pada Minggu Palma ini kita mendengarkan kisah passio, sengsara Yesus. Dia diadili oleh pengadilan rakyat yang bengis.

Para imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua bangsa Yahudi menjadi provokatornya.

Pilatus, walinegeri tidak menemukan kesalahan apa pun. Begitu pula Herodes. Mereka ditekan massa rakyat yang berteriak membabi buta.

Pilatus sudah memilih prinsip “in dubio pro reo” yakni dengan memberi hukum cambuk. Tetapi rakyat yang telah diprovokasi terus mendesak, “Salibkan Dia. Salibkan Dia.”

Sampai tiga kali Pilatus bertanya, “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati.”

Tetapi dengan berteriak mereka mendesak dan menuntut, supaya Yesus disalibkan. Akhirnya mereka menang dengan teriakan mereka.

Lalu Pilatus memutuskan supaya tuntutan mereka dikabulkan. Inilah trial by mob.

Marilah kita merenungkan diri. Dimanakah kita dalam situasi krusial seperti itu?

Peran apa yang kita mainkan saat mengadili seseorang? Apakah kita larut dalam kumpulan massa yang mudah terprovokasi?

Apakah kita justru jadi provokator seperti para ahli-ahli kitab suci, tua-tua atau tokoh masyarakat yang mestinya tahu menilai baik buruk, benar salah, namun malah menjerumuskan?

Atau kita adalah Pilatus yang tidak konsisten, bimbang, ragu, takut pada suara orang banyak?

Atau kita adalah murid-murid yang lari ketakutan meninggalkan Yesus menghadapi hinaan, cemoohan, ejekan dan penderitaan seorang diri?

Ada banyak peran yang sedang kita mainkan dalam peziarahan iman mengikuti Yesus.

Ada Simon dari Kirene, Veronika yang mengusap wajah Yesus, wanita-wanita Yerusalem yang menangis, atau Maria yang setia sampai di bawah salib Yesus.

Selama Pekan Suci ini kita diajak merenung secara pribadi. Mungkin kita ikut menjatuhkan putusan yang tidak adil pada orang lain.

Mungkin kita membuat Yesus menderita lewat tindakan dan tutur kata kepada orang-orang di sekitar kita.

Tindakan kitalah yang membuat Yesus tergantung di kayu salib.

Gemuruh sorak sorai Minggu Palma,
Lalu menghukum orang tiada dosa.
Jangan mudah ikut arus amuk massa,
Penyesalan sampai akhir tiada hentinya.

Cawas, palma di tangan, salib menghadang…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr