Puncta 24.05.21 / PW. St. Maria Bunda Gereja / Yohanes 19: 25-34

 

“Ibu, inilah anakmu!”

SETELAH Kresna memberitahu Kunti bahwa perang darah Barata tak terelakkan lagi, hancur luluh hati Kunti. Ia tahu akan terjadi perang antar saudara sekandung. Karna di pihak Kurawa dan Arjuna di pihak Pandawa.

Karna sejatinya adalah anaknya sendiri sama seperti para Pandawa. Ia terkenang ketika masih perawan, saat belum menikah dengan Pandu. Ia coba-coba memakai “aji Kunta wekasing rasa sabda tunggal tanpa lawan” untuk mengundang dewa.

Dewa Surya datang dan tak perlu dikisahkan, tiba-tiba Kunti hamil. Anak ini diberi nama Karna Basusena, dibuang di sungai Gangga dan ditemu oleh Adirata. Karna kemudian tinggal dan hidup di pihak Kurawa yang jahat.

Setelah itu lahirlah para Pandawa dari Kunti dan Madrim.

Pandawa diasuh oleh Kunti, sedang Karna berada di pihak musuh yakni para Kurawa. Ketika dewasa mereka hidup berseberangan. Karna membela Kurawa yang memusuhi Pandawa.

Kresna mengingatkan Karna untuk kembali bergabung ke Pandawa. Tetapi tidak digubrisnya. Kunti juga berusaha merayu dan menyadarkan Karna, bahwa ia adalah darah daging sendiri.

Karna berkata, “seorang ibu itu tidak hanya melahirkan, tetapi juga menyusui dan membesarkan anaknya. Kunti bukan seorang ibu karena dia hanya melahirkan, namun tidak memelihara. Ibuku adalah dia yang membesarkanku.”

Akhirnya Karna lari meninggalkan Kunti dan berperang melawan adik-adiknya sendiri.

Berbeda dengan Karna, Yohanes menerima Maria sebagai ibunya menggantikan Yesus yang tergantung di kayu salib. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya, “Inilah ibumu.” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.

Yesus pernah bersabda, “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”

Saudara tidak hanya ditentukan oleh garis hubungan darah, kelahiran, tetapi mereka yang melakukan kehendak Bapa di sorga.

Sehari setelah Hari Raya Pentakosta, dimana gereja lahir, Maria diangkat sebagai Bunda Gereja. Gereja yang diwakili oleh Yohanes diserahkan pemeliharaannya kepada Maria. Kita adalah anak-anak Maria karena Yesus mempercayakan murid-Nya kepada ibu-Nya.

“Ibu, inilah anakmu! Ini ibumu.” Sabda Yesus itu jelas, Maria menjadi ibu orang beriman, yaitu gereja. Dan kita semua adalah putera-puteri Maria.

Marilah kita hidup seturut teladan Maria, tetap setia dan rendah hati sebagai hamba.

Mawar merah warnanya.
Mawar biru itu judul lagu.
Kesucianmu ya Bunda Maria.
Jadi teladan dan jalan hidupku.

Cawas, ya Maria lindungilah…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 23.05.21 / HR. Pentakosta / Yohanes 15:26-27; 16:12-15

 

Bahasa Roh Bahasa Persatuan

KETIKA melayani umat di pedalaman Kalimantan, saya kagum sekaligus terheran-heran. Ada begitu banyak bahasa dengan logat daerah yang berbeda-beda. Ada banyak sekali logat bahasa Dayak.

Masing-masing daerah punya logat dan dialeknya. Ada Dayak Jelai, Dayak Pesaguhan, Dayak Kayong, Dayak Gerunggang, Dayak Simpank, Dayak Kualant, dan seterusnya. Itu baru di satu kabupaten. Belum di seluruh Kalimantan yang luasnya empat kali Pulau Jawa.

Belum lagi di pulau-pulau lain seperti Sumatera, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara. Indonesia sungguh sangat kaya budayanya.

Maka dengan adanya Bahasa Indonesia, semua orang bisa mengerti dan memahami satu dengan yang lain. Dengan Bahasa Indonesia, saya orang Jawa bisa berhubungan dengan siapa pun warga dari aneka adat budaya.

Begitu pun Orang Bugis bisa memahami orang Flores. Orang Papua bisa mengerti orang Aceh. Orang Minang bisa kenal orang Toraja. Orang Bali bisa berelasi dengan orang Sunda. Bahasa Indonesia bisa menyatukan kita sebagai satu saudara.

Pentakosta adalah peristiwa turunnya Roh Kudus yang menyatukan banyak orang dari aneka daerah atau wilayah. Rasul-rasul itu karena tuntunan Roh Kudus bisa berbicara dengan bahasa mereka yang berasal dari aneka daerah.

Ada orang Partia, Media, Elam, Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah Libya, juga pendatang dari Roma, orang Kreta, bahkan juga orang Arab.

Roh Kudus membuat orang-orang itu mengerti pesan yang disampaikan para rasul. Bahasa Roh adalah bahasa yang menyatukan. Semua orang bisa mengerti tentang perbuatan-perbuatan besar Allah bagi manusia.

Menurut Paulus buah-buah Roh itu nyata seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, sikap lemah lembut dan penguasaan diri.

Jika kita diberi karunia Roh, apakah buah-buah itu nyata ada dalam hidup kita? Apakah sikap dan tindakan kita sungguh didasari oleh kasih, kesabaran, kelembutan dan buah Roh lainnya?

Gunung Merapi kadang-kadang meletus.
Keluarkan awan panas pasir dan batu.
Datanglah ya Roh yang mahakudus.
Sucikanlah hatiku dan kuduskanlah jiwaku.

Cawas, semangat Pentakosta…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 22.05.21 / Sabtu Paskah VII / Yohanes 21: 20-25

 

“Argentum Ad Nausem”

UNTUK mengalahkan Pandita Dorna yang menjadi senopati Kurawa, Kresna membuat narasi bohong. Ia minta kepada para Pandawa untuk menyebarkan berita bahwa Aswatama mati. Aswatama adalah anak Pandita Dorna. Padahal yang mati adalah seekor gajah bernama Estitama.

Berita bohong itu harus dikumandangkan terus menerus dan berulang-ulang oleh semua prajurit di segala penjuru medan Kurusetra.

Dorna termakan berita bohong itu. Ia putus asa karena anak satu-satunya telah mati. Karena sudah tak punya daya dan harapan, dengan mudah Dorna dipenggal kepalanya oleh Trustajumena. Gugurlah guru dan senopati Kurawa itu.

Paul Yoseph Goebbels adalah menteri propaganda Nazi. Dialah yang mencetuskan teknik propaganda modern. Teknik jitu hasil kepiawaiannya diberi nama Argentum ad nausem atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie (kebohongan besar).

Prinsip dari tekniknya itu adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran.

Beberapa hari ini kita disuguhi berita pertempuran Israel dan Palestina. Ada sekelompok orang yang menggiring opini bahwa itu adalah perang agama. Gambar dan pesan dibuat sedemikian agar orang percaya bahwa itu perang agama.

Padahal mereka berperang karena perebutan wilayah. Ini perang kemerdekaan. Kita mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka, tetapi jangan diputarbalikkan seolah-olah ini perang agama.

Dalam kutipan Injil terakhir Yohanes ini juga terjadi salah persepsi karena salah menangkap pesan. Ketika Petrus bertanya tentang nasib murid yang dikasihi, Yesus berkata, “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.”

Pesan ini ditangkap keliru oleh banyak orang. Maka tersebarlah kabar di antara saudara-saudara itu, bahwa murid itu tidak akan mati. Tetapi Yesus tidak mengatakan kepada Petrus, bahwa murid itu tidak akan mati, melainkan, “Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.”

Yohanes mencatat semuanya itu dalam Injilnya. Dan segala yang ditulisnya adalah kebenaran, bukan kebohongan.

“Dialah murid yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, dan yang telah menuliskannya; dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar.

Mari kita punya logika yang cerdas, jangan mudah dibohongi. Kalau kita memiliki kebenaran, maka kita akan diselamatkan.

Ke pasar membeli kue lapis.
Diberi bonus tempe benguk.
Marilah kita berpikir logis kritis.
Jangan mudah ditipu para cecunguk.

Cawas, jernih berpikir waras…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 21.05.21 / Jumat Paskah VII / Yohanes 21:15-19

 

Teladan Ketaatan Romo-Romo “Sepuh”

WISMA Domus Pacis St. Petrus Kentungan baru saja diberkati Bapak Uskup, bertepatan dengan ulang tahun tahbisan uskup beliau ke 4. Wisma ini dibangun untuk tempat tinggal para imam yang sudah purna tugas.

Selama ini mereka menempati wisma Puren. Namun wisma ini sudah tidak memadai lagi. Maka Bapak Uskup membentuk panitia untuk membangun wisma romo-romo “sepuh” di Komplek Seminari Tinggi Kentungan.

Setelah diresmikan, esok harinya para romo sepuh mendapat SK baru untuk bertempat tinggal di Domus Pacis Kentungan. Romo Bambang bertanya pada Monsigneur, “Besuk boleh langsung pindah dan tinggal di sini, Monsigneur?”

Bapak Uskup langsung menjawab, “Boleh, silahkan romo pindah-pindah, kamar sudah siap dihuni. Inilah tanda ketaatan romo-romo “sepuh.”

SK keluar langsung berangkat. Tidak usah “ditari bola-bali.” Maksudnya tidak perlu ada tawar menawar, langsung “sendika dhawuh” berangkat.

Dalam Injil Yesus bertanya kepada Simon Petrus sampai tiga kali, ”Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka itu?”

Petanyaan yang diulang-ulang menunjukkan isinya sangat penting. Namun juga si penanya butuh keyakinan jawaban.

Para romo sepuh itu tidak perlu berulang-ulang ditanya. Sekali ditanya oleh uskup untuk pindah ke wisma Kentungan, mereka langsung siap, “sendika dhawuh.”

Sebagai seorang imam, mereka menjadi teladan ketaatan tanpa reserve. “Ora nambahi repote uskup”, tetapi kita membantu Bapak Uskup dengan penuh kasih.

Petrus ditanya sampai tiga kali. Yesus ingin memberi tugas kepada Petrus untuk memimpin kawanan domba-Nya. Ia membutuhkan orang yang siap sedia tanpa banyak alasan. Maka sampai tiga kali Petrus ditanya, “ditanting” untuk suatu tugas yang berat. “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Tugas berat itu hanya bisa dilakukan kalau ada kasih. Kalau tidak ada kasih, seringan apa pun tugas akan menjadi beban berat.

Tetapi seberat apa pun, jika kita melakukannya dengan kasih akan menjadi ringan. Seperti seorang ibu atau ayah, seberat apa pun tugas akan dilakukan karena mereka mengasihi anak-anaknya.

Tugas adalah tanggungjawab. Mari kita lakukan dengan penuh kasih. Jika ada kasih, seberat apa pun tidak akan terasa.

Petrus diberi tugas memimpin kawanan.
Memimpin dengan penuh belaskasihan.
Romo-romo adiyuswa memberi teladan.
Taat pada uskup tanpa banyak alasan.

Cawas, jangan ragu-ragu…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.05.21 / Kamis Paskah VII / Yohanes 17: 20-26

 

“Sila ketiga; Persatuan Indonesia”

PERNAH dalam suatu jamuan kenegaraan, Presiden Soekarno berkunjung ke Yugoslavia waktu itu, beliau bertanya kepada Yosef Bros Tito, Presiden Yugoslavia, kira-kira begini; “Tuan Presiden, apa yang akan anda wariskan sepeninggal anda kepada Rakyat Yugoslavia?” Bros Tito menjawab; ”Saya tidak kawatir karena saya memiliki tentara yang kuat untuk Yugoslavia. Kalau anda Mr. Soekarno?” Tuan rumah balik bertanya kepada tamunya. “Kalau saya tidak akan kawatir, karena saya telah mewarisi kepada rakyatku suatu way of life yakni Pancasila.”

Kita sekarang tahu, Yugoslavia terpecah belah menjadi beberapa negara kecil yakni Serbia, Kroatia, Bosnia dan lainnya. Indonesia tetap bersatu berkat Pancasila yang di dalamnya ada sila ketiga yakni Persatuan Indonesia.

Kita harusnya bersyukur dan berusaha terus menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Yugoslavia tidak punya way of life seperti Indonesia.

Apa gunanya tentara yang kuat kalau tidak memiliki way of life. Wawasan kebangsaan tentang nilai-nilai Pancasila itu tetap harus tertanam dalam diri setiap warga negara. Apalagi mereka yang dipercaya menjadi pejabat seperti KPK, TNI atau POLRI.

Dalam doa-Nya bagi para murid, Yesus berdoa agar mereka bersatu. “Bapa yang kudus, bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka, supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, ada di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.”

Yesus menghendaki supaya pengikut-Nya bersatu. Tidak mudah memperjuangkan persatuan dalam suatu kelompok atau komunitas. Ada banyak tantangan, baik dari dalam maupun dari luar.

Ada yang merasa diri paling benar, ingin berkuasa. Ada yang punya kepentingan-kepentingan primordial sektarian. Ada yang tidak mau menerima kebhinekaan.

Yesus menekankan di dalam membangun persatuan harus ada kasih. “Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.”

Persatuan tanpa kasih tidak akan punya ikatan yang kuat. Dalam Pancasila, kasih itu bisa diwujudkan kepada Tuhan yang maha esa ( sila 1) dan kepada sesama dalam mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila 2), membangun persatuan (sila 3), musyawarah untuk mufakat (sila 4) dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (sila 5).

Nilai-nilai Pancasila itu searah dengan nilai-nilai Injili, maka kita mesti menjaganya. Membangun Kerajaan Allah kita wujudkan dengan membangun Indonesia yang damai sejahtera.

Yesus mengajak para murid-Nya untuk bersatu. Kita juga diserukan untuk membela persatuan Indonesia.

Lauknya burung puyuh.
Piringnya ada sepuluh.
Bersatu kita teguh.
Bercerai kita runtuh.

Cawas, sekali Pancasila tetap Pancasila…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr